Gekkou Bab 2.
Hidup
Kecantikan yang begitu mempesona.
Sudah waktunya untuk keberangkatan peti mati. Klakson mobil jenazah terdengar keras dan sederhana, lantas mobil itu pun berangkat di depan mata orang-orang berbaju hitam.
Pelajaran
pertama adalah Bahasa Inggris, tapi aku tidak ingat apa-apa tentang itu. Aku
sedang merenungkan kecelakaan ayah Youko Tsukimori.
Aku mulai
memikirkan untuk mem-browsing beberapa situs berita di ponselku—tentu saja,
secara tersembunyi dari tatapan guruku—tapi aku memutuskan untuk tidak
melakukannya karena aku dikenal sebagai siswa yang berperilaku cukup baik. Aku
tetap memberi tahu diriku sendiri bahwa aku sedang menyisakan yang terbaik
untuk yang terakhir, dan menghabiskan satu jam menyakitkan seperti ini.
Persis saat
pelajaran Bahasa Inggris itu berakhir, aku bergegas keluar dari ruang kelas
dengan bersemangat untuk mencari detail-detail mengenai kecelakaan itu, dan aku
pun langsung mengarah ke ruang perpustakaan.
Di sana
seharusnya ada surat kabar hari ini, dan karena ada korban, pasti ada yang
memuat suatu artikel tentang itu.
Dan seperti
yang kuduga, ada suatu artikel yang berhubungan dengan kecelakaan tersebut. Aku
sedikit kecewa ketika aku mulai membaca; ada suatu artikel... tentu saja ada...
tapi artikel itu pendek dan ditulis dengan sangat ringkas di sudut halaman
berita lokal.
Namun, selagi
aku terus membaca, detak jantungku berdegup lebih cepat. Dalam artikel itu aku
menemukan beberapa kata kunci yang kucari.
“…dalam
perjalanan pulangnya saat melintasi jalan pegunungan…”
“…suatu
tikungan tajam dengan jarak pandang yang buruk…”
“…sudah ada
korban sebelumnya…”
“…kecepatannya
terlalu tinggi karena lereng…”
Ada beberapa
bagian artikel yang mengingatkanku pada “Resep Membunuh dengan Tiruan
Kecelakaan Lalu Lintas” seperti yang tercantum di dalam resep membunuh. Aku
langsung saja tertarik pada ide bahwa “Youko Tsukimori telah menjalankan
rencana pembunuhannya.”
…dan juga, tak
bisa menahan hawa dingin yang menjalari punggungku ketika membayangkan
kecelakaannya dengan adanya ide itu dalam kepalaku.
Yang sama
pentingnya adalah fakta-fakta tak tertulis.
Artikelnya
tidak akan sekecil ini jika Polisi telah mempertimbangkan kemungkinan
pembunuhan. Sama halnya denganku, aku harusnya tidak akan mengabaikan ini
sampai setibanya di sekolah.
Sudahkah aku
dengan fatal memikirkan sesuatu yang salah?
Rencana itu
tampak kekanak-kanakan pada pandangan pertama, seperti suatu trik tidak pasti
yang bergantung pada beberapa elemen tidak tetap.
Tapi,
mungkinkah dia menjalankan rencana itu justru karena adanya kecacatan?
Siapa yang
akan percaya dengan rencana pembunuhan sekonyol itu?
Siapa yang
akan melihat suatu rencana pembunuhan yang begitu mirip dengan kecelakaan
murni?
Dan seperti
yang ditunjukkan oleh fakta-fakta itu, polisi yakin bahwa itu hanyalah suatu
kecelakaan lalu lintas. Hal yang sama juga berlaku pada teman sekelasku; semua
orang menganggap Tsukimori adalah seorang gadis malang yang telah kehilangan
ayahnya dalam suatu kecelakaan.
Aku bertaruh,
bahkan korban itu sendiri tidak akan pernah bermimpi jika anak gadisnya adalah
seorang pembunuh.
Aku juga
tidak, jika aku tidak tahu resep membunuh itu.
Mungkin,
bahkan tidak akan ada masalah besar meskipun rencana itu gagal. Toh, itu
didasarkan pada keberuntungan; jika kau hanya melihat pada peluang terjadinya
insiden, dari awal pun, rencana itu harusnya sulit sekali berhasil.
Tetapi justru
aspek itulah inti resep membunuh tersebut.
Ada beberapa
rencana tercatat di dalamnya yang tergantung pada kondisi eksternal secara
acak. Jadi, tidakkah gadis itu itu mengharapkan bahwa rencana-rencananya
tersebut akan gagal sejak awal?
Target
Tsukimori adalah ayahnya—seseorang yang selalu dekat dengannya dan, karena itu,
memberikan dia peluang sangat besar untuk membunuhnya. Itu mungkin suatu
pernyataan yang kasar, tapi kau bisa katakan bahwa “bahkan tembakan buruk akan
mencapai sasaran jika dicoba terus-menerus.”
Tsukimori
tentunya tidak berniat untuk melaksanakannya dengan secepat mungkin. Dia hanya
ingin ayahnya mati cepat atau lambat. Aku pikir, itulah yang dia harapkan.
Namun, dia
tidak ingin tertangkap karena itu.
Aku sudah
menyadari sejak saat aku pertama kali membaca resep tersebut, bahwa rencananya
utamanya bukan dirancang untuk membunuh, melainkan untuk tetap hidup dengan
normal setelah menjalankannya.
Jika demikian,
hasilnya membuatnya jelas. Tsukimori telah melaksanakannya—
—pembunuhan yang sempurna.
Aku hanya bisa berpikir demikian.
Aku hanya bisa berpikir demikian.
Tentu saja,
ini semua hanyalah hasil pemikiranku dan terlalu tak berdasar untuk menjadi
pertimbangan yang pasti.
Aku
mengenalinya tidak lebih baik daripada teman-teman sekelasku. Ketika
membicarakan tentang dirinya, Kamogawa sebenarnya jauh lebih tahu daripada aku.
Pemikiran ini hanyalah suatu perluasan dari hobiku, yaitu “bayangkan dan
nikmati”, dan bukan sesuatu yang tulus seperti “memecahkan suatu kasus”.
Namun, entah
kenapa, aku tak bisa menganggap analisisku ini sebagai ilusi murahan, dan
akupun tidak mau berhenti.
Rapat kelas setelah hari itu tentang kematian ayahnya Tsukimori.
Rapat kelas setelah hari itu tentang kematian ayahnya Tsukimori.
“Aku pikir
semuanya tahu tentang kepergian ayahnya Tsukimori. Pemakaman diadakan besok
sore, dan aku akan menghadirinya. Dengan demikian, pelajaran kelima, biologi,
kalian belajar sendiri.”
Ketika kata
“belajar sendiri” lepas dari mulut guru kelas kami, Ukai, gelombang kegembiraan
serentak membludak dari teman-teman sekelasku.
“Hei, itu
disebut tak bijaksana, kalian tahu? Berempatilah sedikit kepada Tsukimori yang
baru saja kehilangan salah satu orang tuanya!” Ukai memarahi kami—bukan dengan
nada yang sangat keras, tapi ruang kelas menjadi sunyi. Itu adalah keheningan
yang berat.
Tampaknya, Pak
Guru menutup rapat ini dengan membuat para murid terdiam dan merenung secara
tak terduga.
“Selain itu,
petugas kelas diminta untuk datang ke pemakaman sebagai wakil. Aku mengandalkan
kalian. Baik, rapat kelas ditutup.”
Tepat ketika
Ukai hendak menyelesaikan: “Pak Guru!” Usami mengangkat tangannya, “Petugas
kelas perempuannya adalah Youko sendiri.”
“Aah, benar
juga. Kalau begitu, Usami, boleh aku memintamu?”
“Ah, ya.”
“Yang lain
adalah kau, Nonomiya, kan? Aku harap kau berada di sana.”
“Iya.”
Aku mengangguk
dengan tenang dan diam-diam menyeringai dalam hati.
Justru itulah
yang aku harapkan. Aku bahkan tidak bermimpi bahwa aku akan punya kesempatan
untuk menghadiri pemakaman secara resmi seperti ini.
Sebenarnya,
setelah membaca artikel di perpustakaan, aku telah mempertimbangkan tentang
bagaimana cara pergi ke pemakaman, karena aku ingin memperoleh informasi lebih
lanjut tentang Tsukimori. Sementara aku telah memperhitungkan bahwa upacara itu
akan berada di luar jangkauan, aku berpikir bahwa aku setidaknya bisa
menghadiri acara berjaga semalaman untuk mengenang almarhum.
“Hanya kalian
berdua?! Tidak adil!”
Setelah
memastikan bahwa Ukai telah pergi, Kamogawa melototi pada Usami dan aku secara
bergantian.
“Siapakah
orang tidak bertanggung jawab yang menunjukku sebagai petugas kelas pada awal
semester?”
Meskipun
begitu, hanya sekali ini aku berterima kasih pada kepribadiannya yang tidak
bertanggung jawab.
“Entahlah? Aku
adalah tipe pria yang tidak melihat ke belakang pada hal yang sudah berlalu.”
“Ketidaktanggungjawabanmu
patut menerima kekaguman. Dalam artian buruk.”
“Itu adalah
suatu kehormatan!!”
Aku hanya bisa
tersenyum kecut pada jawaban sombong Kamogawa.
“Kamogawa,
kaulah yang terburuk! Apa kau tidak mendengar Ukai-sensei? Kau tak bijaksana…”
Usami mencibir dengan serius ketika memperhatikan sikap santainya.
“Ini salah
paham, Usami. Aku hanya khawatir tentang teman kelas yang telah kehilangan
orang berharga dalam keluarganya, tau?” Kamogawa meyakinkan kami dengan
ekspresi lemah lembut.
“Itu bohong.
Jelas-jelas kau hanya ingin untuk menemui Youko-san karena motif
tersembunyimu!” bentak Usami dengan tegas.
“Tidak, bodoh!
Aku takkan pernah punya motif tersembunyi! Aku hanya berharap untuk menenangkan
Tsukimori di saat-saat sulit ini,” dia menambahkan dengan segera, “Yah, tapi
tentu saja, aku tidak akan menolak jika dia jatuh cinta padaku ketika aku
melakukan itu, heh!”
“Kau
benar-benar yang terburuk, Kamogawa!” Usami tampak benar-benar tercengang.
Seperti
aku : “Kamogawa, pasang telingamu. Itulah hal yang kita sebut dengan motif
tersembunyi.”
“Ahaa, begitu
yah! Kau memang tahu segalanya, ya?” Kamogawa mengelak pernyataanku dengan
pura-pura menjadi bodoh. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan Kamogawa.
“...aku harap
kau tidak mempunyai motif tersembunyi juga, Nonomiya?”
Usami
menyadari bahwa Kamogawa sudah tak punya lagi harapan, lantas menetapkanku
sebagai tersangka baru.
“Tentu saja
tidak. Aku pergi ke upacara pemakaman karena aku adalah petugas kelas, bukan
karena kehendakku sendiri,” aku menunjukkan senyum tak berdaya. “Juga, aku
tidak suka hawa suram di pemakaman. Sejujurnya, aku lebih suka tidak pergi ke
sana.”
“Benarkan? Aku
tahu kau tidak seperti Kamogawa!”
Usami
menyorotkan senyum cemerlang seakan-akan dirinya sendiri dipuji.
“Sikapmu
terhadapku dan Nonomiya sangatlah berbeda! Aku merasa mendapatkan diskriminasi!
Jika aku dari Amerika, aku akan membawamu ke pengadilan sekarang juga!”
“Tapi kau
adalah orang Jepang dari kepala sampai kaki. Dan itulah perbedaan pada
perilakumu sehari-hari yang membedakanmu dari Nonomiya. Salahmu sendiri?”
Sementara dari
sudut pandang sifat yang benar-benar berbeda, aku mempunyai motif tersembunyi
juga. Sejujurnya, aku suka pemakaman. Terutama karena kau bisa menyelinap untuk
mengintip semua jenis manusia.
Aku sudah tak
sabar untuk menghadiri pemakaman esok hari dengan perasaan sama seperti pergi
ke konser artis favoritku.
Setelah mengakhiri pelajaran ketiga, Usami dan aku dibawa ke rumah duka oleh
mobil Ukai. Tidak ada segumpal awan pun pada langit biru yang luas di luar
jendela.
Selama naik
mobil, aku bisa mengumpulkan beberapa rincian informasi tentang lingkungan
keluarga Tsukimori dari Ukai.
Keluarganya
terdiri dari kedua orang tua dan dia sendiri, yaitu sebagai anak tunggal. Ini
sebenarnya cukup mengagetkan untukku, karena perlaku dewasanya telah menuntunku
untuk percaya bahwa dia mempunyai seseorang yang harus dijaga, misalnya adik.
Rupanya,
ayahnya menjadi kepala suatu perusahaan desain konstruksi. Karena ayahku
sendiri bekerja di suatu bank dekat perusahaan itu, aku pun berencana
menanyainya tentang hal itu sesudahnya.
Segera setelah
kami sampai di rumah duka dan melalui beberapa formalitas di pintu masuk, kami
melanjutkan ke aula yang ditandai dengan tanda baca “Tsukimori.”
Banyak
karangan bunga yang sedang dibuat, dan berbaris sampai ke luar aula.
Seolah-olah, aku sedang menonton adegan video yang telah dipasangi mesin game
baru.
Suram.......
aula luas itu penuh sesak dengan orang-orang yang mengenakan pakaian berkabung.
Altar ini tampak jauh lebih luar biasa bagiku, daripada pemakaman terakhir yang
pernah kuhadiri.
Kami duduk di
kursi yang telah disiapkan untuk petugas umum dan menunggu dengan sabar
jalannya awal upacara.
Mataku mencari
sosok Tsukimori dan menemukan bahwa dia sedang duduk di dekat altar, di mana
keluarga berkumpul. Dia menghibur wanita di sampingnya yang sedang menyandarkan
kepalanya, dia menopang dan membelai punggungnya.
Dari
penampilannya, kukira itu adalah ibunya. Dia adalah seorang wanita cantik yang
mirip sepertiTsukimori.
Bagaimanapun
juga, aku terkejut ketika melihat betapa tenang ekspresi wajah Tsukimori.
Saat itulah
aku ingat bahwa aku pernah menanyai Usami, mengapa semua gadis-gadis memanggil
Tsukimori dengan mengimbuhkan “-san” pada namanya. Jawabannya adalah:
“Youko-san mungkin berusia sama seperti kita, tapi dia tidak seperti kelihatannya,
dan berperilaku sangat dewasa? Jadi pada dasarnya, seseorang memanggilnya
Youko-san, dan seperti itulah semuanya bermula.”
Tentu saja.
Aku hampir tak bisa membedakan siapa ibu dan siapa anak.
“...Aku turut
berduka untuk Youko-san.”
Aku melihat ke
sampingku dan mendapati Usami dengan mata berlinang air mata. Dia bukan saja
seorang gadis yang terkesan: “lahir untuk menjadi adik perempuan,” tapi ia
benar-benar memiliki seorang kakak laki-laki.
“Ayolah,
jangan menangis,” kataku sambil mengeluarkan sapu tangan.
“Lihat saja,
bagaimana dia tetap tenang meskipun kenyataan yang dihadapinya begitu pahit!
Andaikan saja aku berada di posisinya saat ini, aku takkan bisa...”
Usami meraih
sapu tangan dari tanganku dan mengusap matanya dengan itu. Tentu saja, sebentar
lagi Usami mungkin akan menangis terisak-isak.
Tapi aku
enggan menyetujui bahwa Tsukimori sedang berkabung karena kematian ayahnya.
Jika dugaanku
tentang Tsukimori yang menginginkan kematian ayahnya adalah benar... maka dia
saat ini sedang bergembira, bukannya berdukacita, karena pemakaman ini
sebenarnya adalah suatu acara untuk merayakan keberhasilan rencana
pembunuhannya.
Seiring waktu
berlalu, kursi di aula berangsur-angsur penuh dan sebelum aku tahu, keseluruhan
ruangan sudah bercatkan hitam.
Dari segala
arah, aku bisa mendengar bisikan diperlemah sehubungan dengan suasana khidmat
yang menyertai rumah duka. Aku memutuskan untuk mendengar dengan penuh
perhatian pada obrolan itu. Aku melakukan itu untuk menghabiskan waktu
sekaligus mengumpulkan informasi.
Aku fokus pada
percakapan dua wanita yang dengan lembut berbicara pada deret tepat di depanku.
Andaikan saja aku bisa mencatatnya, aku akan melakukan itu dengan senang hati!
Obrolan mereka
terganggu di tengah jalan. Seandainya aku bisa mendengarkan itu sedikit lebih
lama, tapi apa boleh buat, karena upacara telah dimulai.
Sutra yang
dilantunkan oleh pendeta terdengar jelas di seluruh lorong.
Suasana
khidmat membuat pikiranku menenang, hingga menghasilkan lingkungan yang
sempurna untuk memanjakan diri dan pemikiranku. Aku memilih untuk “memutar
ulang” percakapan yang baru saja kudengar dalam pikiranku, dan mengurutkan
informasi-informasi yang telah kudapat sampai sejauh ini.
Reputasi
ayahnya sangat baik.
Pertama,
mereka berbicara tentang penampilannya, itu tidak terlalu mengejutkan,
mengingat dia adalah ayahnya Tsukimori. Sekilas, gambar di altar menunjukkan
bahwa dia terlihat seperti seorang aktor, dan membuatku mengerti kenapa ia
populer bagi mereka.
Lalu, mereka
melanjutkan dengan keadaan perusahaan dan ekonomi keluarganya. Walaupun
usahanya hanyalah UKM (Usaha Kecil dan Menengah), bisnis berjalan dengan lancar
dan standar hidup pribadi mereka cukup tinggi juga. Ternyata, rumah mereka baru
dibangun dua tahun lalu, dengan desain yang kompleks. Yah, bagaimanapun juga
dia adalah direktur bisnis desain konstruksi.
Terakhir,
mereka berbicara tentang keluarganya itu sendiri. Baik ayah dan ibu, keduanya
cukup ramah dan berhubungan baik dengan tetangga-tetangga mereka. Para wanita
itu juga mengangkat subjek tentang Tsukimori. Dia dinilai sebagai seorang putri
cantik dengan sikap yang baik.
Aku melepas
nafas panjang.
Tak dapat
disangkal, aku merasa senang bahwa aku bisa “ikut campur” pada informasi baru,
tapi tidak ada yang bisa “membakar” fantasiku. Surat kabar itu membuatku
terlalu bersemangat dan menyebabkan diriku memiliki harapan yang terlalu tinggi
pada pemakaman ini.
Aku bernafas
di udara aula yang sunyi.
Sembari
menyesuaikan diri bersama-sama, aku memutuskan untuk “membenamkan” diriku lebih
dalam pada suasana tenang aula ini. Bagaimanapun juga, ini adalah pemakaman
yang “menjanjikan”!! Akan mubazir jika aku tidak mengambil keuntungan dari
kesempatan ini, dan memata-matai suatu hubungan antar manusia.
Tidak perlu
terburu-buru. Semakin lama game kami ini berlangsung, semakin baik.
Ketika
kualihkan pandanganku menuju area dekat altar, aku melihat bahwa ibu Tsukimori
tiba-tiba mulai menangis.
Sepertinya,
ratapannya merupakan alasan mengapa para wanita di sekelilingku mulai ikut
terisak-isak. Ngomong-ngomong, Usami masih menangis juga.
Namun, masih
saja tidak ada air mata di mata Tsukimori.
Tatapannya
begitu menawan, dan terpaku di altar.
Karena pakaian
berkabung hitam semakin membuat kulitnya yang putih terlihat cerah, seolah-olah
tubuh Tsukimori kelihatan bercahaya. Tsukimori yang terdiam sangatlah mencolok,
lebih dari orang yang meninggal itu sendiri, lebih dari altar yang penuh hiasan,
lebih dari ibu yang termehek-mehek, atau lebih dari orang lain yang berada di
dalam aula.
Bagiku, Tsukimori tampak seperti bulan di malam hari.
Bagiku, Tsukimori tampak seperti bulan di malam hari.
Kecantikan yang begitu mempesona.
Sudah waktunya untuk keberangkatan peti mati. Klakson mobil jenazah terdengar keras dan sederhana, lantas mobil itu pun berangkat di depan mata orang-orang berbaju hitam.
Kerabat
almarhum, termasuk Tsukimori, meninggalkan aula untuk sementara, dan menuju ke
krematorium*. Kami bertiga memutuskan bahwa kami akan menunggu dia kembali,
sehingga kami bisa setidaknya bertukar beberapa kata dengannya.
[Krematorium
adalah ruangan tempat mayat dikremasi atau dibakar. Kamus Oxford.]
“Kalian berdua
pasti lapar, kan? Biarkan aku mentraktir kalian untuk makan siang hari ini.
Tapi rahasiakan ini pada yang lainnya, oke?”
“Hore! Kau
dengar ini, Nonomiya?” Usami bersukacita tanpa menahan diri sedikit pun. Pasti
inilah salah satu perubahan suasana hatinya yang terkenal itu.
Yah, sebagai
orang yang menyukai kata “rahasia”, aku pun menerima tawarannya dengan senang
hati.
Beberapa saat
kemudian, kami menyeruput ramen di toko dekat rumah duka.
“—Kalian
berdua mungkin tidak cukup menyadari hal itu, tapi kematian adalah bagian tak
terhindarkan dari kehidupan,” kata Ukai tiba-tiba, kacamatanya berkabut oleh
uap supnya. “Mengatakan ini pada Tsukimori mungkin adalah suatu hal yang tidak
bijaksana, tapi aku masih ingin agar kalian menghargai kesan sedih yang jarang
terjadi ini, yaitu ‘Kepergian ayah seorang teman’.”
Usami
mengangguk dengan sungguh-sungguh, mulutnya diisi dengan mi, dan itu membuatnya
terlihat seperti tupai.
“Memang. Aku
diingatkan bahwa ada batas untuk kehidupan kita—dan itulah yang membuat hidup
seseorang menjadi berharga.” Karena sedang bersama guru kelasku, aku memilih
kata-kata dengan hati-hati saat menyampaikan kesan.
“Luar biasa,
Nonomiya,” Usami memujiku dengan mata melebar setelah menelan minya.
“Tentu saja.
Tidak sepertimu, aku tidak menangis selama jalannya upacara.”
“A-Aku punya
banyak pemikiran yang melintasi kepalaku, juga!”
“Misalnya?”
“Eh? Ah, um,
aku kasihan padanya...”
“Terus?”
“…A-aku
kasihan padanya?”
“Aku sudah
dengar itu.”
“T-Tidak,
jangan salah! Sebenarnya aku sudah berpikir beberapa hal lebih banyak dari ini,
hanya saja aku tidak bisa mengungkapkannya dalam bentuk perkataan sepertimu!”
Ukai tertawa
mendengar percakapan kami.
“Nah, Nah,
mari kita bereskan ini dengan kesimpulan bahwa kalian berdua memiliki pemikiran
masing-masing, oke? Nonomiya lebih analitis dan Usami lebih emosional.” Ukai
melerai dan memecahkannya sebagai seorang guru.
–Hidup adalah
suatu hal yang menarik karena ada batasnya. Kau merasa “hidup” karena kau tidak
tahu kapan nyawamu berakhir.
Sepintas, itu
mungkin tampak bertentangan dengan kematian, kebalikan dari kehidupan,
menyoroti nilai kehidupan, tetapi sebenarnya masuk akal. Aku bahkan
membayangkan gagasan bahwa kebanyakan hal di dunia ini bisa bekerja dengan cara
yang sama.
Pada saat itu,
aku terpesona oleh resep pembunuhan yang berisiko—maka, aku pasti sedang hidup.
Kami menyambut Tsukimori ketika ia kembali ke aula.
Kami menyambut Tsukimori ketika ia kembali ke aula.
Awalnya, Ukai
menyampaikan simpatinya yang terdalam sebelum meyakinkan bahwa: “Jangan
khawatir tentang sekolah. Luangkan waktumu dan kembali ketika kau merasa
nyaman.”
“Terima kasih
banyak atas perhatiannya. Namun, saya sudah berpikir untuk bersekolah dengan
normal mulai lusa karena saya pikir itu akan membantu diriku untuk mengalihkan
kesedihan.” Dia tersenyum lemah. “... Saya sedikit cemas tentang meninggalkan
ibuku sendirian di rumah, karena dia terpukul sangat keras, tapi saudaranya dan
saudara ayahku, keduanya meyakinkanku bahwa mereka akan mendukung ibu untuk
sementara waktu.”
Tsukimori
tampak kelelahan. Kelihatannya, dia tidak tidur dengan baik.
Aku mengetahui
bahwa tindakannya cukup bijaksana, aku pun hanya bisa berpikir bahwa wajah
putihnya sekarang semakin mencolok karena gaun berkabungnya, dan wajahnya
tampak semakin sensual daripada ketika di sekolah.
“Begitu yah.
Bagaimanapun juga, pastikan untuk tidak memaksakan diri dan jangan sungkan
untuk berkonsultasi padaku kapan saja.” Ukai menepuk bahunya.
“Terima kasih sudah
datang juga, Chizuru, Nonomiya-kun.”
“Semua orang
di kelas khawatir tentangmu.”
“Aku merasa
senang.”
“Youko-san…”
Lagi-lagiUsami
hampir menangis, dia rupanya tersentuh oleh perilaku Tsukimori yang bijak.
Aku menyodok
kepalanya dan berkata: “Bukankah seharusnya kau tenang sedikit? Kau ingin
mengungkapkan belasungkawamu dengan benar, kan?”
“…Yah,”
Usami
mengangguk sambil berlinang air mata.
“Um… Youko-san, itu akan sulit, tapi ...
i-itu awkan swulit, tapi…”
Usami mulai
menangis di tengah kalimat karena dia tidak tahan lagi.
Tsukimori
tidak ragu-ragu untuk merangkul kepala bulat Usami dan menghiburnya, “Terima
kasih, Chizuru. Aku sangat senang karena kau begitu mengkhawatirkan aku.”
Sembari membelai kepalanya layaknya seorang kakak yang penuh kasih sayang, ia
pun bergumam, “…Aku pikir, kau dapat menganggap dirimu bahagia jika kau
memiliki seseorang yang khawatir tentangmu.” Setelah itu, dia membisikkan
terima kasih untuk Usami lagi dan lagi.
Kali ini, gadis
itu terlihat begitu lembut dan rapuh. Bagiku..... saat ini...... dia sama
sekali tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja merencanakan suatu
pembunuhan
Comments
Post a Comment