Gekkou Bab 6. Mimpi Buruk yang Indah
Di ruang staf
setelah jam tutup.
"Aku
ingin kau mengantarku pulang," pinta Tsukimori setelah berganti pakain ke
seragam sekolahnya.
"Mengantarmu
pulang...?" Aku mengulanginya secara hati-hati seperti burung beo.
"Kau
tahu, aku selalu merasakan tatapan seseorang padaku dalam perjalanan dari kafe
ke stasiun kereta..."
Dia menggigil.
"Bukankah
kau hanya menjadi paranoid?" Aku ingin mengatakan itu pada awalnya, tapi
aku mempertimbangkan kembali karena hal itu sangat mungkin dalam kasusnya. Lagi
pula, dia tidak diragukan lagi menarik perhatian. Sebaliknya, aku menyarankan,
"Kalau begitu kau harus berkonsultasi pada polisi, bukannya aku."
"Lemah,
Nonomiya! Dasar lemah! Ayo, jadilah seorang pria dan lindungi dia!"
Mirai-san,
yang rupanya mengikuti percakapan kami, menggebrak meja didekatnya. Staf
didekatnya berbalik, terkejut, dan melihat apa yang sedang terjadi.
"Aku
tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi aku tidak memiliki keyakinan pada
kekuatanku. Bahkan jika dia akan diserang oleh penguntit, paling-paling aku
hanya bisa pasrah dipukuli."
"Kau
tidak membual sama sekali! Dan jika kau seorang pria, kau harus berani melawan
semua, bahkan jika kau harus mempertaruhkan nyawamu!"
"Aku
berpikir bahwa kau bisa menjadi pengawal yang lebih baik dariku,
Mirai-san."
"Bodoh!
Aku seorang wanita muda yang lembut, kau tahu? Aku juga perlu dilindungi."
Aku mengangkat
bahuku dengan tinggi dan melihat wajah-wajah staf yang lain. Mereka hanya bisa
menjawab tatapanku dengan senyum miring karena mereka takut, tapi pemikiran
mereka sama denganku.
"Sangat
lucu, memang."
"Heh,
apakah wajahmu terlihat seperti kau ingin mengeluh? Nonomiya?"
Mirai-san
mendekat dengan mata melotot.
"Mirai-san,
biarlah. Jika Nonomiya-kun menolak begitu keras, maka apa boleh buat. Aku akan
berusaha yang terbaik untuk pulang ke rumah sendirian ...," Tsukimori
mendesah dan berjalan dengan susah payah menuju pintu masuk.
Tepat sebelum
dia menutup pintu—
"..................haah..."
—Dia mengeluarkan suatu desahan yang terdengar di seluruh ruang staf.
Semua tatapan
terfokus padaku seketika, masing-masing dengan tatapan mencela. Memang, seorang
teman dekat bisa menjadi musuh dekat.
"Antar
dia pulang, Nonomiya-kun," kata manajer pada akhirnya, berpihak dengan
Tsukimori seperti yang lain.
Didukung oleh
ini, seluruh staf mulai mengkritikku. Aku diserang dari segala sisi. Kalah
jumlah. Aku benar-benar terlihat seolah menjadi orang jahat.
"Baik,
baik, aku mengerti! Aku akan mengantarnya pulang, oke?" Aku mengerang dan
melompat keluar dari ruang staf yang tidak nyaman untuk mengejar Tsukimori.
Yang
mengejutkan, aku dapat menyusulnya segera setelah meninggalkan café.
Tsukimori
bersandar pada tiang telepon di depan kafe, menunggu di bawah lampu jalan
seperti “ratu malam”.
"Aku tahu
kau akan datang."
Dia melihatku
dan tersenyum seperti bunga mekar—mengungkapkan kepadaku bahwa tindakanku
bukanlah hal yang tidak terduga.
Aku menatap
langit malam untuk menekan emosi mendidihku. Bulan sabit tersenyum padaku malam
ini.
"Kau
tidak adil."
"Apa
maksudmu?"
"Apa yang
kau rencanakan?"
"Itu
tidak sopan, kau tahu? Sebagai seorang gadis, aku sangat takut untuk berjalan
sendirian di malam hari, kau tahu?"
"Lalu
kenapa kau tidak meminta ibumu menjemputmu, atau meminta orang lain di antara
staf untuk mengantarmu pulang, atau menghubungi polisi?"
"Seperti
biasa, kau tampaknya tidak tahu bagaimana hati seorang gadis bekerja. Aku ingin
kau mengantarku pulang."
Dia tertawa
seolah-olah dia bersenandung dan mengaikatkan lengannya pada lenganku.
"Shampoo?" Aku bertanya-tanya dalam hati ketika aku bisa merasakan
aroma manis bunga darinya.
"Ayo."
Dari
pengalamanku sejauh ini yang telah kupelajari, seseorang tidak bisa lepas
dengan mudah ketika Tsukimori telah memimpin, tetapi juga ada fakta bahwa aku,
yang hanya bisa dengan enggan menerima arahannya, pasti tidak punya sifat
penurut.
Oleh karena itu,
ada jarak beberapa meter di mana lenganku menekan dadanya, dan itu adalah
penghinaan paling besar bagiku.
Meskipun
begitu, aku berada dalam keadaan tanpa harapan, karena sesaat aku berpikir
seperti itu. Walaupun Youko Tsukimori mungkin adalah wanita paling buruk di
muka bumi, dada lembutnya tidaklah bersalah.
"Aku
tidak akan lari, jadi tolong hentikan ini," aku memohon padanya dengan
suatu desahan, dan akhirnya dia melepaskan lengannya.
"Sayang
sekali. Ketika akhirnya kita telah menciptakan suasana yang bagus."
Tsukimori
cemberut, tapi langkahnya tetap ringan.
Ketika melihat
rambut hitam menari di belakangnya, aku mendesah keras.
Tentu saja,
tapi langkah kakiku memang berat.
Kami menaiki kereta yang menuju ke luar kota dan melewati empat stasiun sambil
merasakan guncangan kereta. Ketika kami turun di tempat tujuan, kami berada di
zona perumahan pinggiran kota.
"Aku
tinggal di sana. Beberapa menit berjalan kaki dari sini."
Tsukimori
menunjuk suatu bukit. Aku segera menduga bahwa kita akan kelelahan mendakinya,
karena ada lereng dan tangga yang bisa terlihat di sana. Pemandangan itu
sendiri telah membuatku putus asa.
"Jangan
cemberut seperti itu. Berpacaran denganku berarti kau harus melewati ini
sepanjang waktu, kau tahu?"
"Aku
merasa kasihan dengan pacarmu."
"Jangan
khawatir. Kau akan terbiasa dengan itu dalam waktu singkat."
Tsukimori
berjalan pergi tanpa peduli tentang semangatku yang menurun. "Lihat,
bintang-bintang malam ini indah," katanya, terdengar santai.
Karena aku
tidak ingin berbalik pulang setelah datang sejauh ini, aku mengikutinya dengan
enggan.
Itu adalah
daerah perumahan yang tenang dan cukup "berkelas".
Lampu jalan
berada dalam jarak yang cukup dekat, tapi tetap terasa gelap mencekam di
sekitar kami. Aku harus mengakui bahwa menggigilnya Tsukimori yang ia
perlihatkan sebelumnya mungkin lebih dari sekedar akting.
Seperti yang
kuduga, aku benar-benar kelelahan pada saat kami berhenti. Tsukimori, yang
sudah terbiasa, tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan, membuatnya terlihat
lebih menjengkelkan dari biasanya bagiku.
"Kita
sampai," kata Tsukimori dan berdiri di depan pintu masuk.
Suatu bangunan
putih besar. Mungkin lebih tepat disebut istilah "rumah besar".
Karena ayahnya
adalah kepala suatu perusahaan desain konstruksi, itu adalah desain yang cukup
mewah, dibangun dari sekumpulan tetrahedron* yang secara sistematis disatukan,
memberikan nuansa geometris secara keseluruhan. Aku akan mengangguk paham jika
seseorang mengatakan kepadaku bahwa itu adalah rumah seorang fisikawan.
[Tetrahedron
adalah suatu bangun terbuat dari benda padat yang memiliki 4 bentuk segitiga di
muka. Kamus Oxford.]
Tidak ada
cahaya di dalam, mungkin ibunya sedang tidak di tempat.
Ketika aku
dengan penasaran memperhatikan rumahnya, Tsukimori menarik lenganku.
"Mumpung
kau di sini, bagaimana jika kau masuk ke dalam?"
Ajakannya
sangat mencurigakan dan pasti meragukan.
Aku tahu, akan
merepotkan jika seseorang mengetahui bahwa aku berkunjung ke sini. Terlebih
lagi, jika orang-orang di sekolah mengetahui bahwa tidak ada orang lain yang
berada di dalam rumah pada saat itu, rumor yang muncul mungkin akan melebihi
imajinasiku. Terutama bagi Kamogawa... Aku bahkan tidak ingin berpikir tentang
hal itu.
Sekarang aku
yakin semua adalah aktingya untuk membuatku masuk ke dalam rumah. Ini tentu
akan memojokkanku jika rencananya berhasil.
"Ide
bagus. Aku cukup haus, bisa aku meminta minum?"
Meskipun
demikian, aku menerima tawarannya karena itu adalah kesempatan yang sangat
langka.
Meskipun aku
telah, tentu saja, menunda untuk mencurigainya karena kurangnya bukti, aku
tidak berencana untuk berhenti. Kecurigaan karena resep membunuh masih membara
dalam pikiranku.
Awalnya aku
menduga bahwa kemajuan baru akan datang jika bergaul dengannya, dan mengetahui
lebih banyak tentangnya, tapi semua usahaku tetaplah sia-sia. Semakin aku berhubungan
dengannya, semakin aku tidak mengerti sifat asli dia. Aku tidak tahu bagaimana
membedakan antara lelucon dan pernyataan serius. Dengan kata lain, dia selicin
belut.
Oleh karena
itu, aku telah sampai pada kesimpulan bahwa mungkin lebih baik mendekati
ibunya. Dari apa yang aku lihat di pemakaman, ibunya tidak serumit Tsukimori.
Seharusnya tidak perlu menyelidiki Tsukimori untuk mencari tahu tentang
hubungan dengan ayahnya.
Aku mengikuti
Tsukimori ke dalam rumah. Tidak ada suara yang terdengar dari dalam.
Ketika melepas
sepatuku di pintu masuk, aku bertanya: "Jam berapa ibumu pulang?"
"Apakah
kau menyukai wanita yang lebih tua?" goda Tsukimori sambil tertawa.
"Setidaknya
lebih baik darimu," jawabku-dengan wajah sungguh-sungguh, sebagai
percobaan.
"Itu
mengejutkan, bahkan jika itu dimaksudkan sebagai lelucon."
Tsukimori
menggeleng saat mengambil beberapa sandal untuk kami.
Tampaknya aku
telah “memimpin”.
"Ibuku
telah pergi keluar dan akan pulang telat. Hari ini adalah kesempatanmu!"
"...
kesempatan macam apa itu, ya?"
Aku mendorong
kepalanya menjauh, karena dia semakin mendekat untuk melirik wajahku.
Dan Tsukimori
kembali “memimpin”.
"Aku
hanya ingin memperkenalkan diri padanya selagi aku di sini."
"Oh,
terdengar bagus bagiku. Apakah kau akhirnya menyukaiku?"
"Aku
tidak mengerti bagaimana kau mengartikan kata-kataku, tapi biarkan aku
meyakinkanmu bahwa kau salah."
Aku
mengikutinya ke ruang tamu.
"Aku akan
membawa sesuatu untuk diminum. Silahkan duduk di sofa."
Tsukimori
menghilang ke ruang sebelah, dan menyalakan lampu di sana. Setengah dari sistem
dapur yang lengkap memasuki pandaganku.
Aku membiarkan
pandanganku menyapu seluruh ruang tamu.
Seperti
kelihatannya di luar, kediaman Tsukimori juga tampak cukup baik dari dalam: ada
sofa kulit dengan kilauan kuning, dan meja kaca berbentuk aneh yang bahkan
seorang amatir bisa mengidentifikasi sebagai meja desainer. Selain itu, aku
menemukan suatu LCD TV yang sangat besar dan peralatan audio mewah. Rumor itu
benar: mereka adalah keluarga yang cukup kaya.
Bagaimanapun
juga, aku kecewa karena tidak ada yang spesial selain itu, misalnya suatu benda
yang akan menjadi petunjuk hubungan Tsukimori dengan ayahnya.
Yah, adalah
hal yang wajar jika tidak ada benda yang terlalu aneh ditempatkan di ruang
tamu, di mana banyak orang masuk dan keluar. Sayangnya, meskipun begitu, aku
juga tidak memiliki alasan yang memperbolehkan diriku sendiri melihat kamar
lain. Aku tidak bisa melawan perasaan, bahwa aku telah kehilangan kesempatan
langka untuk masuk ke dalam rumahnya.
Aku masih
terhanyut dalam kekecewaan ketika Tsukimori kembali dengan nampan berisi minuman.
"Aku
harap kau menyukai teh hitam?"
"Sempurna."
Aku berniat
untuk pergi setelah mengosongkan cangkirku. Tidak ada gunanya tinggal terlalu
lama. Namun, Tsukimori rupanya membaca niatku: "Anggap rumah sendiri!
Besok adalah hari Sabtu, jadi tidak perlu terburu-buru, benar?"
"Apa kau
gila? Aku seorang pria, kau tahu?"
Seolah membuat
dirinya sebagai pelampiasan kekecewaanku, kata-kataku menjadi sedikit keras.
Aku menyadari bahwa aku bertindak cukup egois, sebetulnya dia tidak bisa
disalahkan karena aku berharap terlalu tinggi.
"Itu
malah mendukung argumenku! Seorang laki-laki harusnya tidak pernah meninggalkan
seorang gadis yang cemas sendirian."
"Tapi ini
adalah rumahmu sendiri."
"Apakah
kau percaya penguntit peduli rintangan seperti itu?"
"Bagaimana
aku tahu cara penguntit berpikir? Lagi pula, cerita itu terdengar cukup
mencurigakan bagiku."
"Sayang
sekali," Tsukimori mendesah pelan. "Kau benar-benar tidak
membiarkanku memiliki kesempatan, Nonomiya-kun."
"Itu
seharusnya kalimatku. Kau memaksaku sepanjang waktu!" Aku segera menolak.
Aku tidak dapat menerima bahwa lawanku mendahuluiku untuk mengatakan apa yang
telah terus-menerus berada dalam pikiranku.
Sesaat
kemudian, dia berbisik dengan suara yang terlalu keras untuk suatu monolog:
"... Aku bertanya-tanya, apakah aku harus berkonsultasi dengan Mirai-san
tentang Nonomiya-kun ..."
Aku hampir
menyemprotkan teh hitamku.
"...
apakah itu ancaman?"
Aku menatap
dengan mata benci pada Tsukimori.
"Ini
tidak dapat dihindari. Aku hanya ingin menerima nasihat baik dari seorang
wanita yang lebih tua seperti Mirai-san. Tidak ada yang aneh tentang hal itu,
ya kan?"
Tsukimori
menutupi setengah wajahnya di bawah bantal seolah-olah untuk menghalangi tatapanku.
"Berkonsultasi
dengan Mirai-san tentang masalah cinta, seperti bertanya pada setan tentang
jalan mana yang menuju ke surga."
"Itu
lelucon yang bagus."
Tsukimori
membenamkan hidungnya di bantal dan tertawa.
"Ini
bukan hal yang patut ditertawakan. Ini masalah paling serius daripada hidup dan
mati!"
Aku hampir
sakit kepala ketika membayangkan Mirai-san dengan riang menggodaku. Aku pasti
harus mengatakan selamat tinggal pada kehidupan kerjaku yang sibuk namun damai,
karena dia akan bertanya padaku tentang Tsukimori tanpa henti.
"Aku
tidak keberatan rekan-rekan kita di kafe mengetahui tentang kita. Aku tidak
suka memiliki rahasia."
"Kau yang
tidak keberatan."
Tsukimori
mungkin telah terbiasa menjadi pusat perhatian, tapi aku tidak. Memikirkan
diriku menjadi perhatian semua orang saja, sudah membuatku merinding.
Peran nyaman
sebagai penonton sangat cocok bagiku. Setiap orang memiliki kualitas mereka
sendiri.
"Terus
terang, aku akan senang untuk mencoba mendapatkanmu dengan terbuka."
"Lagi
pula, kau tampaknya lihai dalam membuat orang lain berada di pihakmu, ya
kan?" Aku mengatakannya dengan penuh sindiran.
"Suatu
sifat bawaanku?" balas Tsukimori tanpa kesulitan.
"Tidak
mungkin. Kau adalah seorang dalang, seorang aktor dan, jika kita mengambil
intinya..... seorang yang licik. Hanya saja, semua orang tertipu oleh
penampilan cantikmu dan tidak memperhatikan duri mematikanmu."
"Kau
pikir aku cantik? Aku sedang berada di awan ke sembilan*!"
[Awan
kesembilan, sering juga disebut awan ketujuh, adalah ungkapan ketika seseorang
sangat bahagia. Ungkapan ini berdasarkan 10 tingkat klasifikasi awan, di mana
awan ke-9 adalah yang terdekat dengan awan puncak. Kamus Oxford.]
"Di mana
'duri mematikan'nya?"
"Perhatikan
hal-hal yang tidak benar bertentangan dengan prinsipku."
Dilihat dari
wajah seriusnya, dia tidak bermaksud bercanda. Kemungkinan besar dia bahkan
tersinggung.
Tapi anehnya,
aku juga menyadari bahwa gadis se"menarik" dirinya mungkin
benar-benar perlu nyali seperti baja.
"Apa kau
ingin secangkir lagi?" Tsukimori tersenyum dengan anggun dan sedikit
mencondongkan kepalanya, dengan teko teh porselen di tangannya.
"Baiklah."
Aku
mengulurkan cangkir tehku kepadanya, melambaikan “bendera putih” dalam
pikiranku.
Aku telah
memilih untuk menonton skema jahatnya sedikit lebih lama lagi.
Tiga puluh menit kemudian.
"Ibumu
cukup terlambat," aku memanggil Tsukimori, yang duduk di seberangku.
"Ya, dia
bilang dia akan terlambat."
"Kalau
begitu, kapan dia akan pulang?"
"Hm ...
sekitar jam sepuluh, aku kira?"
"Itu tiga
puluh menit dari sekarang, ya."
Aku mulai
merasa tidak nyaman karena berbagi waktu dan ruang yang sama, hanya kami
berdua, tapi aku bersedia menunggu setengah jam lagi dan berbaring di sofa.
Tsukimori
bergumam, "Yah, dua puluh empat jam dari sekarang, tepatnya."
Aku segera
bangkit dari sofa dan menatapnya. Dia dengan santai membaca suatu majalah
fashion.
"Apa
maksudnya?"
"Dia
pergi ke acara tamasya perusahaan dan akan kembali besok."
"—Kau
menipuku?"
Aku terkejut
oleh dalamnya suaraku sendiri.
"Aku
dengan jujur bilang, bahwa dia akan terlambat."
"Bagaimana
itu disebut jujur!? Aku pulang," kataku, berdiri dan menuju pintu masuk.
Aku mereasa kesal pada diriku sendiri karena termakan umpannya.
Tiba-tiba,
sesuatu yang lembut menyelimuti lenganku. Tsukimori telah memelukku.
"...
tolong, jangan tinggalkan aku sendiri. Aku takut!"
Sikap
memohonnya dan sentuhan lembut di lenganku membuatku goyah.
Kerapuhan
tidak biasa yang ia tunjukkan kepadaku lebih dari cukup untuk mengaktifkan
naluriku untuk melindinginya—bahkan jika itu adalah kesengajaannya untuk
merayuku.
Tapi pikiran
rasionalku mendidinginkan kenyataan yang luar biasa ini, dan menjagaku untuk
tidak membuat keputusan yang salah.
"Pesonamu
tidak akan berhasil padaku! Terlebih lagi, ini tidak adil. Aku belum setuju
untuk berpacaran denganmu."
Dua remaja
berduaan di bawah satu atap – suatu keadaan yang sangat menarik. Sebagai anak
laki-laki di usia remaja, aku tentu saja tertarik pada apa yang akan terjadi
dalam situasi seperti ini, terlebih lagi jika gadis tersebut adalah Youko
Tsukimori.
"Aku
tidak keberatan jika itu kau."
Seperti yang
diharapkan, ia mencoba untuk menangkapku dengan tatapan menggoda dan kata-kata
manis.
Seandainya aku
mengenal Youko Tsukimori dalam keadaan lain, aku pasti akan kalah oleh
rayuannya.
"Aku
merasa terhormat, tapi aku tidak punya niat seperti itu!"
Namun, tidak
seperti Nonomiya yang berada di “dunia hipotesis”, Nonomiya yang ada di dunia nyata
tahan terhadap pesonanya. Karena, aku takut bahwa ternyata diriku mengharapkan
perkembangan hubungan yang mengarah ke hal-hal romantis dengannya.
Kecemasan
itulah yang tetap menjaga akal sehatku.
Apa yang Youko
Tsukimori rencanakan?
Saat itulah aku
merasa bahwa aku telah melihat sekilas maksud sebenarnya di balik permintaan
untuk berpacaran dengannya.
Mungkin,
Tsukimori tidak bermaksud untuk menyingkirkanku, tapi untuk membuatku di bawah
kendalinya?
Dia sangat
menyadari daya tariknya, dan tahu bagaimana cara menggunakannya secara efektif.
Aku mampu mengamati fakta itu lebih dari cukup akhir-akhir ini. Jadi, mungkin
dia sedang mencoba untuk menjadikanku semacam bonekanya yang setia? Dia yakin
bahwa aku tidak akan membocorkan rahasianya dalam kasus itu, ya kan?
Tentu saja,
asalkan dia benar-benar telah menyadari bahwa aku tahu dan memiliki resep
membunuh.
Selain itu,
aku harus keluar dari sana secepat mungkin. Bahkan jika asumsiku benar dan
terkonfirmasi oleh Tsukimori, itu hanya masalah waktu sampai aku menyerah
kepadanya.
Karena kata-katanya mungkin bohong, tapi daya tariknya adalah fakta.
Seperti yang lainnya, aku akan menjadi korban dari racunnya. Aku tahu dengan
pasti bahwa segera setelah itu terjadi, racun akan menyebar perlahan tapi
pasti, dan melumpuhkan keinginanku untuk menolak.
Aku
menghempaskan tagannya, dan bergegas menuju pintu masuk, tapi Tsukimori
bergegas menyusulku dalam irama yang sama. Kali ini dia menempel dari belakang,
dan menahanku.
Kehangatannya,
kelembutannya, aroma memikatnya... semua bercampur menjadi suatu pesona yang
menipu indra dan menikam dari belakang.
"...tidak
peduli apa yang kau rasakan terhadapku..."
Napas
lembutnya menyentuh tengkukku. Aku tahu bahwa aku harus melarikan diri, tapi
aku tidak bisa bergerak sedikit pun.
"...
sentuh aku ... lakukan apapun yang kau inginkan padaku ..."
Kata-kata
memikatnya memasuki kepalaku melalui gendang telinga dan berubah menjadi
sinyal-sinyal listrik yang melumpuhkan, dan menyebar ke seluruh tubuhku. Kakiku
telah kehilangan kekuatan untuk melawan seorang gadis SMA.
Dia dengan
lembut mendorongku ke sofa, dan bersandar padaku. Lampu di belakang Tsukimori
menciptakan nuansa mistik yang kontras di wajahnya. Dia menempatkan kepalanya
di bahuku dan meletakkan tangannya dengan lembut di dadaku, seolah-olah ingin
merasakan detak jantungku. Leher putih rampingnya terlihat olehku tepat di
depan dagu.
Sementara aku masih kehilangan kata-kata, dia berbisik ke telingaku,
"Tolong. Aku ingin kau melakukannya."
Bagiku,
perkataan itu terdengar seperti pengampunan misterius dari seorang Santo.
Sesaat
kemudian, ia menggigit pelan tengkukku yang tak berdaya.
Sensasi lembut
dari bibir merahnya menyebabkan bahuku terguncang keras. Aku tidak pernah
mengalami dorongan seperti ini sebelumnya, itu mirip seperti gelitikan, tetapi
berbeda.
Tubuhku hampir
saja tidak terkendali. Dalam upaya untuk mendorongnya menjauh, aku menyelipkan
tanganku di antara kami berdua, dan mendorongnya ke atas. Tidak mau dipisahkan,
ia menolak dan memutar tubuhnya. Tanganku hanya menyentuh dada lembutnya,
tertusuk pada bagian tubuhnya yang halus, kemudian terlepas.
Pada saat itu,
Tsukimori mngeluarkan erangan tertahan dan menggeliat, sembari masih berada
diatasku.
Itu luar
biasa. Akal sehatku sepenuhnya lenyap oleh reaksi sensitifnya yang tak terduga.
Naluriku
mengambil alih, aku bertukar tempat dan duduk diatasnya. Aku meletakkan satu
tangan di tengkuk putihnya dan menelusuri bibir merahnya dengan jari-jariku.
Aku menghirup aroma bunga yang intensif darinya, mencium tulang selangkanya dan
menempatkan lututku di antara pahanya.
Dia bereaksi
dengan indah setiap kali aku menyerangnya. Aku menyadari bahwa darah yang
mengalir dalam pembuluhku terisi dengan kenikmatan.
Sekarang ---
Youko Tsukimori berada di bawah kendaliku.
Perasaan
gembira ini jauh melampaui normal. Bahkan aku, seorang pemikir dingin, akan
berteriak dengan girang, seperti yang diperintahkan perasaanku padaku.
Sementara
dengan panik menekan dorongan untuk tidak terburu-buru, aku terus membelai
Tsukimori. Aku ingin kenikmatan ini bertahan selama mungkin.
Namun, aku
tiba-tiba dilanda kejutan yang membuat jantungku berdetak. Aku menyadari
reaksinya tidak biasa.
"—Kau
gemetar."
Tsukimori
berkedip beberapa kali, dan matanya yang bergairah telah kehilangan fokus.
"...Benarkah?"
tanyanya dengan gerakan bibir lembut , suaranya penuh gairah.
Dia sendiri
tidak menyadarinya, tapi seluruh tubuhnya gemetar .
Perasaan
bersalah yang tadinya kusingkirkan ketika rasionalku telah menghilang, kini
tiba-tiba bermunculan dalam diriku seperti percikan air.
"... kita
seharusnya tidak melakukan hal ini. Ayo kita berhenti," Aku berkata sambil
mengangkat tubuhku.
"Gemetarnya”
Tsukimori terlihat seperti "penolakan" bagiku.
Aku berhenti
bukan karena aku adalah orang yang baik tetapi, di sisi lain, aku juga tidak
menyukai menaklukkan gadis yang tidak ikhlas, untuk kepuasanku sendiri.
Aku takut,
polos dan sederhana. Takut memikul dosa terhadap dirinya yang tidak bisa
diubah.
Dia masih
berbaring telentang di sofa, menatapku dengan mata bertanya-tanya. Di balik
seragam kusutnya, aku bisa melihat kulitnya yang seputih salju. Aku mengalihkan
pandanganku secara refleks.
"Mengapa?
Bukankah aku mengatakan bahwa ini tidak masalah?"
"Tapi kau
gemetar."
"Itu
karena kegembiraan!"
"Menurutku
tidak."
"Memang
begitu!"
Sesaat
berikutnya, Tsukimori mengatakan sesuatu yang tidak bisa kupercaya.
"Lagi
pula, ini pertama kalinya bagiku!"
"Jadi mau
bagaimana lagi," tambahnya.
Tidak ada
kata-kata.
Aku
mendorongnya dan berdiri seolah-olah mundur.
"Kenapa?!"
Aku berteriak, menyalurkan semua kebingunganku ke dalam sepatah kata. Itu
adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan.
"Setiap
orang memiliki pengalaman pertama," jawab Tsukimori dengan tatapan mirip
gadis suci.
"Tapi
seharusnya tidak seperti itu!"
"Setiap
orang memiliki reaksi yang berbeda."
"...
lakukan sesukamu, asalkan jangan mengganggu orang lain. Tapi kali ini akulah
yang akan menjadi pasanganmu, kau mengerti?"
"Ya, kau
benar, aku tidak tahu apakah aku akan dapat memuaskanmu karena ini adalah
pengalaman pertamaku...," dia khawatir.
Dia pasti
bercanda.
"Ah, tapi
aku yakin bahwa aku akan mengembangkan keterampilan yang luar biasa, semakin
banyak kita melakukan itu. Kau tahu bahwa aku cepat belajar, kan? Baik itu di
sekolah maupun di tempat kerja."
Namun,
Tsukimori terlihat serius.
"Bukan
itu masalahnya!!"
Kapan terakhir
kali aku merasa gelisah seperti ini? Aku tidak ingat. Terima kasih banyak untuk
pengalaman berharga ini, Tsukimori.
"Mengapa
kau selalu... selalu sembrono!"
"Aku pun
terkejut."
"Jangan
bertindak seolah kau tidak peduli!"
"Seseorang
pernah berkata bahwa gadis yang sedang jatuh cinta, tak terkalahkan;. Mungkin
itu lebih benar daripada yang aku pikirkan. Lagi pula, aku merasa mampu
melakukan apa saja sekarang," dia mengangguk setuju.
"Tolong,
jangan hanya berpikir tentang dirimu sendiri..." aku menghela napas.
"Lagi pula, apa yang orang lain katakan terhadap dirimu nanti? Bukankah
kau berpacaran dengan banyak laki-laki selama ini?"
Bukannya aku
mempercayainya begitu saja.
Seorang gadis
seperti Tsukimori seharusnya memiliki banyak kesempatan untuk kehilangan
"itu"* dalam hidupnya. Bukankah dia hanya bermain-main denganku?
[Biarkan Ciu
menebak.... Errr, “itu” berarti virginity.]
"... Aku
tidak ingin memberitahumu," dia mengalihkan pandangannya ke samping.
"Kau
tidak bisa mengatakan itu setelah melakukan ini padaku, ya kan? Aku punya hak
untuk tahu."
"Aku
tidak peduli."
"Jangan
seperti anak kecil."
"Aku
yakin kau melihatku sebagai seorang gadis pelacur!"
Tsukimori
mengerutkan bibirnya.
Sekarang dia
dengan anehnya terdengar seperti gadis kecil yang dewasa sebelum waktunya. Ke
mana gadis mempesona yang menggodaku pergi? "Baik! Aku tidak akan bertanya
lagi jika kau tidak ingin memberitahuku."
Aku pikir
tidak ada gunanya menanyainya dalam keadaan keras kepala.
"... Apa
kau benar-benar ingin agar aku memberitahumu?"
"... Ya,
sekarang!"
Astaga.
Seperti biasa ia sulit dibaca.
Tsukimori
mengambil napas dalam-dalam dan membulatkan tekad.
"Aku akan
jujur. Aku telah berpacaran dengan beberapa anak laki-laki sebelumnya."
"Sudah
kuduga."
"Hei,
tidak senyaman yang kau bayangkan, kau tahu. Biarkan aku meyakinkanmu: Aku
mungkin telah berpacaran dengan banyak anak laki-laki, tapi aku tidak pernah
memberikan diriku kepada siapa pun. Aku bahkan tidak membiarkan mereka
menyentuhku seperti yang kau lakukan. Jujur."
"Kau
ingin aku mempercayai itu?"
"Mereka
semua adalah orang baik dan benar-benar mencintaiku."
"...Baguslah..."
"Tapi
setiap kali menjalaninya, aku merasa ada yang aneh. Entah kenapa, aku tahu
bahwa tidak satu pun dari mereka adalah pasangan yang ditakdirkan untuk
kumiliki," katanya dengan mata sedikit tertunduk, berkubang dalam
kenangan.
"Lalu
kenapa aku?"
"Karena
kau tampak berbeda dari yang lain! Pada awalnya, tentu saja itu hanya intuisi
yang tak berdasar. Pada awalnya, aku ingin berpacaran denganmu tanpa berpikir
terlalu dalam, seperti yang aku lakukan terhadap laki-laki lainnya. Karena
membuat seseorang mau berpacaran denganku, itu adalah urusan mudah."
"Itu
tidak terdengar seperti sesuatu yang orang seusiaku biasa katakan. Ayolah,
berapa usiamu sebenarnya?"
Tampaknya
Tsukimori menganggap sikap apatisku lucu. Dia tertawa geli.
"Tapi aku
tidak menyangka bahwa kau akan menolakku."
"Maaf
karena tidak sesuai dengan harapanmu."
"Tidak,
justru sebaliknya! Berkat itu, aku mendapatkan ledakan antusiasme secara
tiba-tiba. Kau malah membuatku tertarik!"
"... Aku
kira, begitulah hidup berjalan. Kenyataan tidak pernah sesuai dengan yang kau
inginkan."
Kegembiraan
Tsukimori memiliki efek berlawanan pada suasana hatiku. Dia membuatku teringat
bahwa apa pun yang aku lakukan padanya, hasilnya selalu berkebalikan dengan
dugaanku dan justru membuatku kerepotan.
"Memang
... Aku bertanya-tanya mengapa segala sesuatu tidak pernah sejalan seperti yang
kau inginkan dalam hidup."
Kali ini, aku
yang tidak bisa menahan tawa, ketika melihat dia mengatakan itu dengan wajah
serius.
"Jika
orang berkelas tinggi sepertimu tidak mendapat apa yang kau inginkan, lantas bagaimana
dengan kami, para manusia biasa.”
Kekhawatiran
yang muncul dari seseorang yang memiliki segala sesuatu, terlihat sangat konyol
bagiku.
"Kau
hanya menilaku berlebihan, sungguh."
"Tapi kau
layak dinilai tinggi, dari sudut pandang normal."
"Kalau
begitu, mengapa aku tidak bisa membuatmu menjadi milikku?"
Dia
memicingkan mata kepadaku seolah-olah mengintip ke dalam hatiku.
"...
Siapa yang tahu? Ini teka-teki bahkan untukku," aku menjawab dengan samar,
dan berpaling. Untuk alasan yang jelas, aku tidak akan pernah mengatakan
padanya, karena resep membunuh itu mengganjal pikiranku.
"Jahat."
"Panggil
aku sesukamu."
"Tapi aku
menyukaimu, Nonomiya-kun, bahkan jika kau kejam dan jahat terhadapku,"
tawa Tsukimori saat menyisir rambutnya. Itu adalah sikap yang anggun.
"Bagaimana aku menjelaskannya ya ...? Sangat menyenangkan berbicara
denganmu."
Dia dengan
hati-hati memilih kata-katanya, yang membuatku menyadari bahwa dia sedang
berusaha keras untuk menyampaikan perasaannya secara tepat.
"Kau bisa
mengatakan bahwa kita ... mencoba untuk ‘mengalahkan’ satu sama lain?
Percakapan kita terasa sangat menarik dan menyenangkan bagiku, karena tak
terduga. Aku hanya tidak memiliki waktu yang cukup untuk berbicara
denganmu."
Kata-katanya
membungkamku, dan membuatku menatapnya. Aku terkejut bahwa dia berpikir sama
sepertiku.
Simpati yang
kuat dapat berubah dengan mudah menjadi rasa kedekatan.
Memang, pada
saat itu juga, Youko Tsukimori menjadi seorang gadis yang istimewa bagiku.
"Aku
membayangkan bahwa hari-hariku akan dipenuhi dengan kegairahan jikalau aku
berpacaran denganmu, aku menyadari bahwa kau pasti adalah pasangan hidupku.
Jadi aku tidak perlu ragu. Kau lah yang ku anggap sebagai orang yang
ditakdirkan untukku;. Aku ingin agar kau memiliki ‘pengalaman pertamaku’."
Gawatnya, dia
tampak lebih menarik sekarang, dan aku baru saja menyadarinya. Aku pernah
mendengar bahwa subjektivitas membentuk suatu fungsi filter ke otak, dan
membuatmu menafsirkan segala sesuatu sesuai dengan kehendakmu.
"Aku
tidak pernah tahu bahwa aku begitu berani."
"Dan aku
berharap, aku tidak pernah tahu bahwa kau begitu sinis."
Aku mengangkat
bahu tinggi-tinggi untuk berpura-pura. Tentu saja, aku sama sekali tidak
tenang. Justru sebaliknya: aku terganggu. Kau bisa mengatakan bahwa, aku
kesulitan berurusan dengan perubahan radikal dalam perasaanku.
Aku sebelumnya
selalu menganggap segala situasi secara obyektif, dengan upaya maksimal untuk
bertahan melawan Tsukimori dan eksistensinya yang mengejutkan. Kalau tidak, aku
akan menjadi korban dari daya tariknya seperti orang lain.
Namun
sekarang, subjektivitas telah tercampur ke dalam pandanganku, aku tidak bisa
lagi tetap tenang. Naluriku yang telah terbangun, mengatakan kepadaku untuk
menikmati ‘buah’ tak berdaya di depan mataku.
"Aku
pergi."
Kali ini aku
benar-banar harus pergi, atau aku akan berakhir dengan menyesali tindakanku
sendiri.
"Apa kau
tidak ingin memeriksanya?"
Aku mendengar
suara Tsukimori di belakangku ketika aku berjalan menuju pintu ruang tamu.
"Memeriksa
apa?"
"—Apakah
ini benar-benar pengalaman pertamaku, ataukah tidak."
Aku merasakan
dorongan untuk berbalik, tapi aku memilih untuk tetap berjalan menuju pintu.
Dia pasti
menunjukkan padaku suatu senyum jahat yang sangat cocok dengan dugaanku, dan
menghancurkan tekad baruku.
"Tolong
lupakan apa yang terjadi hari ini. Aku bukanlah diriku saat ini."
"Aku
tidak mau," ia menyatakan.
"Ini
untuk kepentingan kita bersama."
"Ini
adalah kenangan berharga dari 'pasangan hidup' yang akhirnya kutemukan."
"Aku
terkejut, ternyata kau dapat menggunakan ungkapan itu dengan ceroboh. Katakan
itu sepuluh tahun lagi."
"Aku
tidak menggunakan kata itu sembarangan. Apakah kau tahu bahwa setiap gadis
mencari 'pasangan hidup'nya sesaat setelah dia dilahirkan?"
"Yah, aku
menyesali semua kekacauan ini."
Dengan kata
perpisahan itu, aku membuka pintu. Pada saat yang sama, aku mendengar langkah
kaki bergegas ke arahku bergema di lantai.
"Apakah
kau benar-benar akan meninggalkanku?"
... Tidak ada
gunanya menggunakan kata-kata kesepian seperti itu.
"Tentu
saja."
"Meskipun
aku sangat ingin kau tinggal disini?"
...Tidak ada
gunanya menggunakan kata-kata memohon seperti itu.
"Yah, aku
ingin pulang secepat mungkin."
"Kau
benar-benar sulit untuk ditangani, Nonomiya-kun," katanya, sembari
mendesah.
Aku spontan
berbalik dan memelototinya. "Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu
darimu!"
Tsukimori
tertawa terbahak-bahak saat melihat sikap engganku.
...Tolong,
biarkan aku pergi.
"Selamat
tinggal."
"Sampai
jumpa."
Meskipun aku
sengaja menghentak lantai untuk mengekspresikan kemarahanku, aku tanpa sengaja
melihat lambaian selamat tinggal darinya yang terkesan lemah dan sedih.
Merupakan suatu kebohongan jika mengatakan bahwa aku tidak merasakan apa-apa
saat menutup pintu depan.
Comments
Post a Comment