Manuscript Screening Boy and Manuscript Submitting Girl Bab 2

Bab 2 - Alasan Dia Menulis

Setelah sekolah usai, Hiyuki mengambil tasnya yang telah dirapikan sebelum kelas berakhir, dan berlari keluar kelas.

Seorang teman sekelas meminta rekomendasi light novel, dan setelah Ao menjawab, dia mengambil tasnya dan meninggalkan kelas. Dia mengganti sepatunya di rak sepatu dan pergi ke tempat parkir untuk mengambil sepedanya. Ketika dia tengah membuka kunci sepedanya, dia merasa seseorang menatapnya.

Dia melihat ke belakang, dan tidak menemukan siapa pun.

Ao pikir itu hanya khayalannya. Dia membuka kunci sepedanya dan mengayuh sepedanya keluar parkiran. Dia merasakan sensasi menggelitik di sekitar lehernya lagi.

Apa seseorang sedang mengawasinya?

Dia menoleh lagi.

Kali ini, dia melihat rambut cokelat terang di sekitar sudut bangunan. Rambut itu diembus oleh angin akhir musim semi, dan terlihat hampir transparan di bawah silaunya cahaya matahari.

“Hmm? Hinomiya-san?”

Tidak menyangka akan dipanggil, tangan putih dan bahu ramping yang gemetar ketakutan menyembul keluar dari balik bangunan, kemudian berbalik dengan terburu-buru.

“Tunggu, Hinomiya-san!”

Ao mendorong sepedanya dan mengejar Hiyuki.

Hiyuki berjalan di depan Ao, rambutnya yang cokelat panjang bergoyang setiap kali dia melangkah, dengan tas digenggam erat-erat di depan dadanya. Kaki putihnya yang jenjang berjalan dengan langkah cepat.

Berjalan menuju ke sebelah Hiyuki, Ao melihat bibir yang ada tahi lalat di sebelahnya itu terkatup rapat. Walaupun ekspresinya dingin, kedua matanya merah.

“Hinomiya-san, aku minta maaf soal kejadian tadi siang.”

“….”

“Aku mengejutkanmu ketika penyerahan naskah itu kusebut, bukan?”

“….”

“Aku benar-benar minta maaf, tapi, kamu mungkin tidak akan percaya bahkan jika aku bilang padamu bahwa aku bekerja sebagai penyaring naskah, bukan?”

“….”

“Aku hanya kebetulan saja membaca naskahmu, Hinomiya-san. Naskahmu kebetulan ada di tumpukan naskah yang dikirimkan padaku. Aku membaca data-data pribadimu yang tertera pada naskah, dan menemukan namamu dan sekolah kita.”

“….”

Bibir tipis Hiyuki masih dalam keadaan terkatup rapat, kedua matanya tampak sedih ketika dia terus berjalan. Mereka melewati gerbang sekolah dan berjalan di atas trotoar, melewati tempat pemberhentian bus. Setelah berbelok ke sebuah jalan kecil, rumah-rumah cantik bisa dilihat di masing-masing sisi jalan. Tiap rumah memiliki taman subur yang dirawat dengan baik, dan keduanya terus berjalan.

“Aku sama sekali tidak berniat untuk memberitahu semua orang tentang Hinomiya-san yang mengikuti Kontes Pendatang Baru, ataupun berpikir untuk memerasmu.”

Ah, mungkin aku seharusnya tidak menyebut soal memeras? Hinomiya merasa lebih berhatihati Pada Ao, yang mana membuat Ao gelisah. Namun Hiyuki yang selama ini berjalan dengan tenang  tiba –tiba berhenti.

Tumbuh-tumbuhan merambat yang menutupi dinding di sebelah Hiyuki sedang mekar dengan mawar-mawar merah jambu, dan sebuah pohon besar dipenuhi bunga-bunga putih ada di depan Hiyuki.
Hiyuki menggigit bibirnya dan menundukkan kepala.

“….”

Kedua matanya makin memerah, dan dia berkata dengan suara yang sangat lembut hingga terdengar seolah-olah akan menghilang:

“… Kazetani-kun … Apa kamu, sudah membaca naskahku…?”

“Ah, iya …”

“… Semuanya?”

“… Ya.”

“… Sampai selesai?”

“… Ya.”

Ao membacanya hingga baris terakhir, secara perlahan dan secara mendetail, dan mengisi sebuah lembar komentar.

Hiyuki tampak bergumam malu-malu, mengangkat kepalanya untuk melihat Ao dengan bingung setelah menurunkan bahunya.

Hiyuki lebih tinggi dibandingkan gadis-gadis lain, dan Ao sedikit lebih pendek daripada lakilaki Pada umumnya.

Jarak dari kedua mata mereka sangat dekat ketika Ao melihat Hiyuki yang tingginya hampir sama dengannya, hal itu membuat Ao panik.

Mata Hiyuki berkaca-kaca, namun tahi lalat di dekat bibirnya yang sedikit terbuka tampak sangat seksi.

Uwah, mukaku panas, apa mukaku merah sekarang?

Hiyuki menatap Ao yang kebingungan dengan tidak yakin dan berbicara ragu-ragu:

“B-bagaimana menurutmu hasil karyaku…?”

Ketika Ao sampai di rumah, hari sudah sore.

“Aku pulang.”

Ketika daerah perumahan itu diwarnai merah oleh matahari terbenam, Ao membuka pintu dan berseru. Adik laki-laki dan adik perempuannya, si kembar yang baru saja masuk sekolah dasar menabraknya dengan berisik.

“Kau kembali, Ao.”

“Ao, kau pulang.”

Mereka masih muda, jadi tinggi si kembar hampir sama walaupun jenis kelamin mereka berbeda. Kedua mata mereka yang besar dan bibir mereka yang tebal tampak mirip.

Sedangkan untuk sifat mereka, si adik laki-laki berperilaku nakal sementara si adik perempuan berperilaku baik. Ao merasa kagum dengan perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan yang sudah terlihat bahkan pada usia muda. Atau mungkin hal itu hanya berlaku demikian pada si kembar di keluarga Ao.

Si kembar tampak rukun dan selalu bermain bersama. Si adik laki-laki yang jail menyukai baseball dan sepak bola sementara si adik perempuan yang lemah lembut suka menggambar dan bermain rumah-rumahan. Mereka selalu bertengkar soal permainan apa yang akan dimainkan, dan Ao akan bertindak sebagai pemisah pada kasus-kasus seperti ini.

“Ao, ayo lanjut main video game.”

“Ao, ayo menggambar.”

Keduanya menarik masing-masing lengan Ao.

“Aku akan memeriksa PR kalian dulu, siapa yang selesai duluan bisa kemari dan bermain.”

“Ya! Aku akan segera mengerjakan PR-ku!”

“Aku juga!”

Si kembar menjawab dengan polosnya, Ao menepuk kepala mereka dan berkata: “Itu bagus.” Saat itu, ibu Ao menjulurkan kepalanya.

“Selamat datang kembali Ao, kau pulang telat hari ini.”

“Ya, aku pergi minum teh dengan temanku.”

Ao menjawab santai, kemudian mengingat percakapannya dengan Hiyuki.

***

“B-bagaimana menurutmu hasil karyaku…?”

Setelah Hiyuki bertanya dengan ekspresi ragu-ragu, Ao tidak bisa langsung menjawab.

“Soal itu, eh…”

Hiyuki menatap Ao dengan wajah yang sangat serius, dia tampak menggenggam tasnya lebih kuat sementara jari-jemarinya sedikit gemetar. Ao merasa tertekan oleh aura Hiyuki, dan tidak bisa menjawab seperti biasanya.

“Sebaiknya kita tidak berdiri di sini dan bicara, mau duduk di suatu tempat?”

Ao memberi saran.

“…Ada, sebuah kafe di dekat sini… Di gang itu, kurasa, orang-orang dari sekolah … mungkin jarang pergi ke sana.”

Dia melanjutkan dengan suara yang lembut.

“Ayo kita ke sana kalau begitu.”

Kafe yang disarankan Hiyuki adalah sebuah toko sederhana bernuansa seperti di rumah, lantai pertamanya adalah sebuah tempat tinggal yang diubah menjadi etalase. Ada kursi-kursi kayu berwarna kopi di dalamnya, tipe kursi yang hanya akan muncul di cerita-cerita dongeng, begitu juga dengan meja-meja kayu yang tampak agak tua. Di kursi-kursinya terdapat bantal-bantal hasil jahitan tangan bermotif garis-garis, dan kertas dindingnya memiliki desain belah ketupat yang hangat.

Secangkir teh atau kopi harganya 450 yen, sedikit lebih mahal dari minuman yang dijual di minimarket-minimarket, namun lebih ekonomis dibandingkan kafe yang biasanya.

Pada hari-hari kerja seperti ini, ada banyak kursi-kursi yang kosong. Seorang wanita yang sepertinya anak kuliahan duduk di dalam dan ada dua orang wanita tua bercakap-cakap dengan suara elegan, membuat toko tersebut terasa tenang dan nyaman.

Wanita penjaga toko tersenyum lembut dan membiarkan keduanya memilih tempat duduk yang mereka sukai. Dan begitulah, Ao dan Hiyuki memilih sebuah meja dekat tembok dan duduk saling berlawanan.

Hiyuki tetap melirik Ao, dengan cemasnya menunggu pendapat Ao tentang hasil karyanya.

Ao memesan susu dan teh Assam, Hiyuki memesan teh bunga krisan. Ao kemudian berkata:

“Karya Hinomiya-san menarik sekali.”

Ekspresi Hiyuki berubah cerah.

“Erm, jadi … Apa aku berhasil melewati babak pertama?”

“Ehh … Aku tidak bisa membocorkannya sebelum ada pengumuman resmi … Tapi …”

Ao tergagap, dan wajah Hiyuki menjadi kecewa dan dia menunduk sedih.

“Aku tidak, terpilih … lagi.”

Ao tidak tahu apa yang harus dilakukannya karena Hiyuki tampak sangat depresi.

Dia tidak bisa memberitahukan hasilnya pada Hiyuki, namun Hiyuki benar, Ao tidak mengirimkan karya Hiyuki ke babak kedua.

Alih-alih memberinya harapan dan membiarkannya mengetahui sendiri hal itu, akan lebih baik jika dia tahu sekarang, yang mungkin tidak akan terlalu menyakitkan. Namun mendengar berita yang mengecewakan itu kurang dari sebulan setelah pengajuan naskahnya, Ao hanya bisa meminta maaf.

Sang pemilik toko menyajikan teh di atas nampan dan menuangkan isinya ke cangkir. Namun Hiyuki tidak mengambilnya, dan hanya berbicara dengan nada murung serta kedua matanya menatap ke bawah.

“…Aku… sudah mencoba lima kali… Dan selalu gagal. Apa karena karyaku terlalu vulgar?”

“Hmm?”

“Apa karena murahan dan membuat orang-orang tidak senang?

“Hmmm?”

“Apakah karyaku meragukan, dan lancang?”

“Tunggu, tunggu sebentar, Hinomiya-san.”

Seiring dengan istilah-istilah negatif yang diucapkan satu per satu, Ao berkata dengan panik:

“Aku tidak berpikir begitu. Aku tidak mengirimkannya ke babak kedua, tapi kurasa karya Hinomiya-san benar-benar menarik. Aku menuliskannya di lembar komentarku juga, akan memerlukan waktu sebelum itu dikirim, silakan dibaca kalau begitu.”

“…Apa karyaku benar-benar… punya bagian-bagian yang menarik?”

“Ya.”

Ao mengangguk sambil tersenyum. Mata Hiyuki melebar, menundukkan pandangannya lalu bermain-main dengan gagang cangkirnya dan berkata:

“…Tapi, penyaring-penyaring lain bilang itu membosankan… Semua lembar komentar yang kudapat tertulis begitu. Ceritanya berantakan, menggunakan kata-kata murahan, vulgar, susah dibaca, karakter utamanya tidak menarik … Struktur ceritanya tidak meyakinkan sama sekali, kontennya lancang, tidak menarik sama sekali. Nilai keseluruhanku selalu yang terendah, dapat C jika dapat tiga nilai, E jika dapat lima…”

Editor-editor dari penerbit manapun akan mengingatkan terus-menerus pada para penyaring naskah bahwa para kontestan juga pembaca light novel, dan untuk tidak menulis komentar-komentar
yang terlalu kritis atau mencela karya mereka.

Namun masih ada penyaring-penyaring merepotkan yang akan menulis kritik dengan sikap yang angkuh, berpikir bahwa para pengirim seharusnya bukanlah para penulis tak beradab yang bahkan tidak tahu dasar-dasar menulis. Ao pernah mendengar Sakutarou menyebutkan hal ini.

Penyaring-penyaring yang berbasis pada hal-hal artistik semacam itu berpendapat bahwa merubah ukuran fon dan menggunakan tanda baca yang tidak semestinya adalah vulgar dan rendahan, dan mereka membenci cara menulis yang seperti itu.

Sebagai contoh elipsis seharusnya berupa dua set dengan tiga titik (……), jika mereka melihat naskah yang hanya menggunakan tiga titik  (…), mereka akan menilai bahwa si penulis itu buruk dan bahkan tidak mengetahui dasar-dasar dalam menulis, menyimpulkan bahwa karya tersebut tidaklah bagus dan tidak pantas dibaca. Ao terkejut ketika mendengar tentang penyaring-penyaring naskah semacam ini.

Itu benar bahwa elipsis seharusnya  (……), namun akhir-akhir ini, untuk penulis-penulis muda yang memublikasikan karya mereka secara online, akan lebih mudah dibaca di monitor jika mereka menggunakan  (…), dan mereka sudah terbiasa dengan gaya menulis yang demikian.

Mereka seharusnya tidak menggunakan hal ini untuk menilai seorang penulis. Para editor akan mengajari mereka tentang itu setelah karya mereka terpilih, jadi hal tersebut tidak akan berpengaruh pada keseluruhan isinya.

Ao menemukan banyak naskah menarik dan sangat bagus yang tidak menggunakan elipsis dengan benar. Di sisi lain, ada banyak karya dengan susunan kata yang sempurna, namun kurang menarik.

Ao pernah membaca sebuah naskah yang tidak memisahkan tiap-tiap paragraf, menumpuk semua kalimat bersama-sama. Awalnya dia tidak tahu bagaimana cara membacanya, namun saat diteliti lagi, dia merasa penulisannya hidup dan lincah, ceritanya penuh kepribadian, menjadikannya berbeda.

Menulis karya seperti itu meskipun tidak mengetahui dasar penulisan, penulis ini punya potensi yang sangat hebat! Ao mengirim karya tersebut ke tahap kedua dengan hati penuh harap. Naskah itu tidak memenangkan hadiah utama karena pertentangan pendapat, namun naskah itu tetap mendapat hadiah spesial, dan menjadi top seller dari serialisasi itu.

Karena hal seperti itu pernah terjadi sebelumnya, Ao berkata dengan wajah terkejut:

“Tidak akan mungkin memutarbalikkan keadaan jika kamu bertemu dengan seseorang yang berpikir bahwa standarnya lah yang paling benar. Aku hanya bisa mengucapkan belasungkawa jika seseorang mendapat penyaring yang seperti itu.”

Namun tentu saja, para penyaring profesional tidak akan membiarkan sebuah karya yang berpotensi sukses luput dari perhatian. Bagaimanapun, beberapa penyaring membuat komentar tidak berguna dan menjijikkan pada para peserta yang tidak berhasil. Para peserta menjadi geram setelah menerima hasilnya dan memublikasikan kontennya ke internet, membuat kontroversi. Hal seperti itu pernah terjadi sebelumnya.

Hiyuki pasti pernah menemui penyaring yang seperti itu.

Ao tidak bisa hanya berbelasungkawa.

Dengan bahu yang terkulai, tatapan sedih dan bibir digigit, Hiyuki yang murung tidak tampak seperti si penyendiri cantik yang dikenal sebagai ‘si Gadis Es’, dan terlihat sangat menyedihkan.

“Kupikir Hinomiya-san hanya kurang beruntung saja. Karyamu tidak sempurna, perubahan pada ukuran fon dan tanda bacanya sedikit berlebihan, yang mana bisa memberi kesan buruk, tapi ada poin-poin bagusnya juga kok. Kalau kamu bisa memaksimalkannya, kau pasti bisa melewati babak pertama seleksi.”

Ao berkata dengan semangat dan Hiyuki mengangkat kepalanyaa dan menatap Ao. Kemudian Ao berkata:

“Teh di sini enak.”

Dia berkata dengan senyum setelah menuangkan susu ke teh Assamnya dan menyesapnya. Hiyuki menurunkan pandangannya takut-takut, dan meminum teh bunga krisannya.

“… Rasanya, sangat enak.”

Hiyuki bergumam.

“… Aku sering melewati kafe ini… Aku selalu ingin masuk dan melihat-lihat, tapi aku tidak berani melakukannya sendirian…”

“Aku juga, sulit bagi laki-laki untuk memasuki toko seimut ini, aku senang bisa datang kemari bersama Hinomiya-san.”

Pipi Hiyuki berubah merah. Dia tetap menundukkan pandangannya, dan berkata dengan lembut:

“E-erm… Seri ‘Bola Surgawi yang Hilang’… Aku membacanya juga…”

Itu adalah light novel yang dengan sengaja Ao jatuhkan ke lantai agar bisa bercakap-cakap dengan Hiyuki. Ao merasa hatinya telah terbuka.

“Ternyata aku benar! Aku berpikir kalau Hinomiya-san mungkin juga membaca seri ini.”

“Aku seorang penggemar berat…”

“Ya, twist dan perkembangan pada tiap-tiap buku benar-benar membuatku gembira! Apa kamu sudah membaca volume terbarunya?”

“Sudah, ketika Takato… membantu Falumia… Aku sangat tersentuh.”

“Ya, bagian itu sangat hebat! Dan pada waktu itu ketika si penyendiri Jacille sebenarnya mengatakan mantra yang tabu pada kawannya.”

“… Aku menangis saat membaca bagian itu.”

“Aku juga.”

Tanpa mereka sadari, keduanya telah membicarakan light novel dengan penuh semangat.‘Bola Surgawi yang Hilang’ adalah sebuah naskah yang Ao pilih untuk babak kedua.

Menurutnya karya tersebut sangat menarik, dan dia ingin masyarakat luas untuk merasakannya juga. Itulah mengapa Ao sangat senang dan bersemangat ketika Hiyuki dengan malu-malu mengungkapkan pendapatnya tentang buku itu.

“…Kazetani-kun, bagaimana ceritanya kamu bisa bekerja sebagai seorang penyaring naskah …?”

Hiyuki masih penasaran dengan hal ini, dan bertanya dengan hati-hati.

“Ehh, aku sebenarnya tidak boleh bilang kalau aku bekerja sebagai penyaring. Bisa kamu rahasiakan ini?”

Hiyuki mengangguk pelan.

“… Ya, toh aku tidak punya orang yang bisa kuajak bicara.”

Ao merasa kalau cara Hiyuki mengatakannya terdengar kesepian. Namun Hiyuki tidak terdengar seperti dia memerlukan simpati dan hanya mengungkapkan sebuah fakta, jadi Ao hanya berpura-pura tidak pernah mendengarnya.

“Pamanku bekerja di industri video game, awalnya, aku mengambil alih pekerjaan yang pamanku ambil…”

Ao mulai menjelaskan bagaimana dia bisa bekerja sebgai penyaring naskah. Hiyuki membelalakkan kedua matanya dan mendengarkan dengan napas tertahan. Akhirnya—

“Hal seperti itu … benar-benar terjadi.”

Dia bergumam dengan penuh perasaan.

“Ya, seperti sebuah pengembangan pada light novel. Tapi kudengar beberapa penyaring naskah bisa jadi seorang ibu rumah tangga atau pemilik toko sayuran. Juga, beberapa penyaring naskah untuk novel-novel yang ditujukan untuk wanita bisa jadi ilustrator untuk game-game H atau pria paruh baya dengan usia sekitar empat puluh-an.”

“Game H …?”

Hiyuki memiringkan kepalanya sedikit.

“Ah, itu … game R18. Pamanku membuat game-game semacam itu. Game itu akan diadaptasi menjadi versi semua umur kadang-kadang, tapi begitulah. Ahh, itu memang game H, tapi punya konten-konten yang menarik dan akan membuatmu tergerak juga! Oh ya, yang kumainkan itu versi semua umur!”

“Ya … Ya.”

Ketika Hiyuki tahu bahwa game H adalah game erotis, wajahnya berubah merah sekali. Kulitnya memang sangat putih, jadi kelihatan sekali ketika dia tersipu.

Ao sebenarnya mengira Hiyuki akan tahu sedikit mengenai game H walaupun dia sendiri tidak memainkannya, sebab dia menulis hal-hal seperti ‘Celana dalam bergaris☆’.

Sepertinya Ao salah.

Berdiskusi tentang hal cabul dengan seorang gadis serius sepertinya, bukankah itu pelecehan seksual …? Wajah Ao mulai memanas.

Hinomiya-san adalah orang yang sangat berbeda dari karyanya. Tidak seperti pandangan teman-teman sekelas tentangnya, dia mungkin tampak dingin, namun bersedia mengobrol denganku. Dia dengan mudahnya tersipu dan hati-hati dengan kata-katanya … Sangat dalam dan sulit untuk dimengerti.

Ketika percakapan itu berhenti dan keduanya merasa canggung, Hiyuki bicara terlebih dulu:

“Aku punya … jam malam di tempatku, aku harus pergi sekarang.”

Ao dengar Hiyuki berjalan ke sekolah dari sebuah rumah besar bergaya Jepang kuno. Jika dia bisa berjalan ke rumah dari sini, berarti jam malamnya terlalu awal. Ao dengar Hiyuki tinggal dengan neneknya yang keras, itulah kenapa seperti ini.

“Sudah waktunya aku pulang juga.”

Ao pun berdiri.

Karena keduanya terlalu asyik dengan pembicaraan mereka, Ao akan sampai di rumah ketika jam makan malam tiba jika pulang saat ini dengan menggunakan sepedanya.

“Walaupun aku bekerja sebagai penyaring naskah, Hinomiya-san adalah penulis light novel pertama yang kutemui. Aku senang bisa mengobrol denganmu hari ini.”

“A-aku juga …”

“Kalau begitu, mari ngobrol tentang light novel lagi jika ada waktu. Ah, kalau tidak mau bicara denganku di sekolah, abaikan saja aku. Aku akan memberimu nomor telepon dan emailku, kontak saja aku kalau mau.”

Ao bicara dengan bias seperti yang biasa dia lakukan ketika bertukar kontak dengan temanteman Sekelas yang lain. Hiyuki menoleh dengan gelisah, dan terlihat seperti merenungkan sesuatu.

“Kazetani… Aku punya permintaan.”

“Hmm, apa itu?”

Ao yang sedang memegang ponselnya sejenak berdiri kaku. Wajah Hiyuki, termasuk area di sekitar tahi lalatnya menjadi merah, ketika dia berkata tanpa keberatan:

“Tolong ajarkan aku cara menulis light novel.”



Hinomiya terlalu serius, jadi aku berkata padanya ‘Akan kuajarkan padamu apa pun yang kutahu’ tanpa berpikir. Apakah ini berhasil, aku belum pernah menyelidiki cara untuk menulis light novel sebelumnya.

Setelah makan malam, Ao duduk di depan bangku di kamarnya, menatap point card yang diberikan kafe tadi. Jika dia mengumpulkan sepuluh poin, dia bisa menukarnya dengan makanan penutup buatan tangan. Ada sebuah cap berupa sebuah cangkir teh dengan angka ‘1’ di kartu.

Dia juga mendapat voucher 50 yen.

Dalam keadaan itu, dia membuat rencana dengan Hiyuki untuk bertemu pada kafe yang sama sepulang sekolah besok, dan dia akan memberi saran pada Hiyuki untuk menulis light novelnya.

Aku mungkin seorang penyaring naskah, tapi aku belum pernah menulis sebuah novel, dan tidak tahu bagaiman caranya menulis sebuah light novel yang bagus, aku bertanya-tanya apakah aku dapat membantunya. 

Aku bilang padanya aku hanya akan memberikan pendapat-pendapat pribadiku, dan Hinomiya-san bilang itu juga tidak apa-apa.

— Sekali saja tidak apa-apa, aku cuma ingin berhasil melewati babak pertama seleksi.

Hiyuki menatap Ao dengan pandangan serius.

Hanya untuk satu proyek, Hiyuki harap Ao bisa membantunya.

“Ya, mari kita coba, sepertinya menyenangkan.”

Ao tersenyum dan bergumam.

Mereka berencana untuk berangkat ke kafe secara terpisah lewat email. Setelah sekolah usai, Hiyuki meninggalkan kelas sementara Ao mempertimbangkan waktu dengan mengobrol menulis selama hari-hari libur sekolah… Jadi, sekitar sebulan? Selanjutnya pengecekan dan pengeditan… Kurasa… Semua ini akan memerlukan waktu sebulan setengah.

“Kenapa kamu tidak bisa menulis pada hari libur sekolah?”

Ao bertanya dan Hiyuki menunduk, merasa kesulitan bicara.

“Aku… tidak punya komputer di rumah. Dan nenekku… membenci anime dan game, jadi dia menjauhkanku… dari hal itu. Jadi aku tidak bisa membaca light novel di rumah…”

Jarang melihat para orang tua membatasi anak mereka dari anime atau game, dan selain itu, ini adalah kakek-nenek yang melakukannya kepada seorang cucu yang seorang murid SMA.

Seseorang yang segenerasi dengan neneknya mungkin masih berpikir bahwa sesuatu seperti anime akan memberi dampak negatif pada pendidikan anak. Jam malam yang terlalu awal itu juga menunjukkan bahwa nenek Hinomiya memang sekeras yang dikatakan.

Bagaimana dengan orang tua Hinomiya? Apa mereka tidak tinggal bersama?

Ao merasa penasaran dengan ini, namun dia tidak bisa bertanya karena Hiyuki tampaknya merasa terganggu dengan ini.

Sepertinya inilah alasan mengapa Hiyuki menghabiskan seharian penuh di lab komputer di sekolah. Sulit dibayangkan dia hanya bisa menulis di sekolah. Ao pikir Hiyuki keren karena bekerja keras setiap hari dan menyelesaikan naskahnya dalam sebulan.

Ao memuji Hiyuki dengan nada bersungguh-sungguh, namun Hiyuki menurunkan bahunya dan berkata:

“Karena … aku tidak punya apa-apa lagi untuk dikerjakan.”

Dia tampaknya malu dengan jawabannya.

“Bagaimana caramu mencetaknya? Tidak semua penerbit menerima naskah elektronik, kan?”

“… Akan terlalu menyolok kalau mencetak banyak di sekolah, jadi aku melakukannya di warnet.”

“Begitu ya, kau menggunakan warnet untuk pengiriman naskah elektronik juga?”

“Ya.”

Hiyuki mengangguk.

Walaupun penampilannya tampak dewasa di sekolah, Ao tidak tahan untuk tidak tersenyum pada tingkah kekanak-kanakannya.

“Baiklah, ayo ikut kontes Eidansha’s Star Literature dengan tanggal penutupan 15 Juli. Ada dua bulan, lebih dari cukup dengan kecepatan menulis Hinomiya, jadi santai saja.”

“… Ya.”

Pipi Hiyuki kembali merona, dan dia terlihat bahagia.

“Untuk dua bulan ke depan… Aku akan merepotkanmu.”

Rambut cokelat yang selembut sutra jatuh dari bahunya sewaktu Hiyuki memberi Ao sebuah bungkukan sopan, yang membuat Ao sedikit malu.

“Aku juga, mohon bantuannya untuk beberapa bulan ke depan. Dan juga, aku sudah bilang kemarin kalau aku hanya akan memberi opini pribadiku, kalau Hinomiya-san merasa itu salah, jangan memaksa diri untuk menerimanya dan katakanlah! Ah, aku ingin dengar komentarmu juga!”

“… A-akan kulakukan yang terbaik.”

Hiyuki menjawab dengan khawatir, tidak yakin bisa melakukannya. Ao merasa gugup juga, bertanya-tanya apakah dia bisa memberi saran tentang bagaimana menulis sebuah novel. Dia merasa gelisah, namun karena diminta, dia harus melanjutkannya.

Menyemangati diri sendiri di dalam hati, Ao menatap Hiyuki dan bertanya dengan ceria:

“Pertama, cerita macam apa yang paling ingin Hinomiya tulis?”

Hiyuki tampak bingung.

“Yang paling ingin ditulis …?”

“Benar, paling. Banyak orang akan memperhitungkan fitur-fitur dari serialisasi tersebut, mempertimbangkan apa yang disukai pembaca dan lain-lain sebelum menentukan topik. Ini adalah strategi, tapi memikirkannya dari dasar juga bagus.”

Setelah membaca naskah Hiyuki, dia merasa banyak bagian yang kaku karena Hiyuki memasukkan terlalu banyak hal ke dalam ceritanya dengan harapan bisa menarik perhatian lebih banyak pembaca.

Itulah mengapa Ao berharap Hiyuki akan menulis tentang sebuah topik yang disukainya.

“Jika seorang penulis menulis sesuatu dengan perasaan ‘Aku harus menulis ini’, pembaca bisa merasakan itu ketika membacanya, dan orang lain akan mau mendukung si penulis. Itulah mengapa kita harus menggunakan ‘hal-hal yang ingin kutulis’ sebagai inti dan menentukan latar tokoh-tokoh dan ceritanya, dengan tujuan lulus babak pertama seleksi. Kupikir ini adalah cara efektif untuk melakukannya.”

“Ah … Ya.”

Hiyuki mengangguk.

“Kalau begitu, aku akan bertanya lagi. Hinomiya-san, hal apa yang ingin kautulis, apa pun?”

“Em, emmm…”

Karena Hiyuki memikirkannya dengan serius, itu berarti ada sesuatu yang ingin ditulisnya, dan ada banyak juga. Walaupun dia tidak bisa menulis di rumah, dia akan tetap menulis meskipun lingkungan yang membatasinya. Hiyuki akan menghasilkan sebuah karya setiap dua bulan, jadi pasti ada sesuatu yang ingin dia tulis.

Namun dia tidak bisa menilai apa yang paling ingin dia tulis.

Jika dia bisa menulis hanya satu karya seumur hidupnya, apa yang ingin dia tulis? Tidak mungkin untuk menjawabnya dengan seketika.

Hiyuki mengerutkan alisnya dan menutup rapat bibirnya yang ada tahi lalat di sampingnya sambil termenung dengan serius. Alis tipisnya berangsur-angsur layu, dan Ao memutuskan untuk membantu Hiyuki saat menyaksikan hal itu.

“Susah untuk menjawabnya, ya? Kalau begitu, tulis saja.”

“Hmm?”

“Keluarkan pulpen dan buku tulismu, nanti akan kuhitung sampai lima puluh. Hinomiya-san, tolong buat daftar hal-hal yang ingin kautulis saat ini. Apa pun bisa, tolong catat sebanyak mungkin.”

“Li-lima puluh!?”

Waktu yang diberikan mungkin terlalu pendek dan membuatnya gelisah. Hiyuki mengeluarkan tempat pensil dan buku tulisnya dengan panik. Dia menekan pensil mekanik berhias hiu kitefinnya dan membuka buku tulis.

“Mulai dari sekarang, satu, dua … tiga …”

Tanpa menunggu Hiyuki untuk tenang, Ao mulai menghitung. Ini adalah metode yang sering Sakutarou lakukan ketika dia merasa buntu.

—— Ah, aku tidak bisa memikirkan apa pun~ Tidak ada ide sama sekali. Ao~ hitung sampai lima puluh~

Sakutarou berkata pada Ao sembari menjambak rambut panjangnya yang berantakan.

Sementara Ao menghitung, jari Sakutarou berada di atas papan tik, mengetik setiap kalimat atau adegan.

Menurut Sakutarou, berpikir kacau akan menumpulkan pikiran seseorang. Jadi akan lebih baik untuk menulis semua yang terlintas di benak dalam waktu singkat alih-alih berpikir.

“Empat puluh satu, empat puluh dua …”

Seakan-akan dikejar oleh hitungan Ao, Hiyuki menggerakkan pensil mekanik berhias hiu kitefin di tangannya dengan cepat. Dia tidak punya waktu untuk berpikir, jadi dia hanya bisa menulis apa pun yang terlintas di benaknya satu per satu. Wajah pucatnya memerah.

“Empat puluh delapan, empat puluh sembilan… Lima puluh.”

Setelah Ao selesai, Hiyuki menurunkan bahunya dan mengembuskan napas lega, pipinya sangat merah.

“Biar kulihat.”

Ao mencondongkan badan ke depan dan Hiyuki menyerahkan buku tulisnya dengan malu-malu Dan dia melihat tulasn-tuliasannya seolah dia ingin memastikannya sendiri.

Keduanya membaca huruf-huruf yang tertulis rapi di buku tulis.

“Dunia lain, berpindah, reinkarnasi, hiu kitefin, laut, kesendirian, mencari teman, teman baik, hangat, lemah lembut, kehidupan sehari-hari, cinta.”

Begitu Hiyuki melihat kata-kata itu, telinga sampai ke tahi lalat di dekat mulutnya memerah.

“I-itu … aku hanya menulis … apa yang terlintas di pikiranku.”

Hiyuki mungkin merasa malu seakan-akan dia sedang menunjukkan keinginan terdalamnya pada orang lain.

Ao menatap kedua mata Hiyuki dan bicara dengan ceria dan penuh percaya diri:

“Ini adalah cerita yang paling ingin Hinomiya-san tulis sekarang!”

Hiyuki menahan napas.

Ao melanjutkan dengan nada kasual:

“Mari kita buat ceritamu dengan latar seperti ini. Si tokoh utama yang kesepian tiba-tiba datang di dunia lain, seperti negeri bawah laut dengan hiu-hiu kitefin, mendapat temanteman baru, jatuh cinta, berteman dengan semua orang, cerita slice of life yang hangat dan lembut. Apa itu bagus, Hinomiya san?”

“A-apa cerita itu … bagus?”

Hiyuki bertanya dengan cemas.

“Para pembaca akan merasa bosan kalau itu hanya berupa cerita slice of life, erm … bagaimana kalau menulis adegan-adegan bertarung dan petualangan-petualangan di dungeon untuk membuat klimaks? Itu yang tertulis di lembar komentar …”

“Hinomiya-san, apa kau suka menulis adegan-adegan pertarungan?”

“Tidak … Aku tidak suka.”

Ada adegan-adegan bertarung dan perang kekuatan super di ‘Aku si penyendiri datang di dunia lain, menjadi pahlawan, raja iblis dan kaisar sebuah surga harem’ namun pada deskripsinya lebih banyak berupa efek suara dan kurang menegangkan, jadi tidak cocok sama sekali. Ao merasa ini adalah bagian yang Hiyuki paksa untuk dimasukkan ke dalam cerita.

“Kalau begitu, tidak usah menulis adegan pertarungan kali ini. Tema utama dari naskah ini adalah ‘cerita yang paling ingin kautulis’, jadi jangan paksakan dirimu untuk menulis sesuatu yang tidak membuatmu tertarik. Itu benar kalau menaruh cukup pertarungan dapat menambah klimaks, tapi mungkin kok untuk menciptakan efek ini walaupun kau menulis tentang kehidupan sehari-hari.”

“… Bagaimana aku melakukan itu?”

“Kita pikirkan itu nanti. Kita akan memutuskan struktur utama ceritanya sekarang. Secara pribadi, kupikir si tokoh utama yang bereinkarnasi menjadi seekor hiu kitefin itu menarik, aku ingin membaca itu. Jatuh cinta dengan seekor hiu betina, dengan teman-teman kepiting dan anemone yang mendukungnya, semacam itu.”

Hiyuki tertawa.

Ah, dia tertawa …

Ekspresi Hiyuki yang tegang berubah rileks, dan tersenyum seperti yang biasa dilakukan gadis-gadis, membuat hati Ao berdebar. Hiyuki menggunakan nada serius dan berkata pada Ao:

“Kedengarannya menarik … Bagaimanapun, kupikir cerita yang tadi Kazetani uraikan sangat mendekati cerita light novel. Aku ingin menulisnya, aku sangat ingin menulisnya.”

Hiyuki yang sudah tidak gugup lagi terasa hangat dan terlihat lucu, menarik dawai-dawai di hati Ao lebih keras. Ao menjawab:

“Ya, itu bagus.”

Dia mengangguk.

“Yang paling penting ini adalah novel yang paling ingin Hinomiya tulis. Aku memang berkata tidak masalah kalau naskahnya berbeda dari serialisasinya, tapi akan sulit untuk sebuah naskah dari kontes Pendatang Baru untuk melewati seleksi pertama jika genre-nya terlalu berbeda. Walaupun bisa maju ke babak kedua, kemungkinan besar akan disaring keluar. Kalau penulisannya bagus dan struktur ceritanya masuk akal, akan sangat disayangkan. Kenapa seseorang mengirimkan novel berseri atau novel fiksi ilmiah yang berat ke sebuah kontes light novel? Aku sangat ingin mengirimkannya ke babak kedua
karena karya tersebut sangatlah lengkap, tapi jika aku melakukannya, si penulis akan mengikuti kontes yang akan datang, ‘kan? Jika iya, akan lebih baik kalau menyaringnya keluar di babak pertama, akan berdampak baik pada penulisnya bukan? Aku kadang menemui masalah-masalah semacam itu.”

“Apa ada banyak karya… yang tidak cocok dengan genre-nya?”

“Detail-detail kontes biasanya diterbitkan di majalah-majalah populer, jadi banyak pembaca akan membacanya. Sebagian besar naskah dari majalah-majalah semacam itu dan serialisasiserialisasi baru akan jadi berantakan. Ada dongeng-dongeng yang ditulis seluruhnya dengan katakana untuk anak-anak, pria-pria tua menjelaskan rinci pengalaman perang mereka, pemikiran-pemikiran tentang menjalankan sebuah perusahaan yang ditulis beberapa CEO, sebuah cerita cinta antara seorang wanita berusia empat puluhan dan seorang pria berusia dua puluhan. Ahh, juga sebuah naskah penuh foto catatan perjalanan seseorang ke India. Menunjukkan gestur tangan Victory di Angkor Wat, dia terlihat bahagia sekali. Setelah membacanya, aku jadi paham lebih dalam tentang India. Ada beberapa orang yang menyertakan CD rekaman sebuah lagu yang ditulis dan dinyanyikan sendiri oleh mereka di naskah.”

“Itu benar-benar … kacau.”

Hiyuki menggumam dengan mata terbuka, dan Ao tertawa:

“Ya, aku merasa senang membacanya!”

Melihat wajah penulis dan banyak sekali naskah yang masuk membuat Ao sangat kegirangan. Dia merasa bahagia membalik setiap halaman.

Hiyuki menatap lurus ke arah Ao.

Dia tampak terkejut.

“Eh, walau karyanya tidak cocok, aku tetap merasa senang dan beruntung membaca banyak cerita. Tapi aku masih berharap cerita-cerita tersebut dikirimkan ke penerbit-penerbit yang tepat. Kadang-kadang, penerbit-penerbit itu akan menyatakan lewat memo kalau kita harus ‘memilih lebih banyak karya-karya fantasi jika memungkinkan’, atau ‘utamakan cerita-cerita kehidupan sekolah yang mudah dibaca’, semacam itu.”

“Begitu… kah?”

Hiyuki menelan ludah.

Jadi kriteria yang diperlukan untuk melewati tahap pertama sudah diantisipasi sebelum seleksi, itu terlalu mengejutkan.

Aku keceplosan, aku seharusnya tidak bilang itu. Ao membenarkan dan melanjutkan:

“Dari apa yang kutahu, hanya ada dua serialisasi yang melakukan ini. Sebagian besar serialisasi tidak sespesifik itu untuk tahap pertama seleksi. Ada juga satu waktu ketika penerbit bilang pada kita untuk ‘memberi keutamaan pada cerita-cerita kehidupan sekolah’. Tapi sebuah naskah yang berpusat pada pertarungan-pertarungan sangat menarik dan sampai ke babak kedua seleksi dan memenangkan hadiah, menjadi trending work. Di kontes selanjutnya, tujuan perhatiannya menjadi ‘utamakan pada cerita-cerita bertema pertarungan’. Hal seperti itu sering terjadi, jadi jangan terlalu khawatir.”

“Ya … oke.”

Kali ini, Hiyuki menghela napas lega.

“Lagi pula, jika kau terlalu fokus pada permintaan penerbit, kau tidak akan bisa menulis apa yang kau inginkan, yang merupakan sebuah masalah. Menyesuaikan genre itu penting, tapi kamu tidak perlu memaksanya. Jika semuanya menulis cerita yang sama, membosankan jadinya.”

“Jadi, keseimbangan itu penting … ‘kan?”

“Betul, Hinomiya-san, seperti yang diharapkan dari murid teladan.”

“Tidak kok …”

Hiyuki menjadi tidak tenang.

Mereka mengakhiri sesi tersebut hari ini pada titik ini.

“Aku akan bekerja keras dan menulis sebuah cerita tentang berpindah ke kerajaan hiu kitefin, dan kehidupan sehari-hari si tokoh utama.”

Bibir Hiyuki dengan tahi lalat yang mempesona di sampingnya tersenyum, Hiyuki berkata dengan ekspresi tegas yang membuat jantung Ao berdebar cepat. Di pintu masuk kafe, Hiyuki mengangguk sopan lalu pergi dari arah yang berlawanan dengan Ao dan pergi dengan terburu-buru, berlari ke rumah sebelum jam malamnya dimulai.

Keesokan harinya, mereka bertemu di kafe yang sama dan duduk berlawanan arah pada sebuah meja bundar. Keduanya langsung memesan, Hiyuki memesan teh bunga krisan dan Ao memilih teh Earl Grey.

Percakapan mereka menjadi lebih lancar pada pertemuan ketiga mereka.

“…Orang-orang di kerajaan ini berhubungan dekat dengan hiu-hiu kitefin, dan akan memakai sesuatu seperti tangki oksigen dan menyelam ke dalam laut, menjelajahi di laut dengan mengendarai hiu-hiu itu… Si tokoh utama tidak ahli mengendarainya, dan takut dia akan dimakan… Di dunia lain, dia bertemu dengan seorang gadis baik hati, dan dengan cepat dekat dengannya. Gadis itu mengajarinya cara mengendarai hiu, dan si tokoh utama menjadi ahli mengendarainya… Si hiu kitefin awalnya dingin padanya… Tapi kemudian membiarkan si tokoh utama mengendarainya sesuka hati setelah beberapa waktu.”

“Itu bagus, bagaimana kalau membuat setiap pulau menjadi sebuah negara? Atau setiap pulau menjadi suatu kota yang berdiri sendiri atau semacamnya.”

“Ya, kedengarannya bagus.”

Mereka berdua mengungkapkan ide-ide mereka untuk memutuskan latar-latarnya, mengobrol mengenai hal-hal sepele di sela-sela percakapan.

“Hinomiya-san, kenapa kau mulai menulis light novel?”

“Pada musim gugur di tahun ketiga saat SMP… seorang gadis di kelasku berkata: ‘sangat menarik dan menyentuh’ ketika mengobrol tentang light novel. Gadis-gadis lain berkata: ‘aku menangis setelah membacanya.’ ‘Aku ingin tahu apa yang terjadi selajutnya, jadi aku tetap membaca, aku suka sekali.’ ‘… Aku penasaran … Jadi aku mencatat sampulnya dan judul bukunya.’

Hiyuki lalu mencari buku tersebut di toko buku, namun menyerah setelah gagal mencarinya.  Dia mencari buku tersebut setiap kali mengunjungi sebuah toko buku, tetapi tidak bisa menemukannya.

Ponsel Hiyuki hanya memiliki fungsi telepon dan email. Kebijakan pendidikan neneknya menganggap bahwa fungsi lainnya tidak diperlukan. Tidak ada komputer sama sekali di rumah mereka, dan Hiyuki bahkan tidak tahu tentang warnet.

Dia tidak punya satu pun teman dekat, jadi dia tidak tahu harus bertanya ‘di mana aku bisa membeli buku itu’ pada siapa, dan dia terlalu pemalu untuk bertanya langsung pada penjualnya.

“… Aku ini suram dan menakutkan, semua orang menjauhiku.”

Tidak ada yang menjauhinya, Hiyuki hanya terlalu cantik dan tampak seperti wanita yang elegan dan beradab dari dunia yang berbeda, jadi orang-orang ragu-ragu mendekatinya. Dan Hiyuki sepertinya berpikir bahwa dia adalah orang yang dibenci.

Pikirannya membuat Ao tidak nyaman dan gelisah, namun dia menutup mulutnya dan mendengarkan Hiyuki. Pada saat ini, ekspresi Hiyuki melembut.

“Tapi, ketika aku melirik kalender di toko buku saat Desember, aku melihat buku itu.”

Buku itu tidak berada di bagian literatur normal, tetapi di bagian komik. Hiyuki merasa senang ketika mengambil buku tersebut, seolah-olah dia baru saja melihat sekuntum bunga ajaib, dan terpikat oleh buku itu sampai kembali ke rumah.

“Aku… cuma membaca novel-novel yang ditulis di buku tulis dulu… Jadi waktu aku melihat ilustrasi-ilustrasinya, ukuran fon yang berubah, tanda-tanda baca yang bertumpuktumpuk dan seluruh halaman-halaman kosong waktu membuka buku itu, aku sangat kaget … Novel seperti itu ternyata ada, dan cara menulis buku seperti itu ternyata ada.”

Hiyuki menyipitkan matanya dalam ketertarikan, tersenyum sementara pipinya memerah.

Dari nada bersemangatnya, jelas sekali betapa Hiyuki merasa baru, terkejut, dan tersentuh setelah membacanya.

Ao juga ingat kegirangannya sewaktu pertama kali membaca light novel di rumah Sakutarou.

Membalikkan pemahamannya tentang novel secara keseluruhan, dunia-dunia yang dibuat dengan hebat dan bebas sangatlah cemerlang, sangatlah menginspirasi. Tokoh-tokoh dalam cerita seolah tengah berbicara langsung dengannya.

Senyum Hiyuki yang lembut dan matanya yang berkilau melengkapi perasaan yang Ao rasakan tadi, dan Ao bisa merasakan dadanya berdebar.

“…Buku-buku yang kubaca untuk membuat laporan-laporan buku selalu menceritakan kisah-kisah sedih. Waktu tokoh-tokohnya menderita, aku merasa kasihan juga… Jadi aku tidak terlalu suka membaca… Tapi waktu aku membaca buku itu, di dalamnya dipenuhi hal-hal menakjubkan, hal-hal yang indah, adegan-adegan bahagia, saat-saat riang gembira. Bahkan saat sesuatu yang sedih terjadi, mereka akan berubah bahagia dengan cepat. Cara tokoh-tokohnya bicara  mirip cara bicara orang-orang di kelas… Dan aku merasa diajak bicara juga… Aku senang sekali… Aku menyelesaikannya dengan cepat … Lalu aku
menggenggam buku itu erat-erat … terpikat oleh cerita tersebut.”

“Boleh tahu judul bukunya?”

“Chronicle of the Brave.”

“Oh begitu.”

Ao mengangguk.

Sebuah cerita tentang cowok SMA yang dipanggil ke dunia lain menjadi kisah petualangan, sebuah karya populer yang ditulis dalam gaya dan struktur bebas sebuah light novel. Bahkan diadaptasi menjadi anime. Dalam hal penokohan, baik tokoh utama maupun karakter sampingan, semua terasa hidup dan mempesona. Penggunaan bermacam-macam ukuran font yang terampil selevel dengan ahli. Beberapa orang berkata tren memakai ukuran font beragam meningkat setelah ‘BraveChro’ diterbitkan.

Buku itu adalah sebuah karya dengan nama baik sekaligus nama buruk, namun Ao mengerti kenapa Hiyuki terpikat dengan light novel setelah membaca ‘BraveChro’.

Dia juga jadi tahu kenapa tulisan Hiyuki dipenuhi ukuran fon yang beragam.

“Aku juga ingin membuat satu cerita yang membawa banyak keceriaan dan kegembiraan… Aku mulai menulis light novel setelah ujianku selesai… Aku dulu melakukannya sendiri… Tapi itu mengasyikkan… Rasanya seperti aku menjadi tokoh utamanya, dan berpetualang dalam dunia light novel… Di dalam ceritanya, aku bisa bicara dengan semua orang juga… Mengumpulkan bantuan semua orang untuk berpetualang bersama… sangat seru.”

Ekspresi Hiyuki berubah sedikit murung.

Alisnya turun, bibirnya yang tersenyum menjadi tak bernyawa dan tahi lalat di sampingnya tampak sangat kesepian.

“Namun cerita yang kukirimkan… tidak pernah sampai ke babak pertama… lembar komentarnya bilang: ‘Tokoh-tokoh utamanya yang terlalu negatif terasa tidak menyenangkan, dan sulit bagi pembaca untuk mengaitkan dirinya dengan si tokoh. Penulisannya kasar dan masih hijau, memberi impresi yang lancang secara keseluruhan.’  Setelah membaca komentar-komentar ini, aku sadar kalau cuma aku saja yang senang mengerjakan proyek ini. Orang-orang yang membaca ceritaku merasa tokoh utamanya tidak menyenangkan dan aku lancang… aku jadi sedih…”

Suara Hiyuki menjadi lebih pelan dan lebih pelan lagi.

Ao juga merasa dadanya sakit.

Mereka seharusnya tidak menulis begitu. Tidak menyenangkan atau menyenangkan adalah opini pribadi, bagaimana bisa mereka mengkritik hal ini?

Karena para ahli yang mengatakannya, mungkin itu benar. Pengirim seperti Hiyuki yang punya kepercayaan diri rendah memercayai ini.

Hiyuki menunduk dan berkata:

“Jadi… Kalau aku bisa menulis cerita yang bisa melewati babak pertama, aku tidak akan jadi
orang yang tidak menyenangkan dan lancang…”

Jadi itu sebabnya dia sangat serius memintaku dan sangat ingin melewati babak pertama seleksi?

Ketika dia memikirkan tentang mental Hiyuki, hati Ao bertambah sakit.

Saat Hiyuki tidak berhasil, itu pasti mengingatkannya akan tuduhan itu, karena dia lancang.

Kalau komentar-komentar yang didapatnya setelah itu juga meremehkan, dia akan merasa sedih sekali.
Bukan hanya ceritanya, Hiyuki akan merasa bahwa dia ditolak.

Dalam upaya menyemangati Hiyuki yang tertekan, Ao berkata:

“Oke, kita akan menembus babak pertama dengan karya ini.”

Mata Hiyuki berbinar-binar ketika dia mengangkat kepalanya untuk menatap Ao, meskipun masih ada kesedihan yang masih melekat pada tatapannya.

“… Apa, apa aku bisa?”

“Yah, mari kita coba.”

Ao tersenyum, Hiyuki menatap Ao, lalu menjawab dengan kaku:

“Ya.”

Dia mengangguk dan kembali menundukkan pandangannya.

Kalau Hinomiya-san bisa maju ke babak pertama dan jadi percaya diri, itu akan bagus.

Setelah kembali pulang, Ao membawa kubis gulung dan salad wortel yang dimasak ibunya untuk Sakutarou.

“Paman Saku, apa kau pernah depresi gara-gara game-game yang kaubuat dengan berusaha keras mendapat kritikan kasar? Dalam situasi seperti itu, apa yang bisa dikatakan orang lain untuk menyemangatimu?”

“Aku biasanya menyumpahi monitor: ‘Mati, bodoh! Berengsek!’ Terus melupakan semuanya. Cuma karena si heroine utama melakukan sesuatu yang tidak disetujui si pemain, dan mereka semua mengkritik kalau cewek itu bertingkah di luar karakter dan membuat mereka tidak senang. Dia memang cewek murahan jadi mau bagaimana lagi, kalau aku benar-benar meladeni ancaman pemboikotan mereka dan memendamnya dalam hati, aku pasti akan bunuh diri. Jadi kumarahi balik mereka: Orang-orang berengsek macam kalian itu tidak populer dengan cewek-cewek di dunia nyata sama sekali! Dungu! Itu sudah cukup. Beradu teriak dengan mereka? Siapa juga yang punya waktu untuk itu!”

Mungkin dia seharusnya tidak bertanya pada Sakutarou, Ao merasa patah semangat.

Kalau Hiyuki sama tidak tahu malunya dengan Sakutarou, dengan kecantikannya, dia bisa memimpin sekelompok bawahan dan memimpin kampus sebagai ratu sekolah.

Dia membayangkan Hiyuki yang seperti itu.

Tidak, lebih baik Hinomiya-san menahan diri dan bekerja keras.

Ao membayangkan Hiyuki yang tersenyum dengan tahi lalatnya yang imut dan menata ulang pikirannya.

“Kenapa, Ao? Ada cewek yang ingin kau rayu?”

“Kok diungkit-ungkit lagi sih?! Aku kan tidak mengatakan hal yang berkaitan dengan itu!”

“Kamu mau tahu trik untuk menyemangati cewek yang murung, kan?”

“Kan aku sudah bilang, tidak!”

“Triknya adalah menjadi orang yang mengerti dia. Seperti mengatakan ‘Aku akan berada di sisimu dan menemanimu’, klise, tapi berhasil. Dia tidak akan menolakmu. Dalam kurang dari tiga pertemuan, kau akan membuatnya berkata ‘Biarkan aku menjadi wanitamu’, lalu memelukmu erat.”

“Salah banget!”

Setelah meninggalkan makanan yang diantarkan atas permintaan ibunya, Ao cepat-cepat melarikan diri dari tempat Sakutarou.

Keesokan harinya, setelah sekolah usai.

“Kita sudah memutuskan pengaturan kata dan struktur ceritanya, mari kita pikirkan tentang karakter utamanya hari ini.”

“Ya …”

Di depan Ao ada secangkir teh melati, sedangkan Hiyuki dengan teh krisan. Ketika dia mendengar apa yang Ao katakan, bahu Hiyuki terkulai dengan tidak nyaman.

“Premis dasarnya adalah tokoh utama yang penyendiri yang tiba di sebuah dunia lain.”

“Ya.”

“Si tokoh utama itu orang yang penyendiri di dunia asalnya, ‘kan?”

“… Ya.”

“Kenapa?”

Hiyuki menurunkan bahunya lagi.

“So… Soalnya dia suka murung… tidak mengobrol dengan yang lain… dan terlihat beda dari yang lain juga… Melihatnya sekilas bisa membuat yang lain merasa tak enak…”

Hiyuki menggenggam pensil mekanik berhias hiu kitefinnya erat-erat.

“To-tokoh utama yang seperti itu tidak bagus sama sekali… Tokoh utama yang tidak ada daya tariknya itu… tidak mungkin bagi para pembaca untuk tertarik dengannya, itu yang komentar-komentarnya bilang…”

“Itu benar.”

Tubuh Hiyuki bergetar ketika mendengar Ao berkata demikian. Alisnya turun dan kepalanya ditundukkan juga.

“Kalau itu terserah aku, akan kutambahkan: ‘Kalau begitu, coba keluarkan daya tarik dari si tokoh utama yang kautulis.’

“Daya tarik…? Tokoh utamaku punya daya tarik?”

Hiyuki bertanya dengan bingung.

“Ya, tokoh utama di ‘Aku si penyendiri datang di dunia lain, menjadi pahlawan, raja iblis dan kaisar sebuah surga harem’ sangat mempesona.’

Pipi Hiyuki memerah.

“Be-bercanda.”

“Aku tidak bohong. Di adegan awal setelah kecelakaan lalu lintas itu, bukannya si tokoh utama dalam hati meminta maaf kepada CEO yang menabraknya: ‘Maaf karena sudah menabrakmu, pak tua’? Berpikir seperti itu kepada orang yang menabraknya, si tokoh utama itu seorang yang baik. Itu yang kurasakan.”

“…”

Kedua mata Hiyuki yang jernih dipenuhi dengan keraguan yang kuat. 

Dia mungkin berpikir bahwa tokoh utama yang dia tulis tidak memiliki daya tarik, jadi dia tidak percaya dengan apa yang Ao katakan.

Bagaimanapun, itu bukanlah sebuah kebohongan, Ao serius.

“Akan sangat disayangkan kalau pembaca tidak memahami daya tariknya. Akan lebih baik untuk mendeskripsikannya dengan cara yang dapat dimengerti pembaca.”

“A-aku harus apa?”

“Apa yang dipikirkan si tokoh utama dengan keadaannya yang kesepian itu?”

“Di-dia merasa kalau dia bisa berbicara biasa dengan semua orang… Pasti bagus… Tapi dia tidak bisa mengganggu sebuah kelompok yang lagi bicara dengan senangnya… dia takut orang-orang bakal jengkel kalau dia bicara…”

“Kalau begitu tulis dengan detail pikiran si tokoh utamanya. Alih-alih menulis ‘Aku adalah orang yang kesepian dan tidak berguna’, akan lebih baik untuk mendeskripsikan betapa kesepian dirinya, bagaimana pendapatnya tentang situasinya, dan seperti apa pandangannya. Dengan ini, pembaca akan tahu kalau si tokoh utama adalah seseorang yang merasa terganggu dengan ini. Tidak mungkin seseorang di dunia ini tidak merasa kesepian dalam hidupnya, jadi pembaca bisa benar-benar mengaitkan dirinya pada hal ini.”

“….”

“Jika tokoh utama yang seperti itu berusaha keras dalam memperluas dunianya, berteman, jatuh cinta, itu akan menunjukkan daya tariknya dan memberi dorongan pada orang-orang untuk menyemangatinya, ‘kan?”

Ao tersenyum lembut. Hiyuki menatapnya dalam diam, lalu memegang pensil mekanik berhias hiu kitefin di tangannya lagi.



“A-akan kucoba.”

Dia mulai membuat catatan dengan ekspresi serius.

Akankah saran ini berhasil? Apa ini bisa membantu Hiyuki? Apa dia menerimanya secara terpaksa, meski punya pendapat lain? Ao merasa tak tenang dan melanjutkan.

“Karena si tokoh utama sudah diputuskan, selanjutnya si heroine.”

“Haruskah kita… membuat lima atau lebih? Kalau ada banyak gadis… Akan tambah elegan dan hidup.”

“Apa itu ditulis di lembar komentar juga?”

Hiyuki mengangguk.

“Satu gadis terlalu monoton, bagaimana kalau memasukkan tokoh-tokoh perempuan sebagai saingan, dan akan membuat ceritanya makin hidup… Begitu katanya.”

“Hmm, ini kadang efektif, tapi di cerita ini, hanya membuat seorang heroine pun bagus. Hinomiya-san, bagaimana menurutmu?”

“Aku lebih suka satu orang tokoh perempuan…”

“Kalau begitu buat saja seorang heroine. Sifat seperti apa yang ingin kauberi padanya?”

“Le-lembut… Ceria, baik hati… A-apa boleh kubuat dia lebih glamor?”

“Eh, ba-bagaimana ya …”

Ao sedikit bingung dan terdengar ragu. Hiyuki memerah dan menundukkan wajahnya.

“Heroine-nya terlalu baik, kusarankan untuk membuat adegan-adegan yang menarik untuk meninggalkan kesan pada para pembaca. Itu yang tertulis di lembar komentarnya.”

“Ehh, itu tergantung ceritanya, jadi jangan memaksa untuk memasukan adegan-adegan dengan celana dalam bergaris.”

“… Baik.”

Dan demikianlah, mereka menyelesaikan latar untuk si protagonis dan si heroine. Mereka kemudian memutuskan sifat orang-orang di sekitar si tokoh utama dan hiu-hiu kitefin.

Dan begitulah, setelah seminggu, saat mereka telah mengumpulkan lima cap kopi—

“Nah, kita sudah menyelesaikan karakter dan latar ceritanya.”

“Ya, setting dan adegan-adegan di ceritanya muncul satu per satu hanya dengan mengobrol dengan Kazetani-kun.”

Bibir dengan tahi lalat di sampingnya tersenyum.

Cerita tersebut bercerita tentang seorang tokoh utama yang penyendiri yang tiba di dunia lain. Di dunia ini, hiu-hiu kitefin adalah teman-teman penolong manusia, dan menikmati hubungan dekat dengan mereka. Di sini, dia akan bertemu dengan si heroine yang baik hati dan seekor hiu kitefin yang dingin.

Hubungan mereka akan terbangun dan semakin baik dari waktu ke waktu untuk menciptakan cerita slice of life yang hangat. Si tokoh utama akan disusahkan dengan celah antara dunia ini dan dunianya; dia akan berlatih dengan pengawasan si heroine untuk mempelajari cara menunggangi hiu kitefin. Mereka mengunjungi festival bersama, menonton pertandingan hiu kitefin yang mana akan menambah suasana dan suasana malam hari di pantai akan bagus juga. Cerita itu akan ditulis dengan kerangka ini.

“Kau cuma perlu menulis ceritanya sekarang. Mau menulis semuanya sampai tamat sebelum kubaca? Atau kubaca setiap satu bab selesai?

“…Per satu bab… Apa tidak masalah? Kalau Kazetani-kun sibuk… Tidak masalah membacanya kalau sudah selesai.”

Hiyuki berkata dengan cemas.

Dibandingkan awal-awal, Hiyuki lebih mau mengemukakan pendapatnya, dan lebih sering tersenyum. Tetapi, dia akan menunjukkan ekspresi tak percaya diri kadang-kadang.

Ao membalas dengan ceria:

“Baiklah, kalau kamu tidak bisa menyelesaikan seluruh bab dan buntu di pertengahan, biarkan aku membacanya dan kita diskusikan bersama-sama.”

“Ya… Ya.”

Kedua mata Hiyuki tampak merah. Dia menundukkan pandangannya dan daerah sekitar tahi lalatnya yang menawan memerah.

Kapanpun Ao melihat ekspresi ini, dia merasa hatinya diaduk-aduk. Untuk menyembunyikan perasaannya, dia berbicara dengan nada seperti seorang guru. Tetapi dia tidak sebagus itu kenyataannya.

“Satu lagi, kau mau menulis dengan gaya yang sama?”

Ekspresi Hiyuki lagi-lagi berubah kaku karena tidak nyaman.

Dia menatap Ao.

“Kekanakan … ya?”

Penggunaan ukuran fonnya yang bervariasi, tanda-tanda baca dan onomatope yang terlalu berlebihan selalu dikritik dengan kasar, dan Hiyuki merasa gelisah dengan ini. Meskipun begitu, dia masih ingin menulis seperti itu, itu adalah sesuatu yang sangat ingin dia lakukan.

“Tidak juga.”

Ao menjawab dengan percaya diri sambil tersenyum.

“Orang-orang yang mengkritik penggunaan ukuran fon yang beragam sebagai sesuatu yang kekanakan justru adalah orang yang kekanakan dengan pemikiran dangkal. Bukannya kau merasa tergerak setelah membaca ‘BraveChro’, Hinomiya-san?”

Hiyuki menatap Ao dan mengangguk.

“… Ya.”

“BraveChro memakai ukuran fon yang beragam, tanda baca dan onomatope yang berlebihan sebagai efek.”

“… Ya.”

“Selain itu, Hinomiya-san, banyak pembaca juga merasa sensasi yang menggetarkan hati dan pergolakan emosional ketika mereka membaca BraveChro, bahkan sampai mendapat anime dan populer untuk beberapa waktu.”

“… Ya.”

“Menurutmu ukuran font yang bermacam-macam dan tanda baca yang bertumpuk-tumpuk di BraveChro itu tidak ada gunanya?”

Hiyuki menggelengkan kepalanya. Rambut cokelat lembutnya ikut bergoyang.

“Tidak.”

“Kalau begitu Hinomiya-san tidak perlu menyerah soal mengubah-ubah ukuran fontnya. Kalau mau menulis seperti itu.”

Hiyuki bertanya dengan bingung:

“Apa boleh … aku mengubah-ubah ukuran fonnya?”

“Ya! Aku pernah melihat sebuah karya yang dengan mahirnya mengubah-ubah ukuran font untuk memberi kesan mendalam, akan bagus kalau kamu bisa mengejutkan pembaca dengan itu.”

“Apa aku boleh pakai tanda baca bertumpuk-tumpuk?”

“Ya! Di volume ketiga ‘Bola Surgawi yang Hilang’, tanda baca yang bertumpuk-tumpuk mendorong adegan bertarungnya menjadi klimaks! Penggunaan itu memang seni!”

“Apa aku boleh pakai onomatope?”

“Ya! Kalau kau gunakan ‘pah’ di momen yang tepat, onomatope yang digunakan secara tepat tersebut bisa memberi pengaruh yang kuat. ‘Onomatope terbaik untuk menunjukkan kalau inspirasi datang!’, kayak gitu!”

“Apa aku boleh meninggalkan halaman-halaman kosong…?”

“Ya! Meninggalkan halaman kosong akan membuat halaman-halamannya bersih dan mudah dibaca, aku suka! Waktu Raven jatuh ke jurang di BraveChro, dua halaman selanjutnya kosong, bikin merinding!”

Tiap Hiyuki bertanya dengan cemas, Ao akan menjawabnya dengan senyum.

“Yang membuat light novel bagus adalah semuanya bisa dilakukan, formatnya juga sangat bebas. Gaya menulis yang tidak biasa membuat pembaca senang. Jadi lakukan saja apa yang kau mau, tulis apa yang kau mau! Penulis-penulis profesional mungkin punya batasan, tapi  Hinomiya adalah pengirim naskah! Menulis apa yang kasuka boleh-boleh saja kok. Kuharap kaubisa memikirkan bagaimana caranya bisa menyampaikan perasaan ini pada orang-orang yang membaca karyamu.”

“Apa yang harus kulakukan untuk… menyampaikan perasaan-perasaanku?”

Terdorong oleh aura Ao, Hiyuki membelalakkan kedua matanya begitu Ao menganggukangguk kuat.

“Itu benar! Jangan menahan hal-hal yang ingin kaulakukan, nikmati momen itu dengan kegembiraan. Apa yang harus kaulakukan untuk membagi emosi-emosi ini dengan para pembaca? Kau harus bekerja keras, pikirkan kata-katamu dan pelajari penyajianmu. Maka itu tidak akan jadi gaya menulis yang dangkal. Jika seorang penyaring mengkritik gayanya dangkal, abaikan saja dengan senyum.”

Sakutarou menjawab mantap bahwa dia akan mengutuki dan menyumpahi monitornya dan melupakannya saat karyanya dikritik dengan kasar karena dia punya banyak sekali pengalaman berdasarkan karya-karyanya yang sebelumnya.

Kalau mereka ingin mengkritik, biarkan saja, itu metode yang akan kupilih.

Ao tidak ingin Hiyuki menjadi tidak tahu malu seperti Sakutarou, tetapi untuk membangun rasa percaya dirinya sehingga dia bisa melakukan hal-hal yang dia inginkan, Ao ingin membantunya.

Hiyuki mendengarkan Ao dengan linglung, lalu mengangguk kaku.

“Aku… Aku akan berusaha.”

“Sip, itu baru semangat.”

Ao lanjut memberi saran khusus dengan senyum. Hal-hal yang bisa dia obrolkan terbatas karena dia bukan seorang penulis, tapi dia sudah melakukan yang dia bisa untuk memberitahu Hiyuki perasaannya sebagai penyaring naskah.

“Kuharap kamu memakai ukuran fon yang beragam dengan mantap, tetapi menggunakannya terlalu berlebihan dapat mengurangi pengaruh pada pembaca. Kupikir akan lebih baik memakainya kalau diperlukan untuk efek yang lebih baik. Sebagai contoh, di ‘Aku si penyendiri datang di dunia lain, menjadi pahlawan, raja iblis dan kaisar sebuah surga harem’ ada satu halaman yang memuat tulisan ‘Aku sudah mati’ dalam font ukuran super besar. Kupikir itu bagus, dan akan memberi pengaruh besar pada para pembaca. Tolong gunakan pada prolognya juga kali ini.”

“Huh?”

Hiyuki tampak kebingungan.

“Er… Erm, kupikir aku terlalu berlebihan…”

“Tidak kok! Atau mungkin, kupikir kau harus memakai dua halaman dan sajikan dalam halaman dobel yang lebar.”

“… !”

“Tapi bisa berupa satu halaman, jadi tidak ada gunanya melakukan ini. Sayang, tapi pakai satu halaman saja.”

“A-apa aku bisa melakukannya?”

“Ya! Lagi pula, untuk menyoroti perbedaan ini, bagaimana kalau mendeskripsikannya dengan susunan kata yang lebih standar di halaman pertama? Memulai cerita dengan si tokoh utama terlibat kecelakaan adalah satu hal yang lazim dan mudah dimengerti, kusarankan kau menulis dengan gaya yang sama. Biarkan bagian di mana dia meminta maaf dalam hati pada orang yang menabraknya. Secara pribadi, aku akan menyarankan untuk mendeskripsikan bagian ini secara detail, tapi jangan pakai onomatope, menumpuk tanda baca dan mengubah-ubah ukuran font, deskripsikan saja secara biasa. Ketika pembaca membalik halaman, mereka akan melihat satu halaman dipenuhi dengan huruf-huruf raksasa ‘Aku sudah mati’, yang mana akan  menonjolkan kekontrasannya. Ini pasti akan mengejutkan mereka.”

Ekspresi Hiyuki berangsur-angsur berubah cerah.

“Ya… Ya, akan kucoba.”

Setelah itu, setiap Hiyuki menyelesaikan satu bab, Ao akan membawa USB Disknya pulang, mencetaknya untuk dibaca, kemudian memberi tanggapannya pada Hiyuki.

Prolognya ditulis ulang empat kali.

“Saat menilai kalau sebuah karya harus maju ke babak kedua, bagian awalannya berperan penting. Harus memberi kesan ‘hey, naskah ini mungkin bisa maju ke babak kedua’. Si penyaring akan membaca dengan pikiran ini kalau tidak ada kesalahan pada naskah. Pengalaman pribadiku adalah kesempatan untuk memajukannya ke babak kedua tinggi. Di samping itu, kalau pembukaannya biasa saja dan tidak mengalir dengan baik, si penyaring akan berpikir ‘Kayaknya ini nggak bisa deh’ ketika membacanya. Bahkan jika semakin membaik di pertengahan, memberi kesempatan pada naskah-naskah yang kualitasnya hampir sama, para penyaring naskah akan memilih naskah yang pembukaannya paling bagus. Ya, penulisannya lebih jelas dan lebih mudah dibaca setelah perubahan kedua. Masih ada ruang
untuk perbaikan. Mungkin bisa pada isinya, sebagai contoh…”

Keduanya kini berada di kafe di gang seperti biasa. Hiyuki mendengarkan dengan saksama sementara memerhatikan Ao dengan tatapan serius melalui uap teh bunga krisannya.

Bibirnya yang memiliki tahi lalat di dekatnya itu terkatup rapat dan wajahnya tampak berkonsentrasi, seperti ketika dia melihat papan tulis di kelas, tampak dingin.

Bagaimanapun—

“Kalimat Cyan di sini menunjukkan betapa baiknya dirinya, ditulis dengan baik sekali.”

Ketika Ao memuji si heroine, pipi pucat Hiyuki memunculkan warna, dan seulas senyum muncul di bibirnya.

Kapanpun Hiyuki tersenyum kalem seperti ini, Ao merasa hatinya berdesir dan dipenuhi kebahagiaan.

Dia harap Hiyuki bisa lebih banyak tersenyum.

Kebalikan dari aura dewasa dan terasing di sekitarnya, Hiyuki selalu khawatir dengan apa pun yang dia lakukan, seorang gadis yang kurang percaya diri. Ini membuat Ao terkejut.

Orang secantik Hinomiya dengan nilai-nilai bagus harusnya punya kepercayaan diri yang tinggi …

Kalau Hiyuki bisa tersenyum secara natural di kelas, akan sangat bagus. Teman-teman sekelas kita yang memanggil Hiyuki ‘si Gadis Es’ pasti ingin dekat dengan Hiyuki.

Hanya Ao yang tahu tentang pesonanya, dan dia ingin orang lain mengetahuinya juga; pada waktu yang bersamaan, Ao ingin menyimpan senyuman ini sebagai sebuah rahasia. Dia merasa bingung.

“Tanda baca yang bertumpuk-tumpuk di sini oke, itu membawa suasana ribut para pejalan kaki yang berkumpul. Kalau kamu menambahkan lebih banyak deskripsi jalan-jalannya, akan lebih mudah untuk meninggalkan kesan pada para pembaca.”

“Baik …”

Hiyuki membuat catatan di naskah dengan pensil mekanik berhias hiu kitefin-nya.

Lessie si hiu kitefin yang menjadi teman Subaru si tokoh utama adalah karakter yang hebat. Agak tidak sabaran, tapi sifatnya baik. Kalau dia kamu buat bertingkah gelisah saat dia malu, akan lebih moe.

Contohnya, menyipratkan air dengan ekornya.

“Baik.”

“Rekan Cyan, Jacqueline, mungkin keterlaluan dan mudah cemas, tapi dia baik hati. Tentang betapa girangnya dia setelah mendapat biskuit cokelat favoritnya dari Cyan, itu bagus sekali. Silakan diberi lebih banyak deskripsi di sini.”

“… Baik.”

“Aku juga suka si manajer kantor pos, Jester. Adegan ringan untuk Jester yang menenangkan dan dapat diandalkan bisa ditambah untuk meninggalkan kesan pada para pembaca. Itu akan membuatnya lebih terpercaya pada satu adegan ketika Jester menawarkan bantuannya pada babak kedua cerita.”

“Aku mengerti.”

“Semua teman Cyan adalah orang-orang yang baik, dan semua mendukung perasaan Subaru secara diam-diam, dan itu terasa sangat mengharukan. Alih-alih tanda baca yang bertumpuk, akan terasa lebih dalam kalau kamu menambah lebih banyak dialog. Dan juga, kupikir mendeskripsikan bagian ini secara detail akan lebih meninggalkan kesan mendalam daripada memakai onomatope. Di samping itu, memakai lebih banyak onomatope pada adegan balapan hiu akan lebih berpengaruh.”

“……”

“Ah, Hinomiya-san, kalau punya ide lain, tidak perlu memaksakan diri.”

“Tidak, tidak sama sekali.”

Hiyuki menggelengkan kepalanya takut-takut.

“Kupikir saran dari Kazetani-kun semuanya layak untuk dipikirkan dan sangat tepat… Dan terima kasih atas pujiannya…”

Pipi Hiyuki memerah karena malu.

“Aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku saja.”

“…Ya.”

Hiyuki mengangguk dengan wajah merah.

Bibir dengan tahi lalat di sampingnya itu menyunggingkan senyum.

“Aku tahu kalau kamu tidak melakukan ini hanya untuk sekedar basa-basi, Kazetani-kun… memang orangnya seperti ini.”

“Hmm? Menurutmu aku ini orang yang bagaimana?”

Ao merasa sedikit penasaran dan bertanya. Hiyuki menjawab perlahan dengan tenang:

“Tidak peduli karya seperti apa… atau orang, atau benda… kamu akan menemukan hal-hal positif tentang itu dan mencintainya …”

“Huh, apa iya? Bukan berarti aku bisa menerima semuanya.”

Hiyuki menatap Ao dengan mata berbinar, membuat hati Ao berdegup cepat.

“Kazetani-kun… kamu tidak punya orang yang dibenci ‘kan?”

“Aku belum pernah bertemu dengan seseorang yang bisa membuatku marah sekali… Tapi ada saat-saat di mana aku merasa tidak senang dan marah.”

“Tidak peduli apakah cerita itu kekanakan atau membosankan, Kazetani-kun bisa menikmatinya…”

— Apakah itu menarik, Ao?

— Ya! Semuanya menarik!

Sembari dia membaca naskah-naskah di lantai rumah Sakutarou dengan terpikat, Ao menjawab Sakuratou tanpa ragu. Untuk beberapa alasan, dia mengingat kejadian itu.

Tidak peduli seperti apa karya itu, Ao akan merasa gembira dan menganggapnya menarik.

Karya-karya yang belum matang betul, bagian-bagian yang belum matang. Karya-karya dengan kekurangan, kekurangan itu sendiri menarik. Kata-kata yang ditulis dengan baik, ini pasti karena tekniknya.

Tidak peduli seperti apa karya itu, masing-masing memiliki kebaikan-kebaikannya sendiri, dan Ao membalik setiap halaman dengan riang. Ao tidak mengenal bosan dengan apa yang dia baca.

— Begitu ya… Semuanya menarik?

Sakutarou bergumam, suara dan ekspresinya tampak redup dan pahit.

Pada saat ini, di samping uap panas yang mengepul dari cangkir teh krisannya yang penuh, Hiyuki menatap Ao tepat dimatanya. Seperti Sakutarou saat itu, matanya redup dan pahit.

“Kazetani-kun …”

Hiyuki bergumam dengan nada sedih.

Kenapa Hinomiya-san menatapku seperti itu? Kenapa dia terlihat kesepian?

“Kamu itu … orang yang berpikiran luas.”

 Ao merasakan dadanya sakit.

Kenapa hatinya terasa sakit? Dia tidak mengerti sama sekali.

Hiyuki sedang memujinya, tetapi dia tidak tampak bahagia sama sekali. Sama seperti Ao, dia tidak merasa senang dan malah merasakan kegelisahan yang amat sangat.

“Terima kasih. Ini pertama kalinya ada yang bilang begitu.”

Ao berpura-pura malu dan mengalihkan pandangannya dari Hiyuki.

Hiyuki pun terdiam.

“……”

“Erm, sampai di mana kita? Oh ya, kita membicarakan balapan hiu. Menyemarakkan suasana dengan onomatope, dan tambahkan lebih banyak detail pada bagian ini.”

Untuk menghilangkan suasana canggung itu, Ao berkata dengan suara yang sangat ceria.

“Hinomiya-san melakukan banyak riset saat mendeskripsikan sesuatu. Dimulai dari karakteristik luarnya, kemudian kamu berpindah ke struktur tubuh— gaya deskriptif semacam itu populer akhir-akhir ini. Ketika si musuh muncul di adegan-adegan pertarungan, gaya yang seperti itu akan mempermudah pembaca untuk memahaminya dan itu sangat efektif. Ngomong-ngomong, apa kamu mau mencoba gaya yang agak berbeda kali ini?”

“Bagaimana aku… melakukannya?”

“Sebagai contoh, sewaktu kamu menulis tentang hiu kitefin, kamu akan memulainya dengan menulis ‘Hiu kitefin adalah…’ dan begitu seterusnya, lalu menjelaskan penampilan dan kelakuan para hiu kitefin itu.”

“…Ya.”

“Kamu bisa menambah deskripsi yang bersemangat ke dalamnya, seperti betapa anggunnya gerak ekor seekor hiu kitefin, betapa cepatnya dia memecah ombak, seperti apa sirip belakangnya. Itu akan memberi kesan bahwa pembaca sedang menonton balapan hiu tersebut bersama dengan si tokoh utamanya.”

Hiyuki mengerutkan dahi.

“Aku baru melihat mereka sekali waktu masih kecil… Hiu-hiu yang bergerak… Hiu-hiu dalam gambar tidak bisa bergerak…”

“Bagaimana kalau mencari video-video tentang hiu kitefin di warnet? Ah, daripada itu—”

Ao mengambil ponselnya dan mulai mencari.

Hiu kitefin, Akuarium. Dengan kata kunci ini dan lokasinya, Ao menemukan beberapa hasil penelusuran dan tersenyum.

“Dapat, kita bisa pergi ke akuarium ini naik kereta sekitar satu jam. Sepertinya ada hiu kitefin juga di sana, mau melihatnya bersama saat liburan besok?”

Ao menunjukkan layar ponselnya pada Hiyuki. Hiyuki membuka bibirnya yang memiliki tahi lalat mungil di sampingnya, dan tampak gelisah.

“Li-liburan besok…?”

“Ah … Hinomiya-san, bisa keluar rumah saat hari-hari libur?”

Ao mendengar Hiyuki tinggal bersama neneknya yang sangat keras. 
Mereka akan mengobrol tentang novel dengan gembira, namun saat jam malam Hiyuki hampir tiba, Hiyuki akan mengecek arlojinya dengan khawatir, menunjukkan betapa dia sangat ketakutan pada neneknya.

Hiyuki pernah menggumamkan: “Nenek… Sangat membenciku… Apa pun yang kulakukan, tidak akan membuatnya senang…”

Ketika Ao bertanya: “Kamu bertengkar dengan nenekmu?”, Hiyuki akan menggelengkan kepalanya takut-takut dengan wajah bersemu merah: “Maaf…” Kemudian terdiam, menolak untuk mengatakan lebih banyak lagi…

Di lain waktu, dia berkata dengan ekspresi muram dan air mata di kedua matanya:

“…Tangan Nenek itu… menyeramkan… sangat dingin, keriput dan keras…”

Dia juga mengatupkan mulutnya dan menundukkan kepalanya waktu itu.

Apa kepercayaan diri Hinomiya-san yang rendah disebabkan oleh neneknya…

Ao menjadi penasaran setelah memikirkan hal itu.

Mungkin Hiyuki tidak bisa bersenang-senang di hari libur karena dia takut neneknya akan memarahinya.

Selagi Ao mengkhawatirkan Hiyuki, Hiyuki menggelengkan kepalanya.

Dia merendahkan bulu matanya yang panjang dan berkata dengan wajah merah:

“Ti-tidak apa-apa … A-aku ingin pergi. Aku akan merepotkanmu.”

Comments