Bab 4 - Hal Kecil dalam
Keseharian. Sebuah Drama Manis dan Konyol
Pov Hiyuki
Apa wanita cantik itu
pacarnya Kazetani-kun…?
Hiyuki berlari seolah
tengah melarikan diri dari sisi Kazetani dan kembali ke mansion orang tuanya.
Dia duduk di depan meja tuanya yang berada di dalam ruangan ber-tatami dan
bersungut-sungut.
“Dia bukan… murid SMA, apa dia mahasiswi…? Mungkin dia orang
dewasa yang bekerja… Lebih tua dari Kazetani-kun, dadanya sangat besar, dan dia
terlihat imut… Pakaiannya indah dan imut juga… Suaranya manis dan menyenangkan…
Dia memanggil Kazetani-kun dengan Ao-kun.”
Ketika Kazetani-kun
mengajak Hiyuki ke akuarium, dia seperti berada di alam mimpi.
Dia sudah memikirkan
baju apa yang akan dia pakai sejak hari sebelumnya. Haruskah dia menyiapkan
bekal makan siang? Perjalanan naik kereta akan lama, apa yang harus dia bicarakan
dengan Kazetani-kun? Karena dia terlalu khawatir dan gugup, dia tidak bisa melihat
wajah Kazetani-kun, ketika Kazetani-kun datang dengan senyuman cemerlang, dan
dia merasa hatinya berdegup sangat cepat.
Kazetani-kun tampak
berbeda dibandingkan ketika sedang di sekolah.
Dia hanya mengganti
seragamnya dengan pakaian kasual, namun Hiyuki sangat mengerti pada hal ini dan
jantungnya berdegup cepat.
Di kereta, Kazetani-kun
khawatir pada Hiyuki dan tetap mencari topik untuk mengobrol dengannya, tetapi
Hiyuki tidak menjawab dengan baik dan ekspresinya menjadi semakin kaku. Dia membenci
bagian itu pada dirinya dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan berakhir melepaskan
semua emosi itu pada Kazetani-kun.
Hiyuki yakin bahwa Kazetani-kun
menganggapnya sebagai gadis yang merepotkan dan pemurung. Dia pasti menyesal
telah mengajaknya ke akuarium. Kazetani-kun pasti tidak akan mau pergi kencan dengannya
lagi.
Hiyuki sudah hampir
menangis dengan emosi-emosi negatif meluap di dadanya, tetapi Kazetani-kun meminta
maaf padanya terlebih dahulu.
Kazetani-kun… sangat
baik.
Begitulah Kazetani-kun.
Selalu tersenyum tenang,
menyapa semua orang dengan suara keras, mendengarkan orang-orang Lain dengan
ceria dan memberi respon-respon yang tepat untuk mendorong si pembicara untuk melanjutkan.
Itulah kenapa
teman-teman sekelas di sekitar Kazetani-kun semua tampak sangat bahagia, dan
para laki-laki dan para perempuan akan mengobrol dengan Kazetani-kun.
Kazetani-kun tidak akan
mengatakan sesuatu yang jahat atau menunjukkan perlakuan istimewa. Dia ceria,
baik, dan adil pada semua orang.
Karena Kazetani-kun
adalah orang yang seperti itu, itulah mengapa dia mau menerima Hiyuki yang diasingkan
di kelas dan dijauhi oleh orang-orang.
— Hinomiya-san memakai
nama pena Yoroisame dan mengirim karya ‘Aku
si penyendiri datang di dunia lain, menjadi pahlawan, raja iblis dan kaisar
sebuah surga harem’ ke dalam kontes—aku melihat naskah ini ketika aku
bekerja sebagai penyaring.
Ketika Hiyuki mendengar Kazetani-kun
mengatakannya, dia merasa malu dan terguncang, jadi dia menjawab ‘kamu salah orang’ dan melarikan diri.
Sepulang sekolah, dia
menunggu Kazetani-kun di parkiran sepeda, mengumpulkan keberaniannya untuk
bicara padanya dan mendapat jawaban baik hatinya.
Satu karya saja tidak
apa-apa, tolong ajari aku menulis light novel. Kazetani-kun bahkan menerima permintaan
tak tahu malu itu dengan senyuman. Mereka merencanakan pertemuan di sebuah kafe
sepulang sekolah untuk dua bulan ke depan di mana Kazetani-kun akan
mengajarinya menulis naskah.
Kazetani-kun… sangat
baik dan berhati lembut dan hangat… Dia bilang kalau aku bisa memakai ukuran
font yang beragam, tanda baca bertumpuk, onomatope dan meninggalkan halaman-halaman
kosong secara bebas …
Tidak peduli apa pun, Kazetani-kun
tidak akan menolak orang lain seketika, dan akan meladeni mereka terlebih
dahulu.
Tidak hanya light novel,
tetapi begitulah Kazetani-kun dalam berhubungan dengan orang lain dan sikapnya
dalam hidup, yang tampak sangat bijaksana. Walaupun Hiyuki merasa begini, rasa sakit
dalam dadanya terasa bagai tercabik-cabik.
Kazetani-kun dan aku…
benar-benar berlawanan…
Di kafe yang menjadi
rahasia mereka berdua, Hiyuki selalu memesan teh krisan, sementara Kazetani-kun
mengubah pesanannya setiap waktu.
Mereka memiliki jarak
antara mereka berdua bahkan di tempat seperti ini, membuat hati Hiyuki sakit.
Ao benar-benar tidak mengetahui hal itu.
Hiyuki sangat mendamba
Ao dan kompleks rendah dirinya sungguh menyiksa perasaannya.
— Kazetani-kun… Kamu
itu… orang yang berwawasan luas.
Ketika Hiyuki
menggumamkan kata-kata itu, dia merasa sangat jauh dari Kazetani-kun dan sangat
kesepian.
Tetapi aku merasa sangat
dekat dengan Kazetani-kun di akuarium, sangat menyenangkan.
Keduanya melihat hiu-hiu
kitefin, makan bersama di restoran bawah air, dan berseru saat pertunjukan
lumba-lumba untuk pertama kalinya.
Hiyuki merasa sangat
bahagia setelah mengalami banyak sekali pengalaman pertama.
Sangat menyenagkan
sekaligus sangat menyedihkan.
Di bawah kilau cahaya
kebiruan, Kazetani-kun yang sedang mengamati tangki akuarium di samping Hiyuki
tampak diwarnai warna yang sama.
— Kita … seperti di
bawah laut.
— … Itu benar.
Pada saat itu, Hiyuki
merasa dia merasa sedang berada di tempat yang sama seperti Kazetani-kun, dan sedang
melihat hal yang sama dengan emosi yang sama. Dia pikir dia akan dijauhkan dari
Kazetani-kun lagi jika mereka kembali lagi ke daratan. Pikiran itu merobek
hatinya.
— Aku… Tidak ingin
pulang…
Hiyuki mengatakan
sesuatu yang buruk.
— Aku cuma ingin… berada
di sini seperti ini.
Ini sangat memalukan,
bagaimana bisa aku mengatakan itu?
Dia menjelaskan secara
terburu-buru bahwa dia sedang membuat adegan di novel untuk menutupinya.
Walaupun Kazetani-kun membalasnya dengan sebuah senyum, Hiyuki masih merasakan wajahnya
semakin memanas seolah bisa memunculkan api.
Dan setelah itu, pada
perjalanan pulang di kereta, Hiyuki ingin jadi lebih dekat dengan Kazetani-kun sebelum
saat menyenangkan itu berakhir, jadi dia bertanya pada Kazetani-kun novel jenis
apa yang dia sukai.
— Yah… Mungkin
cerita-cerita yang dengan foreshadowing.
Kazetani-kun menjawab,
dan Hiyuki memutuskan dalam hati untuk menjadi seseorang yang ahli dalam menggunakan
foreshadowing, jadi Kazetani-kun bisa membaca karyanya dengan gembira dan menikmati
tulisannya. Dan begitulah, dia berkata pada Kazetani-kun:
— Aku akan berusaha
keras… dan menulis sebuah cerita dengan foreshadowing yang
sempurna.
— Kuharap… Kazetani-kun…
akan menyukainya.
Itu adalah pengakuan
yang Hiyuki buat dengan segala usahanya.
Aku tidak bisa
mengatakan kalau aku mengharapkan dia menyukaiku sebagai seseorang… itu
permintaan yang terlalu berlebihan… setidaknya, aku berharap dia bisa menyukai
novel yang kutulis…
Sungguh cara berpikir
yang menyedihkan dan buruk.
Aku benar-benar
mengatakannya pada Kazetani-kun.
Kazetani-kun membuat
ekspresi kebingungan.
Dia sepertinya kehilangan
kata-kata. Ketika Hiyuki akan mengatakan sesuatu, wanita itu memanggilnya
dengan suara yang manis, kemudian memeluknya.
Kazetani-kun
memanggilnya Aeka-san.
Apakah dia akan
memanggil seorang wanita yang tidak akrab dengannya dengan nama depan?
Dan apakah seorang
wanita memeluk seorang laki-laki yang tidak dikencaninya?
Kazetani-kun tampak
tidak terlalu mempedulikan itu, dan menatap wanita itu dengan khawatir.
Seolah-olah Dia tidak bisa melihat Hiyuki lagi.
Melihat Kazetani-kun
begitu akrab dengan wanita itu sangat menyakitkan bagi Hiyuki, dan membuatnya
lari setelah mengatakan ‘maaf’.
Ketika dia sampai di
rumah, dia agak sedikit telat untuk jam malamnya. Neneknya yang menunggu di
luar pintu masuk bertanya pada Hiyuki dengan keras: ‘Kenapa kau lama sekali?
Apa yang kau lakukan? Apa ini benar karena sekolah?’
Neneknya tidak akan
membiarkan persoalan itu selesai kalau dia tidak mengerti dan
mengatur jadwal Hiyuki.
Dia selalu memakai kimono-nya dengan sempurna, dia tinggi untuk wanita-wanita
seumurannya dan tetap menegakkan punggungnya. Neneknya melirik Hiyuki dengan
aura berkuasa seperti biasa, wajah tegang dan kedua mata yang berkilau tajam.
Hiyuki menyusutkan
tubuhnya, dan suara lembutnya menjadi lebih lemah.
Hiyuki berkata dia
beristirahat sebentar di sebuah toko karena merasa tidak enak badan.
Neneknya mencacinya
karena tidak kembali lebih awal karena tidak enak badan.
“Masih merasa tidak enak
badan? Di bagianmana?”
“Hanya sedikit pusing…
Tapi, sekarang… sudah tidak apa-apa.”
Hiyuki menjawab lalu
membantu neneknya menyiapkan makan malam seperti biasa. Dia duduk berlawanan
dengan neneknya dan memakan makan malamnya dengan gugup dalam diam. Neneknya
membumbui sedikit makanannya, dan dia tidak bisa merasakan rasa makanannya pada
hari-hari seperti ini.
Tangan nenek yang kelihatan
tulangnya memegang sumpit dengan anggun sembari
memakan makan malamnya
dengan punggung tegak. Tubuh Hiyuki terkulai di depan
neneknya dan memasukkan
makanan hambar itu ke mulutnya.
Dia kemudian
menyingkirkan makanannya, kembali ke kamarnya sendirian, dan mulai berpikir
keras tentang apa yang terjadi setelah dia berpisah dengan Kazetani-kun.
Hiyuki menatap sedih
foto di tangannya.
Ketika dia mengalami hal
sedih atau tidak tertahankan, dia akan selalu melihat foto ini— Di foto ada
Hiyuki yang berumur tiga tahun mengenakan blus imut dengan jumbai-jumbai, gaun
pendek merah muda dan sebuah tas bermotif bunga-bunga digendong di belakang punggungnya.
Hiyuki sedang memegang
tangan ibunya dengan wajah sedikit gugup.
Wajah ibunya tidak tampak
dalam foto, hanya gaun panjangnya dan tangannya yang anggun dan langsing yang
terlihat. Ibunya memiliki kulit yang pucat dan rapuh, dan akan mengenakan
sarung tangan pada hari-hari ketika sinar ultraviolet sedang kuat. Dia juga memakainya
di foto itu. Hiyuki sangat menyukai sarung tangan ibunya yang halus dan harum,
dan acapkali memakainya diam-diam.
Foto itu merekam
pemandangan tangki air di akuarium, dan sebuah ekor kelabu dengan tepian putih
terlihat. Itu adalah hiu Kitefin.
Ada foto-foto lain yang
diambilnya bersama ibunya, dan di foto-foto itu, Hiyuki dan ibunya tersenyum
bahagia. Tetapi Hiyuki tetap memandangi foto ini karena ini adalah saat
terakhir dia pergi keluar dengan ibunya, sebuah foto kenangan. Karena dia tidak
akan melupakan apa yang dikatakan ibunya di depan akuarium hiu kitefin.
Dengan mata besar yang
menonjol, ditutupi kulit kelabu yang kuat dan mulutnya penuh gigigigi Setajam
silet, hiu kitefin adalah makhluk yang jahat dan menakutkan bagi Hiyuki kecil.
— Erm, mama, seram…
Hiyuki benci dan takut
pada akuarium ini, namun ibunya yang selalu sangat baik memakai suara yang
tegas dan keras untuk menjelaskan bahwa hiu-hiu kitefin adalah makhlukmakhluk kuat
yang bertindak sendirian.
— Kamu harus kuat,
seperti hiu kitefin.
Ibunya pasti mengatakan
itu secara tiba-tiba karena dia tahu dia akan segera masuk rumah sakit dan
tidak akan lama di dunia ini.
Setahun yang lalu, ayah
Hiyuki jatuh hati pada orang lain dan menceraikan ibunya. Ibunya menaruh Hiyuki
di pusat penitipan anak-anak dan mulai bekerja. Tetapi kesehatannya lemah dan
bekerja membuat tubuhnya semakin lemah, jadi dia pergi ke rumah ibunya dengan menggandeng
Hiyuki.
Nenek Hiyuki tinggal
seorang diri di mansion yang besar, tua, dan dingin. Pada awalnya, Hiyuki
tinggal bersama dengan ibu dan neneknya. Namun setelah kesehatan ibunya memburuk
dan masuk rumah sakit, dia mulai tinggal bersama neneknya. Pada akhirnya, ibunya
tidak pernah keluar dari rumah sakit.
Hiyuki pikir ibunya tahu
bahwa waktunya tidak akan lama, itulah kenapa dia berkata ‘kau harus kuat’ pada Hiyuki di depan akuarium hiu kitefin hari
itu.
Suara ibunya mungkin
terdengar keras dan dingin, namun terdengar sangat sedih.
Setelah ibunya
meninggal, kapanpun dia melihat foto yang dia ambil saat itu, Hiyuki pikir dia
kini sendirian dan harus kuat.
Seperti hiu kitefin di
laut dalam, dia bisa bertahan walaupun tanpa kawan.
Neneknya berusia lebih
dari tujuh puluh tahun dan merupakan seorang yang keras. Setelah ibu Hiyuki
meninggal dunia, neneknya menugasi Hiyuki dengan banyak tugas.
Mengepel koridor dengan
sebuah kain lap, menggosok jendela-jendela, menyiangi rumput di halaman. Di
mansion yang luas dengan banyak sekali kamar, ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang
memerlukan banyak tenaga.
Di samping itu, Hiyuki
harus membantu di dapur. Dia sering memotong tangannya dengan pisau dapur pada
awalnya, dan neneknya berkata:
— Itu karena kau memakai
pisau dengan salah, itu salahmu kau memotong tanganmu
sendiri, jadi jangan
menangis dan meminta belas kasihan dari orang lain. Neneknya mencaci.
Ketika Hiyuki kecil
takut tidur di sebuah kamar yang besar.
— Aku akan
memperlakukanmu sebagai orang dewasa, dan orang dewasa yang
menunjukkan kelemahan
itu buruk. Aku tidak akan mendengarkan semua keluhanmu, jadi persiapkan dirimu
untuk itu.
Neneknya menolaknya
dengan dingin.
Kata-kata neneknya
selalu meremehkan, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, selalu
membicarakan hal-hal
yang tidak boleh dilakukan. Bahkan caranya memegang sumpit, duduk di tatami dan
bagaimana cara berjalan diajarkan dengan keras.
Ketika Hiyuki dan
anak-anak lain pergi ke rumah seorang teman yang Hiyuki temui di
taman-kanak-kanak untuk
bermain, neneknya akan bertanya dengan detail apa yang Hiyuki mainkan, dan
kudapan apa yang mereka makan ketika dia sampai di rumah. Setelah itu, neneknya
akan mengunjungi rumah orang tersebut dengan kudapan-kudapan berkelas.
— Terima kasih sudah
menjaga cucuku. Kudengar dia makan banyak sekali kudapan, tetapi anak-anak di
rumahku tidak boleh memakan makanan-makanan penutup atau kue-kue yang dijual di
pasar, jadi tolong jangan beri makan cucuku dengan itu nanti.
Ini terjadi berulang
kali, dan pada akhirnya, tidak ada anak-anak yang mengajak Hiyuki ke rumah
mereka untuk bermain.
— Mama, Mama tidak boleh
memberi Hiyuki apa-apa untuk dimakan.
— Nenek Hiyuki itu
sangat keras. Anak-anak yang main ke rumah Hiyuki dimarahi: Taruh sepatu yang
benar! Menakutkan sekali. Dan kudapan yang ada di rumah mereka Cuma bakpao dan
kacang hitam yang tidak manis sama sekali dan tidak enak.
Tidak ada anak yang
bermain di rumah Hiyuki. Di sekolah dasar, tidak ada seorang pun yang mengajak
Hiyuki bicara di kelas.
Hiyuki berangsur-angsur
menjadi anak introvert, dan tidak tahu ekspresi apa yang harus ditunjukkan
ketika dia berada di keramaian.
Ketika dia menyadarinya,
meninjau ulang pekerjaan rumahnya dengan wajah tegang dan mulut terkatup di
bangkunya adalah hal yang normal.
Hal-hal tidak berubah di
SMP, ekspresi Hiyuki berubah semakin dingin dan semakin kaku, menghabiskan
hari-harinya tanpa mengobrol dengan siapa pun.
Di musim dingin pada
tahun ketiganya di SMP, dia tanpa sengaja menemukan light novel, yang memberi
secercah cahaya pada kehidupan Hiyuki yang kelabu.
Tanpa banyak keraguan,
dia memilih sebuah buku yang harganya terjangkau dengan uang sakunya yang
terbatas dan membacanya berulang-ulang setelah membeli satu.
Neneknya berpikir bahwa
hal-hal seperti anime dan manga dapat megakibatkan kerugian.
Ketika Hiyuki masih
sekolah dasar dan menerima sebuah buku catatan dengan gambar seorang karakter
manga pada sebuah pertemuan olahraga, neneknya mengerutkan alisnya dan
memerintahkannya dengan keras untuk ‘membuangnya’.
Kalau neneknya tahu
bahwa Hiyuki membaca light novel dengan sampul-sampul bergaya anime, dia pasti
akan melarangnya. Semua buku-buku penting Hiyuki mungkin akan dibuang semuanya.
Itulah mengapa Hiyuki
menyimpan novel-novel dan mencetak naskah-naskahnya diam-diam, dan Tidak akan
pernah membaca light novel atau mengerjakan naskah-naskahnya di rumah.
Hiyuki memutuskan untuk
membaca dan menulis light novel di luar, dan berpegang teguh pada prinsip
tersebut.
Dia mungkin mengikutkan
karyanya ke kontes pendatang baru karena dia ingin semua orang akan tahu. Dia
berharap seseorang akan tahu bahwa dia yang terlihat suram, dingin dan membosankan
bisa menulis sebuah cerita yang ringan dan ceria juga.
Dia ingin semua orang
tahu walaupun dia tidak pernah bertukar email dengan teman-temannya, dia tetap
mengetahui bagaimana cara menggunakan font dengan ukuran bermacam-macam,
emoticon-emoticon dan tanda baca bertumpuk.
Namun lembar-lembar
komentar yang dia terima menuliskan: tokoh utamanya tidak menyenangkan, cerita
dan penyusunan kata-katanya murahan dan tidak menarik.
Dirinya yang tidak
menyenangkan hanya bisa menulis cerita yang tidak menyenangkan.
Hiyuki menahan suaranya
agar neneknya tidak mendengar, dan menangis dibalik selimutnya.
Untuk Hiyuki yang tidak
memiliki kebebasan dan kepercayaan diri, hanya ada satu orang yang bisa
menerimanya, dan orang itu adalah Ao.
Kazetani-kun tidak hanya
baik padaku saja …
Ao baik pada semua
orang.
Semua orang menyukai Kazetani-kun.
Karena Kazetani-kun tidak akan pernah menyakiti siapapun dan akan selalu
menemukan hal-hal baik tentang mereka. Senang sekali rasanya jika bersama Kazetani-kun.
Bila Hiyuki adalah
seekor hiu kitefin di lautan dalam, maka Kazetani-kun pastilah sang langit biru
yang tidak terbatas dan luas.
Kazetani-kun itu luas.
Sedangkan aku sempit.
Kazetani-kun tidak akan
menyukai orang seperti Hiyuki. Kazetani-kun lebih memilih gadis-gadis yang imut
dan ceria yang mirip seperti Kazetani-kun. Seperti orang yang memanggilnya
dengan suara yang manis dan memeluknya hari ini.
Aku hanya … mengharapkan
semua hal untuk diriku sendiri…
Dia merasa dia tidak pantas
untuk Kazetani-kun yang dicintai oleh semua orang.
Itulah yang dia pikir, tetapi
mungkin …
“Sudah cukup
Kazetani-kun mau menemaniku menulis naskahku, aku harus puas…”
Dia bergumam pada
dirinya sendiri sembari menatap foto ibunya yang menggenggam
tangannya dengan sarung
tangan putih seperti wanita terhormat. Matanya perlahan menutup dan tidak
terbuka lagi.
***
Keesokan paginya, Hiyuki
datang ke lab komputer pagi-pagi seperti biasa untuk mengerjakan naskahnya.
Namun jari-jemarinya berhenti setelah mengetik sebaris kalimat, dan waktu
berlalu tanpa kemajuan apa pun.
Aku harus ke kelas …
Dia mematikan monitor,
membuka pintu lab komputer dan mendapati Ao berdiri di sana dengan wajah
malu-malu.
“Selamat pagi,
Hinomiya-san.”
Kazetani-kun datang untuk
menunggu Hiyuki dan menyapanya, membuat Hiyuki terharu. Namun dia tiba-tiba
teringat tentang wanita yang kemarin, dan tidak mampu untuk menyapa balik dengan
baik.
“… Pagi.”
Hiyuki bergumam dengan
suara murung, membuat keadaan menjadi canggung dan tidak tenang. Keduanya
terdiam, dan Kazetani-kun mengambil inisiatif untuk kembali bicara.
“Maaf soal kemarin, kamu
pasti kaget karena ada orang asing yang muncul tiba-tiba. Orang itu adalah
kenalan pamanku di tempat kerja. Dari perusahaan game yang kuceritakan yang memperkenalkan
pekerjaan menyaring naskah padaku.”
Bagi telinga Hiyuki,
kata-kata Kazetani-kun jauh lebih samar dari biasanya.
Apa seseorang yang kamu
kenal di tempat kerja memeluk keponakanmu secara tiba-tiba…?
Ketika si wanita dengan
dada yang menggairahkan itu muncul di benaknya, Hiyuki merasa seperti mendapat
tikaman menyakitkan di dalam dadanya yang sedang.
“… Oke.”
Dia bergumam lembut:
“… Pembelajaran mandiri
akan segera dimulai.”
Dan Hiyuki pergi seorang
diri.
Akhir pov Hiyuki
Ao merasa kebingungan
karena tidak bisa menjelaskan kepada Hiyuki tentang wanita itu.
Hinomiya-san sepertinya
menjaga jarak hari ini, rasanya aneh …
Malam itu, Ao membaca
naskah-naskah di rumah Sakutarou.
Penerbit mengirim kotak-kotak
berisi naskah-naskah ke tempat Sakutarou kali ini, jadi Ao menyaring semua itu
di sana.
Biasanya, dia akan
langsung menenggelamkan diri di karya-karya itu, namun hari ini, dia sadar
bahwa dia tetap memikirkan Hiyuki.
Ketika dia pergi untuk
menyapa Hiyuki di lab komputer pagi ini, Hiyuki
menunjukkan ekspresi
dingin, dan tidak menatap mata Ao.
Sama seperti di kafe
sepulang sekolah. Hiyuki yang biasanya memesan teh krisan malah memilih teh
nektar mawar yang berwarna merah muda terang.
“Hmm, enggak minum teh
krisan hari ini?”
Ketika Ao mengatakan
itu, Hiyuki menjadi malu.
“… Aku, aku mau mencoba
yang berbeda dari biasanya.”
Dia menjawab dengan
suara kaku.
Ao menatap hasil cetakan
naskah Hiyuki.
“Adegan saat Subaru dan
si heroine Cyan saling menyadari tentang perasaan masing-masing itu menarik,
babak yang bagus. Kupikir akan lebih baik kalau ada lebih banyak substansinya. Sebagai
contoh, menjelaskan kepada para pembaca apa yang membuat mereka tertarik pada satu
sama lain.”
Ao berkata, dan Hiyuki
menunjukkan wajah dingin dan galau.
“Ehh, susah dimengerti
ya?”
Ao bertanya.
“… Bisa lebih spesifik?
Apa maksudmu?”
Hiyuki berkata sambil
menatap ke bawah.
Ini pertama kalinya dia
mendengar Hiyuki menjawab dengan nada sedingin es begitu,
membuat Ao terkejut.
“Bagaimana kalau membuat
daftar tentang alasan mereka menyukai satu sama lain. Kalau kamu bisa
menjelaskan hal ini secara jelas, maka perkembangan cinta mereka akan lebih meyakinkan.
Pertama, kenapa Subaru menyukai Cyan?”
“Karena ketika dia
sedang sendirian, Cyan menemukannya.”
“Ya, setelah Subaru
berpindah ke dunia yang berbeda secara tiba-tiba, yang pertama dia temui adalah
Cyan. Itu alasan yang bagus. Ada lagi?”
“Cyan itu baik hati, dan
membantunya.”
“Ya, itu mudah
dimengerti.”
“…Ketika semua orang
menolak Subaru, berpikir kalau dia ‘berbeda’…
Hanya Cyan yang menerimanya dan membelanya.”
“Aku mengerti, wajar
saja jika dia mengaguminya kalau begitu.”
“…Karena Cyan
mengajarinya banyak hal.”
“Ya, kayaknya itu
benar.”
Ao mengangguk sambil
tersenyum.
“Cyan itu populer,
ceria, dan baik hati…”
Hiyuki menengok sejenak.
Kedua matanya yang menatap Ao tampak sangat depresi dan sedih. Dada Ao agak
sakit ketika melihat itu. Pada saat ini, Hiyuki menggerakkan bibir yang memiliki
tahi lalat di sebelahnya, dan berkata pelan:
“Senyumnya… seperti
langit biru.”
Kemudian dia cepat-cepat
menundukkan pandangannya.
Ketika Ao melihat
ekspresi murung yang langsung dibuat Hiyuki, Ao merasa bagian dalam dadanya
diremas kuat. Perasaannya sedikit bimbang, dan dia berkata:
“Alasan Subaru menyukai
Cyan sudah cukup, semuanya pasti akan jatuh cinta padanya karena alasan-alasan
ini.”
Hiyuki menggenggam pensi
mekanik berhias hiu kitefin-nya erat-erat dan menundukkan kepalanya.
“Selanjutnya, mari
memikirkan alasan kenapa Cyan menyukai Subaru. Apa yang Cyan sukai tentang
Subaru?”
Hening…
“Hinomiya-san?”
Hiyuki tetap membiarkan
mulutnya terkatup rapat, dan tampaknya dia terdiam karena merasa menderita. Ao
memanggilnya dengan khawatir.
“… Bukan apa-apa.”
Dia bergumam.
“… Cyan, tidak akan
pernah suka… pada Subaru.”
Hiyuki tetap menundukkan
kepalanya sembari melanjutkan dengan nada suram.
“Huh, kenapa?”
Ao merasa bingung. Bila
si heroine tidak menyukai si tokoh utama, maka karya tersebut akan hancur
berantakan.
“…Soalnya, tidak peduli
seberapa sering aku mencoba untuk memikirkan alasan untuk menyukai Subaru … aku
tidak bisa menemukan hal-hal baik tentangnya… pemurung… dingin… tidak ahli
dalam pembicaraan… gampang merajuk… tidak ada yang menyukainya, dia hanya orang
aneh yang datang dari sebuah tempat antah-berantah…”
Suara Hiyuki dan
ekspresinya berubah lebih kaku dan lebih keras. Cahaya dingin dapat terlihat
dari matanya yang menatap ke bawah.
“Wajar bagi Subaru untuk
menyukai Cyan, tapi Cyan yang disayangi semua orang tidak akan pernah menyukai
Subaru.”
Ao mengerti Hiyuki
memiliki kompleks emosional yang serius, dan mengapa dia
memproyeksikan dirinya
pada tokoh utama yang penyendiri.
Bagaimanapun, Ao tidak
mengerti mengapa Hiyuki tiba-tiba saja marah dan benar-benar meremehkan si
tokoh utama.
Ao merasa bingung, dan
kedua pipi Hiyuki berubah merah.
“A-aku … pulang dulu
hari ini.”
Dia mengemasi alat-alat
tulisnya dan meninggalkan toko.
Lalu dia berdiri dan
berkata pada Ao:
“Kazetani-kun, tidak
masalah kalau kamu tidak menyapaku pagi-pagi … Kazetani-kun dan aku tidak
cocok.”
Hiyuki berujar dengan
nada dingin, membuat Ao sejenak tidak bisa berkata apa-apa.
Tidak cocok … yah, aku
memang tidak cocok sama sekali dengan Hinomiya-san …
Hiyuki tidak seperti
biasnaya hari ini, tetapi saat dia mengatakan ‘tidak cocok’, Ao merasa sangat
sakit.
Dia tidak butuh saranku
untuk menulis naskah lagi…? Apa tanpa kusadari aku
menyakitinya?
Kalau tidak, Hiyuki yang
introvert tidak akan mengatakan apa pun. Karena Ao memikirkan hal-hal seperti
ini terus di dalam benaknya, dia menyelesaikan satu naskah lebih lama dari biasanya.
Ao membuka laptop yang
dibawanya dari rumah, membuka program lembar komentar dan bersiap untuk
mengetik komentar-komentar keseluruhan. Namun, dia tetap ragu: akankah kata-kata
ini menyakiti si penulis? Akankah menulisnya seperti ini melemahkan keinginan
si penulis untuk mengikuti sebuah kontes lagi? Bisakah dia membuat keputusan
yang tepat pada kondisi seperti ini? Mungkin karya ini layak dimasukkan ke
babak kedua. Tangannya yang berada di atas keyboard terus berhenti.
Ketika dia pertama kali
mulai menyaring, dia sering bertemu dengan dilema semacam itu.
Awal dia memulai, dia
terlalu senang dan memasukkan naskah-naskah itu tanpa pikir
panjang. Dan pada
pengalaman kedua dan seterusnya, dia tahu penilaiannya akan
berpengaruh pada nasib
naskah-naskah tersebut, dan tekanan itu akan membuat dadanya terasa sesak.
Pada kebanyakan situasi,
para penyaring hanyalah orang-orang yang membaca naskah-naskah pada babak
pertama. Jika Ao menggagalkan naskah itu pada tahap ini, tidak akan ada lagi
penyaring yang dapat melihat naskah ini, kecuali bila si penulis mengikutkannya
pagi pada kontes lain.
Dia bukanlah seorang
penulis atau seorang editor, namun hanyalah seorang murid SMA yang menyukai
light novel. Apa tidak apa-apa bagi Kazetani Ao untuk memutuskan ini?
Terutama ketika beberapa
karya yang berada pada garis batas untuk menjadi ‘dianjurkan maju
ke babak kedua’, Ao akan kehilangan waktu tidur dan bingung perihal karya
mana yang harus dia kirim.
Haruskah karya dengan
penulisan dan struktur yang lebih baik?
Atau karya yang kreatif
dengan teknik yang belum matang?
Bila karya yang tidak
dipilih Ao adalah sebuah mahakarya yang seharusnya memenangkan sebuah
penghargaan—
Bagaimanapun,
karya-karya yang dia kirim setelah banyak merasa ragu tidak pernah berhasil melewati
babak kedua. Naskah-naskah yang memenangkan penghargaan-penghargaan pada akhirnya
adalah yang dirasanya: ‘Aku harus membuat
lebih banyak orang membaca ini’, dan mengirimnya ke babak selanjutnya tanpa
keraguan.
Beberapa naskah yang
seperti itu pun tidak berhasil. Ao akan merasa jengkel tentang hasil yang
demikian, tetapi ketika karya tersebut memenangkan hadiah pendatang baru di
kontes lain, jauh di dalam lubuk hatinya Ao merasa bahagia. Dia percaya bahwa
karya-karya yang harus dibaca oleh orang-orang itu pasti akan diterbitkan,
tidak peduli rute apa yang diambilnya.
Bahkan cerita-cerita
yang sangat dipercayai Ao juga gagal.
Bagaimanapun,
karya-karya yang dikirimnya dengan ragu-ragu tidak pernah melewati babak kedua.
Selama tiga tahun terakhir, setelah membaca lebih dari ribuan naskah, hal itu
tidak pernah terjadi.
Setelah melakuan
pekerjaan sebagai penyaring naskah lebih dari sepuluh kali, kepercayaan diri Ao
pada penilaiannya tumbuh. Dia akan mengirimkan karya-karya yang pasti sampai pada
babak kedua tanpa keraguan, dan hanya mengirimkan karya-karya yang membuatnya ragu
jika tidak punya pilihan lain. Bila ada banyak karya yang membuatnya ragu, dia
akan mengikuti penilainnya saat itu dan menyaring keluar karya-karya tersebut
sesuai dengan penilaiannya.
Setiap karya memiliki
kelebihannya masing-masing, dan setiap karya menarik.
Tidak ada karya yang membosankan
di dunia ini.
Hal ini tidak pernah
berubah.
Dan begitulah, Ao
melanjutkan pekerjaan menyaringnya. Namun … Dia terkadang merasa bingung.
Ketika si peserta mengetahui hasilnya, mereka yang dapat memasuki babak kedua
dan mereka yang gagal pada babak pertama akan merasa berbeda.
Hinomiya-san merasa
depresi karena dia tidak pernah sampai pada babak pertama, yang membuat
kompleksnya bertambah buruk. Dinilai dari situ, peserta-peserta yang depresi pasti
ada banyak.
Ao setidaknya ingin
menulis di lembar komentar: Karyamu sama sekali tidak payah. Aku bersenang-senang
membacanya. Walaupun hasil kali ini patut disayangkan, hal ini sama sekali
tidak berlaku untuk kemungkinan ke depannya.
Sesungguhnya, ada satu
peserta yang gagal sepuluh kali, dan memenangkan penghargaan pada kali
kesebelasnya.
Bagaimana caranya aku
menulis untuk menyampaikan hal ini pada para peserta …
Bagaimana caranya untuk
tidak menyakitinya … dan sedikit membantu mereka?
Semakin sering
dipikirkan, semakin dia merasa bingung.
Cara Sakutaro
melihatnya, bila seseorang menjadi berkecil hati dan berhenti menulis, maka semangat
mereka hanya sebatas itu, maka tidak perlu mengkhawatirkan orang-orang semacam
itu.
Terlepas dari membuat
cerita, ada banyak hobi dan minat lain di dunia ini yang bisa mereka pilih.
Ao merasa pendapat
Sakutarou sangatlah mudah dilaksanakan.
Bagaimanapun, ketika dia
memikirkan Hiyuki yang memiliki sebuah tahi lalat di dekat bibirnya, tatapan
matanya yang mengarah ke bawah dan kepalanya yang tertunduk sedih, tangan Ao
tanpa sadar berhenti.
— Cyan yang disayangi
oleh semua orang tidak akan pernah menyukai Subaru.
Aku ingin membantu
Hinomiya-san karena aku ingin dia bisa melewati babak pertama dan mendapat
kepercayaan diri. Tapi …
Ao bergumam pada dirinya
sendiri, dan sebuah suara manis menggema di ruangan tersebut pada saat ini.
“Hmmm, Saku, aku lapar,
makan yuk~”
“Ah, sebentar.”
“Makan masakan Cina yuk,
aku mau makan udang pedas, Saku yang bayar bonnya oke?”
“Oke, aku yang traktir
kalau kamu nurut.”
“Eiko akan jadi anak
baik, guk, tuanku~”
Sakutarou duduk di depan
meja dikelilingi komputer-komputer ketika dia bekerja, sementara seorang wanita
dewasa dengan aura imut dan bulu mata keriting duduk tepat di samping kakinya.
Dengan satu tangan di lutut Sakutarou dan pipinya digosok-gosokkan di pinggang Sakutaro,
dia menggonggong seperti seekor anak anjing dengan nada yang bisa melelehkan siapa
pun. Ao merasa pusing melihat adegan ini.
“Paman Saku, lebih baik
ini kubaca di rumah.”
Ao mengambil naskah
sebanyak yang bisa dia bawa, dan bersiap pergi.
“Jangan begitu, ayo
makan bareng Ao.”
“Itu benar~ Ao-chan.”
Sakutarou dan orang yang
satunya berkata dengan tidak senang. Mereka tidak bermaksud bertingkah sopan,
mereka benar-benar tidak mempermasalahkan Ao di ruangan yang sama,
tak pelak lagi.
Tapi aku yang
mempermasalahkannya—
Kekasih Sakutarou, Aeka,
memang selalu begitu.
Aeka, nama panggung
Kanno Aeka, bekerja sebagai seorang pengisi suara. Ao memanggilnya Aeka-san,
namun Sakutarou memanggilnya ‘Wawa-chan’ atau ‘Wanko’, berdasarkan pada nama
aslinya ‘Wako’.
Aeka mungkin memang
terlihat muda, namun dia sudah bekerja bertahun-tahun sebagai pengisi suara.
Dia sudah mengencani Sakutarou dalam waktu yang cukup lama juga, sering kali
mengunjungi rumah Sakutarou ketika Ao masih duduk di bangku sekolah dasar, jauh
sebelum Ao bekerja sebagai penyaring naskah.
Karena mereka sudah
berkencan dalam waktu yang lama, menjadi pasangan yang lebih setia akan jadi
ide bagus. Keduanya juga semakin tua, jadi pernikahan akan bagus. Namun mereka akan
bertengkar dan berpisah sesekali, lalu bersama kembali bersama seperti lem.
Alasan utama adalah
Sakutarou yang jadi bersemangat pada pekerjaannya, dan mengabaikan apa pun yang
ada di sekitarnya. Aeka yang senang dibujuk tidak bisa menerimanya, dan emosinya
langsung meledak.
— Aku mau putus dengan
Saku-san!
Itu akan terjadi. Bahkan
Ao tahu Aeka ingin Sakutarou memintanya untuk tetap tinggal, tetapi Sakutarou
akan memberi jawaban yang tidak diduga-duga.
— Yeah, oke.
Dia akan menatap monitor
dan menjawab tanpa acuh. Hal ini akan membuat marah Aeka yang sudah mengomel
yang kemudian berkata ‘Dasar! Saku-san bego!’, membuat kekacauan yang
lebih besar lagi.
— Aku betulan putus
denganmu lho~ Aku enggak mau melihatmu lagi~~
Aeka akan lari sambil
menangis. Begitulah mereka hidup berdampingan.
Walaupun Aeka bilang
tidak ingin bertemu dengannya lagi, mereka masih akan bertemu lagi di tempat
kerja mereka.
Aeka cukup aktif di
genre-genre normal, dan dia cukup terkenal dengan perannya di game-game R18
yang diambilnya dengan nama alias yang berbeda-beda, seorang pengisi suara populer
dengan banyak bagian setiap bulan. Ketika Aeka pertama memasuki adegan game dewasa,
dia mengambil peran heroine utama untuk game yang Sakutaro buat, dan keduanya menjadi
saling kenal.
Sebelum dia terkenal di
genre-genre normal, dia memutuskan untuk memakai sebuah alias di dunia game
dewasa, dan memerankan adegan-adegan erotis dengan suara.
Walaupun dia sendiri
yang membuat keputusan itu, rasa kalah dan mengasihani diri sendiri mulai
menjadi-jadi.
Dia tidak bisa tampil
sebaik yang dia mau, dan voice director-nya meminta Aeka untuk rekaman kembali.
— Hey, Aeka, buang rasa
bangga-mu yang tidak perlu itu dan teriakkan dengan lantang.
Untuk membuat Aeka
rileks, voice director itu dengan sengaja berkata dengan nada
memerintah. Namun ini
menyakiti Aeka yang sudah tegang.
Pada saat itu, Sakutaro
yang berada di tempat rekaman itu berkata begitu saja:
— Tidak, rasa bangga itu
perlu.
Aeka yang kedua
telinganya di ruang rekaman mendengar suara seorang pria yang berkata dengan
acuh tak acuh:
— Tanpa rasa bangga,
mustahil untuk menciptakan karya-karya yang bagus. Sama halnya dengan
berakting, jadi kuharap dia bisa berakting dengan rasa bangga.
Dia kemudian tersenyum
hangat pada Aeka.
“Iya ‘kan! Aku pasti
jatuh cinta padanya! Benar-benar jatuh cinta padanya! Sangat! Kata-kata dan
senyumannya waktu itu berulang ribuan kali di kepalaku!”
Aeka berkata pada Ao
dengan dongkol setelah menceritakannya.
— Itu keterlaluan,
Saku-san membuatku terlihat buruk. Dia cuma peduli soal bertingkah laku keren.
Sang voice director
berakting sedih, dan dengan staf yang lain bermain-main sedikit, suasana menjadi
tenang dan rekaman pun berakhir dengan lancar.
Heroine Aeka diterima
dengan baik oleh para pemain, dan adegan-adegan R18 dihapus untuk dibuat ulang
menjadi game untuk semua umur. Kemudian game itu menjadi anime, jadi Aeka
mengambil peran secara terbuka dan terdaftar di credit sebagai Kanno Aeka.
Anime-nya juga mendapat
sambutan baik, dan Aeka menjadi aktris pengisi suara yang
populer di genre-genre
normal dan adegan-adegan game dewasa. Dia dapat mempertahankan kebanggaan dan
penampilannya, tidak peduli dalam bidang apa pun.
Memakai kesempatan ini,
Aeka mengambil inisiatif untuk mengungkapkan perasaannya, Sakutarou menerimanya
dan keduanya pun menjadi sepasang kekasih.
“Tapi Sakutarou bilang
padaku kalau dia akan mengatakannya pada pengisi suara rookie yang lain juga.
Dia enggak berusaha menggodaku, dan mengatakannya dengan biasa. Itulah mengapa
dia dijuluki si rookie killer di industri ini! Jahat banget ‘kan? Kenapa enggak
ada yang memperingati aku sebelum aku jatuh cinta pada Sakutaro!?”
Ao yang saat itu hanyalah
seorang siswa SMP merasa disusahkan karena ditekan terus oleh Aeka.
Dari sudut pandang
seorang keponakan laki-laki, Sakutarou selalu punya wanita-wanita di sampingnya.
Sakutarou pikir itu hanya merepotkan dan tidak mengejar mereka, wanita-wanita itu
sendiri yang menghampirinya.
Dan begitulah, setelah
putus dengan Aeka, wanita-wanita lain akan muncul dalam jangka waktu pendek
sehingga membuat Ao terkejut. Aeka lalu akan merasa cemburu.
“Aku enggak suka
Saku-san sama cewek lain.”
Dan mereka akan kembali
bersama …
Aeka memeluk Ao di
tengah jalan kemarin karena Sakutarou yang sedang dalam masa kerja yang seperti
neraka membatalkan sebuah kencan dengan Aeka pada saat-saat terakhir seperti biasa,
yang membuat Aeka sangat marah.
Ao benar-benar tidak
beruntung karena bertemu Aeka yang meninggalkan kondominium Sakutarou.
Mungkin sebagai seorang
aktris pengisi suara yang memerankan gadis-gadis penuh
kepribadian yang tidak
eksis di dunia nyata memengaruhinya, atau mungkin Aeka memang begitu, dia akan
mengabaikan pandangan orang lain dan bertindak seperti seorang aktor.
Ao sudah terbiasa
dengannya. Walaupun dia menangis sambil memeluk Ao kemarin dan membuat
kehebohan besar, dia berbaikan dengan Sakutaro hari ini dan sedang menggodanya tepat
di depan Ao.
Ao sudah tidak tahan
lagi.
“Kalian berdua duluan
saja, aku lagi enggak mood hari ini.”
Ao berkata tidak senang.
“Oh, jarang sekali
melihat Ao-kun merasa tidak senang. Kamu lagi bertengkar dengan
cewekmu yang super
cantik yang berkencan denganmu kemarin?”
Aeka mengatakan sesuatu
yang sama sekali tidak ada hubungan.
Dia tidak peduli dengan
Hiyuki kemarin dan tetap menangis sembari memeluk Ao, namun dia sebenarnya
menyadari Hiyuki.
“I-itu bukan kencan!”
Ao berekspresi canggung,
dan Sakutarou tertawa dengan senang hati.
“Oh, cewek yang pendiam
dan dingin itu? Hmm, jadi dia itu cewek cantik yang seperti itu.”
“Dia cantik seperti
boneka. Kulit putih, tungkai yang panjang dan langsing, bentuk badan yang
bagus. Sulit menemukan selebriti-selebriti sekaliber itu.”
“Oh, jadi itu
cewek yang digoda Ao. Jadi? Sedih karena hal-hal tidak berjalan baik
dengannya?”
Sakutarou tampaknya
menyadari kesulitan Ao ketika dia sedang membaca naskah. Ao tidak bisa
memandang rendah pamannya dalam situasi seperti ini.
“Aku kan sudah bilang
bukan. Hinomiya-san sedang menulis light novel, dan aku memberinya saran. Kami
pergi ke akuarium kemarin untuk mencari bahan referensi. Ngomong-ngomong …
Hinomiya-san sudah bilang padaku kalau dia enggak mau diajak bicara olehku di
sekolah …”
Ao mengungkapkannya
tanpa disengaja.
Sakutarou dan Aeka
membelalakkan matanya.
“Ao-kun, dia mengatakan
hal seburuk itu?”
“Apa yang kamu lakukan,
Ao?”
Karena Ao sudah
bercerita sebanyak itu, Ao pikir dia bisa sekalian mendiskusikannya dengan mereka, lalu
melanjutkan:
“Dia tidak mau aku
bicara padanya … Apa aku melakukan sesuatu yang membuatnya berkata demikian … aku
enggak tahu. Kami bersenang-senang di akuarium, suasananya tenang dalam
perjalanan pulang sementara kami berdua mengobrol. Enggak ada hal aneh yang
terjadi setelah keluar dari stasiun …”
Di bawah cahaya matahari
terbenam yang samar-samar, Hiyuki tampak luar biasa cemerlang, kedua pipinya
memerah sewaktu dia berkata bahwa dia berharap Kazetani-kun menyukai karyanya
dengan malu-malu, jadi Hiyuki akan menulis cerita yang fantastis dengan
foreshadowing. Di samping itu—
“Tapi, waktu aku
menyapanya di sekolah tadi pagi, reaksinya dingin … Sepulang sekolah, kami
pergi ke kafe yang sering kami kunjungi untuk mendiskusikan naskahnya. Dia kemudian
menunjukkan wajah sedih, bilang kalau si heroine enggak akan pernah menyukai si
tokoh utama sebelum dia pergi.”
Ketika Ao memikirkan
Hiyuki berkata ‘kita tidak cocok’, Ao merasakan rasa sakit di dadanya dan terdiam.
“Hey, Ao, jangan-jangan
…”
“Pasti itu.”
Setelah mendengar Ao,
kedua orang dewasa itu menunjukkan ekspresi kebingungan. Sakutaro agak terkejut,
sedangkan Aeka terlihat menyesal.
Mereka tampaknya harus
tahu mengapa Hiyuki tidak senang—
“Jadi kenapa
Hinomiya-san tiba-tiba memperlakukanku sedingin itu?”
Ao bertanya dengan
serius, dan Aeka menjawab dengan tatapan lembut yang melindungi anak lelaki itu
dengan hangat:
“Karena dia cemburu,
Ao-kun.”
Akhir Pov Ao
“Ada masalah apa Hiyuki,
kau tidak menggerakkan sumpitmu.”
Hiyuki yang sedang duduk
di tatami berlawanan dengan neneknya untuk makan malam mengangkat kedua bahunya
ketika dia mendengar neneknya memarahinya.
Memegang mangkuk dengan
tangannya yang kurus, neneknya menatap Hiyuki dengan tatapan tajam.
“Masih tidak enak
badan?”
Nadanya tampak seperti
menuduh Hiyuki, membuatnya merundukkan tubuhnya. Sudah seperti ini akhir-akhir
ini, ketika Hiyuki sakit pilek, neneknya akan berkata: ‘Itu salahmu
karena melalaikan kesehatanmu dan sakit pilek. Jaga dirimu sendiri.’ Dia
tidak bertindak seperti ibu-ibu lain yang akan menyiapkan air panas atau
kantung-kantung es untuk anak mereka.
Hiyuki bisa mengikuti
instruksi-instruksi neneknya dan mengambil obat flu dari kotak obat, memotong
apel untuk dimakannya, dan beristirahat sendirian di ruangan yang luas dan
sepi.
Jika Hiyuki menunjukkan
tanda-tanda ketidaknyamanan atau semangat yang rendah di depan neneknya, dia
akan menceramahinya karena terlalu lemah dan tidak merawat dirinya sendiri.
Hari itu saat mereka
mengunjungi akuarium, Hiyuki kembali ke rumah agak terlambat dari jam malamnya.
Jadi dia membuat alasan kalau dia merasa tidak enak badan dan beristirahat sebentar
sebelum kembali ke rumah. Neneknya mengatakan kesehatannya buruk karena Hiyuki
membuat tubuhnya melakukan sesuatu yang tidak nyaman. Neneknya menanyainya secara
terus-menerus saat itu.
Dia mungkin akan
mengalami hal yang sama jika dia bilang sedang merasa tidak enak badan lagi.
“Maafkan aku, aku hanya
sedang memikirkan sesuatu.”
Hiyuki menjawab dengan
kepala ditundukkan. Neneknya berkata dengan suara keras:
“Tidak sopan memikirkan
tentang sesuatu ketika makan, kau bisa membuat orang yang makan bersamamu tidak
senang, jadi jangan lakukan itu.”
“… Maafkan aku.”
“Apa yang sedang kau
pikirkan?”
“… Matematika itu
sulit.”
Neneknya pun menatap
tajam Hiyuki.
Hiyuki merasakan hawa
dingin di punggungnya seolah kebohongannya terungkap.
Neneknya berkata dengan
suara keras:
“Jika kau belajar dengan
baik di sekolah, kaubisa mendapat nilai yang bagus walaupun kau tidak mengikuti
pelajaran tambahan. Kau merasa tugas sekolahmu sulit karena kau tidak cukup
berusaha.”
“… Aku minta maaf, aku
akan berusaha keras dan tidak bermalas-malasan.”
Saat dia melihat tatapan
neneknya, dia dapat menghabiskan makan malam yang tak berasa itu. Setelah
menyimpan peralatan makannya, dia akhirnya dapat menyendiri di kamarnya.
Namun dia akan
memikirkan Kazetani-kun dalam keadaan ini.
Kazetani-kun sudah
berkata ‘selamat pagi’ padaku… Aku selalu berharap teman-teman sekelasku akan
menyapaku secara biasa…
— Tidak apa walaupun
kamu tidak menyapaku di pagi hari …
Dia berkata begitu pada Kazetani-kun.
Tak peduli seberapa baik
dan lembut Kazetani-kun itu, hal itu mungkin mengejutkan.
Ketika Ao bertanya pada
Hiyuki untuk membuat daftar alasan mengapa si heroine menyukai si tokoh utama,
dia tidak bisa memikirkan apa pun dan hatinya penuh dengan keputusasaan.
Normal bagi Subaru untuk
menyukai Cyan.
Cyan sama lembutnya
dengan Kazetani-kun, seorang gadis yang seluas langit biru, seseorang yang akan
disukai siapa saja.
Namun, sama seperti Cyan
yang tidak mungkin untuk menyukai Subaru, Ao tidak mungkin menyukai Hiyuki.
Kazetani-kun bilang dia
tidaklah populer, tetapi itu tidak benar. Banyak gadis yang menyukai Kazetani-kun,
termasuk wanita itu—
Wanita itu bukan teman
kerja pamannya, tetapi sebenarnya seorang kekasih yang lebih tua dari Kazetani-kun.
Hiyuki merasakan nyeri
di dalam dadanya, seorang yang menjengkelkan sepertinya tidak cocok untuk Kazetani-kun
yang populer. Hiyuki jatuh dalam keputusasaan yang lebih dalam, berpikir bahwa Kazetani-kun
sudah tidak tahan membuang-buang waktunya untuk seseorang sepertinya.
Pacarnya Kazetani-kun …
Aku benci saat Kazetani-kun bertemu dengan gadis-gadis lain sepulang sekolah …
Keesokan paginya, Hiyuki
masih tidak membuat kemajuan dengan naskahnya.
Dia merasa bahwa dunia
yang dipenuhi hal-hal yang dia sukai dan yang dia bangun perlahan bersama Kazetani-kun
telah kehilangan kilaunya.
Ini hanyalah
adegan-adegan keseharian yang remeh, sebuah cerita membosankan yang tiada henti-hentinya…
Aku tidak ingin Kazetani-kun melihat ini.
Hiyuki mematikan
kompurter dan meninggalkan lab komputer.
Dia memasuki kelas tepat
sebelum pembelajaran mandiri dimulai. Ao yang sedang mengobrol dengan
teman-teman sekelas di sekitarnya mengangkat kepalanya dan melihat Hiyuki.
Hiyuki memalingkan pandangannya cepat-cepat dan duduk di bangkunya, lalu
mengintip Kazetani-kun sejenak. Kazetani-kun secara kebetulan juga melihat ke
arah Hiyuki lagi—ekspresinya tampak aneh seolah ada sesuatu yang tersangkut di
tenggorokannya.
Kazetani-kun sepertinya
sangat terganggu dengan apa yang kukatakan kemarin … Hiyuki merasa bersalah
dan rasa sakit di dadanya berdenyut-denyut, dan keduanya saling bertatapan.
Saat itu, wajah Kazetani-kun
berubah merah.
Ini pertama kalinya
Hiyuki melihat Ao memerah seperti itu, dan Ao cepat-cepat memalingkan wajahnya.
Kazetani-kun … Apa dia
marah tentang kejadian kemarin …?
Dia adalah orang yang
mengatakan kata-kata kejam itu pada Kazetani-kun dan tidak mengacuhkannya, namun
di saat dia melihat Kazetani-kun memalingkan wajah secara blak-blakan, Hiyuki
masih merasakan sakit di dadanya, dan ingin sekali menangis.
Setelah itu, Ao melirik
Hiyuki dari waktu ke waktu. Ketika dia bertemu pandang dengan Hiyuki, dia akan
memutar kepalanya, dan kejadian itu akan terulang lagi.
Bagaimana ini terjadi,
Hiyuki akan menggenggam pensil mekanik berhias hiu kitefin-nya erat-erat, mengatup
rapat bibirnya guna menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di dalam dadanya.
Setelah sekolah usai,
Hiyuki meninggalkan kelas lebih dulu, dan mengirim sebuah pesan pada Kazetani-kun
dari luar bangunan sekolah.
‘Maaf, naskahnya masih belum ada kemajuan, mari istirahat dulu
hari ini.’
Setelah mengirim pesan
tersebut, Hiyuki merasakan kesedihan menyesaki dadanya.
Mungkin menulis naskah
denganku adalah sesuatu beban bagi Kazetani-kun. Pacarnya mungkin mengatakan
sesuatu, tapi Kazetani-kun terlalu malu untuk bilang padaku kalau dia tidak
bisa menemuiku lagi sepulang sekolah. Mungkin itu kenapa dia terus melihatku
seperti punya sesuatu yang ingin dikatakan …
Semakin dia
memikirkannya, hal itu semakin masuk akal baginya. Bahkan cuaca berubah mendung
begitu Hiyuki berjalan keluar gerbang sekolah dengan kepala ditundukkan.
“Ah, bagus, aku
menemukanmu.”
Dia tiba-tiba mendengar
sebuah suara yang imut.
“Kamu itu menyolok
banget ya, aku melihatmu dari kejauhan. Hawa di sekitarmu beda sekali dari
murid-murid yang lain. Ah, maaf mencarimu tiba-tiba begini, aku temannya Kazetani-kun.
Aku Kanno Aeka, bisa aku minta waktunya?”
Wanita imut yang lebih
tua darinya yang memeluk Ao dengan erat di stasiun kini berdiri di depan Hiyuki
sambil tersenyum.
Dia berpakaian dengan
sangat imut hari ini, mengenakan sebuah rok mini yang fashionable dan blus
tanpa lengan yang cocok dengannya. Setelah mendengarnya sekali lagi, Hiyuki beranggapan
bahwa suara wanita itu sangat manis dan mempesona.
“Aku seorang aktris
pengisi suara, apa kamu tahu apa itu?”
Pengisi suara!
Kazetani-kun pacaran dengan seorang pengisi suara?
“Maaf … Aku tidak
menonton televisi.”
“Ahh, enggak apa-apa,
pengisi suara tidak terkenal-terkenal amat kok. Oh benar juga, aku di sini
untuk meluruskan sebuah kesalahpahaman.”
Jantung Hiyuki berdegup
keras.
Kazetani-kun hanya
menemanimu menulis naskah sepulang sekolah dan mengunjungi akuarium karena dia baik
pada semua orang. Tolong jangan salah paham dan berpikir kalau dirimu istimewa,
akulah pacar Kazetani. Itu adalah hal yang ingin dia luruskan … Tidak peduli
bagaimana Hiyuki memikirkannya, itulah alasan pacar Ao menemuinya.
“Ini tentang Ao-kun …”
Sudah kuduga.
Dada Hiyuki sejenak
terasa sesak.
“Aku tidak—”
Salah paham. Ketika
Hiyuki hendak mengatakan hal itu.
“Orang yang kupacari
adalah pamannya Ao-kun, Ao-kun sudah seperti adikku.”
“… Hah?”
“Aku sering kali
bertengkar dengan pamannya Ao, dan akulah yang selalu menangis; Ao-kun Itu
sangat baik dan menghiburku, jadi aku akan tanpa sadar membuatnya memanjakanku.
Aku lebih tua darinya, jadi mungkin ini terlihat aneh. Aku merenungkan hal ini,
tapi Ao-kun tidak seperti Saku-san, tapi mirip dalam beberapa hal. Waktu Ao-kun
memperlakukanku dengan baik, itu sama seperti Saku-san memperlakukanku dengan
baik, membuat hatiku tenang.”
Suara manis Aeka
terdengar seakan memancing, dan Hiyuki yang sudah ragu-ragu terjatuh pada
kekacauan yang lebih dalam.
‘Orang ini bicara apa? Kazetani-kun menghiburnya…? Karena
Kazetani-kun seperti
pamannya…? Kazetani-kun memperlakukannya dengan baik membuat
hatinya tenang, jadi dia tetap meminta Kazetani-kun untuk memanjakannya…’
Bayang-bayang Aeka yang
menekan tubuhnya pada Ao ketika memeluknya sambil menangis berkelebat di benak
Hiyuki, dan jantungnya terus berdebar keras.
Orang ini adalah kekasih
dari paman Kazetani-kun, tapi punya hubungan asmara dengan Kazetani-kun…
Otaknya memanas.
“Aku … aku harus pergi.”
“Ah, tunggu, aku belum
selesai.”
“Tidak ada yang
harus kukatakan padamu.”
Bagaimanapun, Hiyuki
tidak ingin mendengar suara manis Aeka lagi. Memikirkan Ao yang di-NTR membuat
dadanya sakit. Begitu Hiyuki berjalan melewati Aeka dengan wajah kaku—
“Ah, Ao-kun.”
Dia mendengar Aeka-san
mengatakannya.
Kemudian terdengar suara
Ao.
“Hmm? Aeka-san, kau
sedang apa di sekolah kami?”
“Ada yang ingin
kubicarakan dengan Hinomiya-san, tapi kayaknya aku tidak disukai.”
“Hmmm? Ah,
Hinomiya-san?”
Ao memanggil Hiyuki dari
jauh.
Hiyuki mempercepat
langkahnya.
Tetapi Ao mengendarai
sepeda, dan segera mengejarnya.
Hujan yang seperti kabut
mulai turun rintik-rintik dari langit yang kelabu. Ao mengayuh sepedanya di
sisi Hiyuki saat mereka melewati barisan pohon-pohon sakura. Dia berkata pada
Hiyuki:
“Hinomiya-san, maafkan
aku, aku enggak mengira Aeka-san akan mencarimu. Dia bilang apa padamu?”
Ao tampak acak-acakan
dan wajahnya kemerah-merahan, mungkin karena dia telah
mengejar dengan sekuat
tenaga dan belum mengambil napas.
“… Dia bilang kalau dia
adalah kekasih dari pamannya Kazetani-kun, dan Kazetani-kun sudah seperti adik
laki-lakinya…”
Hiyuki tidak berhenti
dan wajahnya masih kaku ketika dia menjawab dengan nada dingin. Ao pun berkata
dengan suara yang terengah-engah:
“Itu, itu benar! Aeka
adalah pacarnya pamanku … Apa lagi yang dikatakannya?”
“Kazetani-kun, apa ini
tidak apa-apa?”
“Huh?”
Hiyuki berbalik dan
berucap dengan nada yang cukup kuat, membuat Ao membelalakkan matanya.
Jatuh cinta dengan
kekasih pamanmu, Kazetani-kun sangatlah menyedihkan.
Kobaran emosi bergejolak
di dalam kepalanya dan dadanya terasa begitu sakit bagai dicabik-cabik.
“Aku tidak suka ini,
Kazetani-kun ditikung …”
Air mata mengalir dari
kedua matanya, namun Ao akan kerepotan jika dia menangis di sini; Hiyuki
memalingkan wajahnya dari Ao dan berlari secepat yang dia mampu.
Dari belakangnya.
“Hinomiya-san!”
Terdengar teriakan Ao,
tetapi Hiyuki tidak menoleh ke belakang.
“Ini semua salah Aeka,
semua hal jadi makin menyusahkan.”
***
Malam itu.
Di kediaman Sakutaro, Ao
yang sedang memijat-mijat pelipisnya berujar dengan nada getir.
“Hinomiya-san terlalu
delusional, kok dia bisa mengartikan kalau aku menyelingkuhi Ao-kun dan
Saku-san? Apa imajinasinya terlalu hebat, atau dia saja yang terlalu keras
kepala.”
Si biang keladi, Aeka,
tidak memikirkannya sama sekali, dan langsung pada intinya.
Sakutarou juga menatap
bingung.
“Aku berharap aku bisa
mengalami tipe komedi romantis seperti ini di SMA.”
Ao ingin memberitahu
Aeka bahwa Sakutaro tidak tertarik sama sekali dengan murid-murid SMA dan dia
hanya mengencani gadis-gadis kuliahan dan orang-orang dewasa yang bekerja.
Tetapi melakukan itu
hanya akan menambah masalahnya.
Ao mendesah.
“Hinomiya-san adalah
orang yang serius, dan mudah dipengaruhi oleh yang lain. Dia bakal percaya pada
orang lain dengan mudah, dan mencurigai banyak hal.”
“Dasar gadis yang
merepotkan.”
Wanita yang merepotkan
kata Aeka. Ao merasa lemas, dan Sakutaro berkata padanya:
“Karena kamu benar-benar
mengerti dia, jadi sebagai tokoh utama dalam sebuah komedi romantis, kamu harus
membuat pergerakan yang jantan. Antara ‘pergi’ dan ‘menunggu’, kamu harus
memilih ‘pergi’. Ngomong-ngomong, kalau kamu pilih menunggu, hasilnya akan
berupa bad end yang dipaksakan.”
“Jangan bandingkan
hidupku dengan video game Paman.”
“Oh begitu ya? Tapi
hidup itu seperti video game, dan itu tidak memiliki tombol reset. Jadi kalau
kamu tidak membuat pergerakan apa pun, cewek itu akan terus salah paham dan
pergi darimu.”
“Ugh …”
Ao ingin menyangkal,
namun dia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Aku tidak ingin
Hinomiya-san salah paham kalau aku menyukai Aeka.
Keesokan paginya, Ao
menunggu Hiyuki di depan lab komputer, namun Hiyuki tidak muncul.
Tepat sebelum
pembelajaran mandiri dimulai, Ao kembali ke kelas dan melihat Hiyuki duduk di
bangkunya dengan wajah sedingin es.
Aeka bilang bahwa dua
hari yang lalu Hiyuki cemburu, jadi Ao sangat khawatir soal ini kemarin dan
terus mengintip ke arah Hiyuki. Saat tatapan mereka bertemu, Ao akan tersipu, dan
siklus konyol ini terus berulang.
Teman-teman sekelasnya
terus memberitahunya: “Ao lirik-lirik Hinomiya lagi.” “Merayu
Hinomiya itu enggak mungkin, menyerah sajalah.” “Akan kukenalkan seorang
cewek padamu, enggak secantik Hinomiya sih, tapi dia ceria dan akan
akrab dengan Ao. Imut pula.”
Akan tetapi, Ao hari ini
memutuskan, dan menatap lurus ke arah Hiyuki. Kemarin, dia belum pernah
merasakan emosi yang kuat pada seorang gadis sebelumnya. Ketika dia masih duduk
di kelas dua SMP, dia pernah naksir seorang gadis di kelas sebelah. Gadis ceria
yang bermata cemerlang itu sering mengunjungi kelas Ao untuk bermain.
Ao merasa tawanya yang
tulus sangat menakjubkan dan dia sering mendengarnya. Gadis itu akan
berbincang-bincang dengan teman-temannya dan berhenti di pertengahan, lalu
menoleh ke arah Ao dengan tatapan manis, membuat jantungnya berdebar.
Keduanya kebetulan
adalah komite keindahan lingkungan, dan ketika mereka membersihkan ruang rapat
bersama, Ao mulai mengobrol dengan gadis itu dari dekat. Gadis itu mengambil inisiatif
untuk berbincang dengan Ao, membuat Ao berharap-harap.
Ao pikir dia menyukai
gadis itu.
Namun yang disukai gadis
itu adalah teman Ao.
Dia sering kali
mengunjungi kelas Ao untuk melihat teman Ao. Tatapan manis yang
diberikannya ke arah Ao
ditujukan kepada teman Ao yang berada di sampingnya. Gadis itu hanya berteman
dengan Ao karena dia ingin meminta Ao untuk membantunya.
— Kazetani-kun, kamu mau
membantuku ‘kan?
Ketika tatapannya yang
penuh harap ditujukan pada Ao, segala pertanda yang Ao tidak sadari muncul ke
permukaan sekaligus. Sebuah pukulan telak untuk Ao, dan dia tidak bisa menjawabnya
dengan seketika.
— Baiklah.
Dan begitulah, dengan
bantuan Ao, gadis itu memenangkan hati teman Ao. Keduanya
menjadi sepasang kekasih
tepat sebelum liburan musim panas dimulai.
Dengan temannya sibuk
berkencan, paruh pertama musim panas terasa sangat membosankan bagi Ao.
Itulah mengapa dia
menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal.
Ao bisa saja menolaknya
waktu itu dan berkata pada gadis itu tentang perasaannya. Tetapi, dia tidak
membuat pilihan itu.
Aku menyukaimu, dan aku
tidak bisa mendukungmu dengan orang lain. Ao tidak bisa mengatakannya.
Bukan karena dia
perhatian pada temannya, atau karena dia ingin si gadis itu bahagia.
Itu semua hanya alasan.
Ao hanya merasa kalau perasaannya tidaklah sekuat perasaan si gadis itu. Ao
belum pernah membenci seorang pun.
Dia bisa berbicara pada
siapa pun dengan mudah dan berteman dengan mereka.
Biarpun begitu, bukankah
itu artinya dia tidak menyukai seseorang secara khusus?
Kerendahan hatinya
tersebut merambat di pikirannya. Bahkan walaupun dia jatuh cinta pada seseorang,
akankah dia mengalah seperti yang dilakukannya saat kelas dua SMP, jika kalau perasaan
orang itu jauh lebih kuat?
‘Pasti orang ini’, dalam hidup Ao, apa dia pernah mengalami
perasaan yang kuat ini?
— Kazetani-kun … Tidak
ada orang yang kamu benci bukan?
— Tidak peduli betapa
kekanakan atau membosankannya sebuah cerita, Kazetani-kun bisa menikmatinya …
Saat Hiyuki menanyainya
soal itu, jantung Ao berdebar, dan dia merasa tidak nyaman.
— Apa itu menarik, Ao?
— Ya! Setiap ceritanya
menarik!
Saat Sakutaro melihat Ao
terpikat pada naskah-naskah itu, Sakutaro berkata dengan nada dan ekspresi
pahit:
— Begitu ya … Semuanya
menarik?
Ao merasakan hal yang
sama sewaktu Sakutarou mengatakan itu.
Tidak ada yang dia
benci, semua karya itu menarik baginya. Di sisi lain, tidak ada sesuatu pun
yang dirasanya spesial, atau yang membuatnya terikat.
Dia merasa malu pada
dirinya yang dulu, itulah mengapa dia tertarik pada semangat yang memenuhi
naskah-naskah yang disimpan di dalam kotak-kotak ini.
Namun, pada saat ini,
pada Ao timbul perasaan kuat terhadap Hiyuki yang tidak diingankannya untuk
mundur.
Setelah dengan sabar
menunggu jam pertama selesai, Ao berdiri dan berjalan ke tempat Hiyuki.
Saat mereka melihat apa
yang dilakukan Ao, semua teman sekelasnya terkejut dan memperhatikan mereka.
Hiyuki juga duduk di
kursinya, mendongak menatap Ao dengan ekspresi tercengang.
Ao tidak pernah berpikir
akan jadi sedekat ini dengan Hiyuki di kelas. Dan wajahnya kali ini pasti
tampak sangat serius dan tegang.
Apa yang dia lakukan?
Teman-teman sekelas mereka meneguk ludah ketika Ao memegang tangan Hiyuki.
“Ada yang ingin
kukatakan. Hinomiya-san, ikutlah denganku.”
Hiyuki membuka bibirnya
yang di sampingnya terdapat sebuah tahi lalat yang mempesona.
Dia mungkin ingin
mengatakan sesuatu, namun dia tidak bisa mengucapkan satu kata pun sehingga
bibirnya gemetar.
Menarik tangan Hiyuki
yang sangat langsing yang seakan bisa patah kapan saja, Ao berlari di sepanjang
koridor selama jam istirahat. Para murid yang mereka lewati melongokkan kepala
keluar kelas dan wajah mereka tampak terkejut ketika melihat keduanya.
Ao menaiki tangga dan
menuju ke atap.
Pintu menuju atap
dikunci, jadi Ao berhenti di depannya, menempatkan tangannya di
masing-masing sisi
Hiyuki untuk menghalanginya kabur.
Bahu Hiyuki terkulai.
Tatapan tercengang di
matanya kini menjadi tatapan bingung.
“Hinomiya-san.”
Ao berujar dengan nada
serius:
“Aeka-san adalah pacar
pamanku, aku tidak jatuh cinta pada Aeka, tidak akan jatuh cinta padanya, dan
tidak akan menjadi selingkuhannya!”
Hiyuki masih tidak bisa
mengatakan apa pun. Bahkan jika dia ingin untuk kabur seperti saat itu, dengan
Ao menghalanginya dan bersandar sedekat ini, dia tidak bisa bergerak.
Jika ini adalah Ao yang
biasanya, dia pasti akan mundur dengan panik ketika orang lain itu menunjukkan
ekspresi ketakutan. Tetapi hari ini—dia berteriak pada Hiyuki yang
diperangkapnya dan menatap pada Ao dengan takut.
“Aku tidak ingin
Hinomiya-san salah paham lagi!”
Bulu matanya yang
panjang dan bibir imut yang memiliki tahi lalat di sampingnya sedikit bergetar.
“Dan, baik itu di kelas
atau di manapun, aku akan menyapa Hinomiya-san kalau aku mau, dan bicara
denganmu kalau aku mau! Kalau kamu tidak bisa menulis novelmu, diskusikan denganku!”
Suara Hiyuki akhirnya terdengar
oleh telinga Ao.
Dia menatap Ao, dan
memaksakan kata-katanya … memakai segenap kekuatannya …
“… Ya.”
Masih terdengar sedikit
membingungkan—sebuah suara yang bermaksud baik mendinginkan kepala Ao. Sebagai
gantinya, wajahnya memanas.
Apa yang kulakukan?!
Membawa Hinomiya-san ke
tempat yang seperti ini, melakukan hal seperti itu—
Tangannya yang membatasi
gerakan Hiyuki ditarik dengan tergesa-gesa. Dengan wajah panas, Ao memalingkan pandangannya dan berkata dengan gelisah:
“A-ayo balik ke kelas.”
Hiyuki tidak berbicara
kali ini, membuka mulutnya sedikit dengan senang dan mengangguk.
Ao dan Hiyuki kembali ke
kelas dengan wajah memerah. Tatapan mata teman-teman sekelas tertuju pada
mereka, dan mata mereka semakin terbelalak karena terkejut.
Tidak hanya Ao yang
tatapan matanya bergerak ke samping dengan kikuk, bahkan pipi si ‘Gadis Es’
Hinomiya Hiyuki yang pucat tampak memerah. Cara bulu matanya diturunkan terlihat
malu-malu.
Dan tahi lalat di
samping mulutnya sangatlah mempesona. Sebagai pengganti aura sedingin es yang
biasanya, dia bermandikan aura yang manis dan riang!
Hiyuki tampak seperti
ini selama seharian penuh. Murid-murid yang mendengar berita
tersebut dari
kelas-kelas lain datang untuk melihat Hiyuki yang tersenyum bahagia tampak terkejut.
Apa yang terjadi? Hey
kamu, apa yang kamu lakukan? Kenapa Hinomiya senyum-senyum begitu? Ao diserang
dari segala arah, dan hampir tidak bisa bertahan.
“Begitulah Hinomiya-san
yang sebenarnya. Dia hanya gugup saja, dan tidak bisa
mengutarakan perasaannya
dengan baik.”
Ao menjawab.
“Apa-apaan, kamu
membuatnya terdengar mudah!”
“Pacar? Apa kamu
pacarnya!?”
“Sialan! Kupikir kamu
pasti bakalan ditolak! Kami bahkan sudah bikin rencana karaoke untuk
menyemangatimu dari cintamu yang gagal. Dan sekarang, kami merasa bodoh melakukannya.”
“… Lain kali, mau ikut
kencan dengan cewek-cewek kami?”
“Kamu sudah bikin
rencana double date?!”
Beberapa menyumpah,
beberapa menghela napas, dan beberapa iri.
Suara-suara yang
bermaksud baik juga datang dari sisi para cewek.
“Hinomiya-san kelihatan
imut banget kalau tersenyum.”
“Sekarang dia jadi
kelihatan lebih lembut.”
Ketika sekolah usai pada
hari itu, Ao menghampiri tempat duduk Hiyuki.
“Hinomiya-san, ayo ke
kafe bareng.”
“… Ya.”
Hiyuki mengangguk malu-malu.
Para gadis menyapanya.
“Dah, Hinomiya-san.”
Ketika dia mendengar
sapaan para siswi itu, Hiyuki tidak bisa berkata-kata. Ao berujar padanya
dengan lembut:
“Hinomiya-san, coba
saja.”
“Da-dadah …”
Hiyuki membuka bibir
yang di sampingnya terdapat sebuah tahi lalat dan tersenyum, mengucapkan selamat
tinggal pada teman-teman sekelasnya. Senyumannya yang hati-hati membuat jantung
baik laki-laki dan perempuan berdegup, jadi semua menyapanya:
“Dadah.”
“Sampai besok,
Hinomiya-san.”
“Ngomong-ngomong, dah
Kazetani-kun.”
Hiyuki mengucapkan
sampai jumpa kepada semuanya dengan gembira.
“Ehh … Maaf sudah
menakut-nakutimu hari ini.”
Di meja berbentuk bundar
pada kafe yang biasa mereka kunjungi, Hiyuki memesan teh mint dan Ao memesan
teh krisan yang biasa dipesan Hiyuki. Setelah perasaannya berubah tenang, wajahnya
mulai memanas, dan Ao meminta maaf dengan wajah ditundukkan.
Hiyuki mungkin ingat apa
yang Ao lakukan dan reaksi teman-teman sekelas, wajahnya berubah merah.
“Tidak apa … Aku senang
sekali.”
Gumamnya.
Ekspresinya terlalu imut
dan membuat Ao tersipu, kemudian berkata padanya sambil tersenyum:
“Hinomiya-san, kamu
bilang padaku kalau kamu tidak tahu kenapa Cyan menyukai Subaru.”
Mata Hiyuki berubah
muram.
“I-itu …”
“Aku tahu kenapa!”
Ao menatap lurus ke arah
Hiyuki dan berkata dengan percaya diri.
Tatapan Hiyuki
ragu-ragu.
“Subaru seorang diri dan
diasingkan oleh yang lain, tapi dia tidak pernah menaruh dendam pada orang
lain, bukan? Itu karena dia memiliki jiwa yang murni dan kuat. Bahkan setelah mendatangi
sebuah dunia yang berbeda, menghadapi masalah yang tidak biasa dia hadapi dan
menjumpai banyak kegagalan, dia masih bekerja tanpa kenal lelah. Dia bahkan berkawan
dengan Heinrich yang tidak membuat ikatan mental dengan siapa pun ‘kan? Subaru
berjuang keras walau tidak ada yang tahu, dan tidak menyerah meski tidak ada dorongan
untuk melakukannya. Kupikir sifatnya yang hati-hati dan baik hati itu bagus, meski
orang tidak bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkannya dari luar, tapi dia pasti
mempertimbangkan banyak hal. Kontras antara penampilan dan karakternya,
bukankah itu menggugah dan mendorong orang-orang untuk tahu tentang dirinya?”
Hiyuki tetap mengatupkan
bibir imutnya yang di sampingnya terdapat tahi lalat selama mendengarkan Ao.
Matanya yang jernih terlihat kaget, dengan air mata mengalir secara perlahan.
Ao tersenyum malu-malu.
“Dan hanya Cyan yang
tahu kalau Subaru datang dari dunia lain, bekerja keras, dan hal-hal lain
tentang dirinya. Hanya dia yang tahu seperti apa Subaru sebenarnya, dan berbagi
rahasia ini adalah suatu pengalaman yang menggetarkan hati dan terasa sangat
spesial, bukan?”
“Ya… Ya.”
Hiyuki tersedu dan
bergumam:
“Itu benar … jantungmu
akan berdegup cepat dan kamu akan merasa sangat bahagia.”
Dia terdengar sedikit
malu-malu, seolah dia mencoba untuk memastikan apa yang dirasakan Cyan.
“Benar ‘kan? Jadi enggak
aneh Cyan menyukai Subaru.”
Ao bertanya lewat
tatapannya: “‘Ya ‘kan?” Hiyuki menjawab dengan sorot mata gembira.
“Benar … Enggak aneh
sama sekali.”
“Selanjutnya, kita cuma
perlu menyajikan ini pada para pembaca, ayo kita pikirkan
bersama.”
Hiyuki menyeka air
matanya dengan jarinya yang pucat dan tersenyum.
“… Ya, aku akan
berjuang.”
Sakutarou dan Aeka duduk
di titik buta Ao dan Hiyuki, memerhatikan interaksi yang murni dan polos dari
keduanya.
“Sungguh masa muda yang
pahit-manis~”
“Ya, sebuah drama komedi
romantis.”
Setelah melihat Ao dan
Hiyuki di gerbang sekolah, mereka mengikuti keduanya sampai ke sini.
Membicarakan semua hal
apa adanya tampaknya memberikan kemajuan yang baik,
ceweknya Ao memang
benar-benar cantik, menyentuh seorang anak SMA itu terlalu cabul, mereka berdua
berbincang-bincang dengan pelan. Sebaliknya, Ao dan Hiyuki akan sesekali menundukkan
kepala malu-malu, tersipu dan tersenyum begitu mereka lanjut mengobrol.
“Begitulah,
Hinomiya-san.”
“Hmm?”
“Kamu mungkin tidak akan
percaya, tapi klimaks yang dramatis bisa terjadi di keseharian yang tampaknya
biasa ini. Berpapasan satu sama lain mungkin tidak tampak seperti sesuatu yang
sangat penting bagi orang-orang di sekitar, tapi mungkin itu akan menjadi suatu
kejadian penting bagi si pelaku itu sendiri. Waktu memikirkannya, kamu akan
merasa ahh, aku melakukan sesuatu yang sangat luar biasa …”
“Ya … Ya.”
Keduanya kembali
tersipu. Hiyuki membuka bibirnya yang di sampingnya terdapat sebuah tahi lalat
dan bergumam:
“Bahkan di kehidupan
sehari-hari, ada banyak … hal yang akan membuat jantungmu berdegup.”
Comments
Post a Comment