Gekkou Bahasa indonesia Bab 9. Keraguan

Gekkou Bab 9. Keraguan


Aku takjub, tidak ada kesan kasihan pada tatapan mata sebagian besar siswa di sekolah, melainkan kecemburuan dari rekan-rekannya.

Begitu Youko Tsukimori muncul di sekolah setelah dia absen panjang, semua orang berusaha untuk berada di dekatnya. Dalam waktu singkat, terbentuk dinding manusia yang melindunginya dari segala arah.

"Apakah kau baik-baik saja, Youko-san? Apakah kau tidak lelah? Jangan ragu untuk memberitahuku jika ada sesuatu yang dapat kubantu, oke?”

"Terima kasih, Chizuru. Aku merasa jauh lebih baik sekarang, karena aku sudah melihat wajahmu yang indah. Aku benar-benar harus memaksa diriku untuk masuk sekolah lebih cepat,” ia memberikan senyum brilian sembari membelai pipi Usami dengan lembut, sedangkan Usami menatapnya dengan pandangan cemas. Tsukimori kemudian melihat orang-orang di sekitarnya. "Rasa terimakasihku yang tulus kuucapkan pada kalian semua. Aku tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya aku ... begitu banyak dari kalian yang mengkhawatirkan keadaanku. Aku benar-benar beruntung memiliki teman sekelas seperti kalian!”

Dia menutup mata dengan lembut, tanpa merusak senyumnya, sembari dia meletakkan tangan di dadanya yang bulat.

Tergoda oleh emosi mendalam yang ia tunjukkan, mereka semua menampilkan ekspresi lemah lembut, dan mengangguk secara bersamaan.

Aku hampir mencibir saat melihat Kamogawa dan teman-temannya menunjukkan ekspresi bersungguh-sungguh yang sama sekali tidak cocok dengan mereka.

Awalnya, teman-teman sekelasku mungkin ingin menjadi orang-orang menghibur Tsukimori yang sedang kecewa berat, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Andaikan saja ada seseorang yang memotret adegan tadi, dan mengatakan bahwa Tsukimori sedang menghibur teman-temannya yang bermuram durja, maka aku pasti akan mempercayainya. Karena Tsukimori benar-benar tak terlihat menderita kesedihan di sini, justru teman-temannya yang secara berlebihan terharu oleh kehadiran Tsukimori setelah lama absen.

Dengan kata lain, jikalau tidak ada orang-orang di sekitar yang terlalu mengkhawatirkannya, Youko Tsukimori terlihat sangat “baik-baik saja”.

Ketika ia berada di tengah-tengah massa seperti sekarang ini, dia bisa memunculkan “kebolehannya”.

Meskipun semua orang mengenakan seragam yang sama dan juga berusia sama pula, di tengah-tengah kesetaraan itu, dia terlihat begitu mencolok. Dia bersinar layaknya rembulan di malam yang gelap: megah dan penuh keanggunan.

Karena tidak ada cara untuk melewati benteng manusia tak tertembus yang melindunginya dari segala arah, aku terdegradasi ke belakang layaknya seorang "rakyat jelata" yang hanya bisa memimpikan putri dari kejauhan.

Akhirnya, tatapan mata kami bertemu.

Aku tidak menyangkal bahwa sorot matanya penuh dengan permohonan untuk ditolong, namun aku tak sanggup menjamahnya saat ini. Aku tampak bodoh jikalau aku salah. Namun di sisi lain, aku bukanlah seseorang yang mau membakar kalori untuk melakukan hal merepotkan, karena aku sama sekali tidak punya bakat menjadi seorang ksatria penyelamat putri. Jadi, aku memalingkan pandanganku dari kelas yang tidak lagi nyaman, dan aku memenuhi peranku sebagai “rakyat jelata”. Aku hanya bisa mengamati awan dari jendela koridor sebagai pelampiasan ketidakmampuanku menggapai si putri, dan itu semua berakhir ketika kelas perwalian dimulai.


Bahkan selama istirahat berlangsung, situasi tidak berubah.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa aku tidak mampu berbicara padanya dengan benar di sekolah untuk sementara waktu, sehingga aku memilih untuk menghabiskan waktu istirahat aku di koridor yang tenang, dan jauh dari kebisingan.

Dia pun beraksi cepat terhadap diriku yang menjauhi keramaian. Tsukimori yang cerdas mulai menulis pesan pada selembar laporan dipotong empat, dan mengirimkannya padaku selama waktu istirahat, karena dia tidak bisa berbicara denganku secara langsung.

Untuk mencegah orang lain melihatnya, dia memberikan kertas tersebut padaku ketika kami berpapasan tanpa menoleh ke arahku. Dia sendiri yang mengirimkan kertas itu secara langsung ke saku di dadaku.

Ketika waktu belajar-mengajar sudah berakhir, aku membaca pesan-pesan darinya.

Aku meletakkan potongan-potongan pesan yang sudah kuterima itu secara berurutan, mulai dari pesan pertama yang aku terima pada saat istirahat tadi.

«Kenapa kau tidak membantuku?»

«Kau tahu perasaanku, bukan?»

«Sudah begitu lama sejak terakhir kali kita bisa bicara bersama-sama.»

"Aku pikir, aku akan berada di perpustakaan saat istirahat makan siang.»

"Aku lupa betapa dinginnya hatimu.»

Dia pasti telah menyadari bahwa memberiku surat akan menyelesaikan semuanya. Aku merasakan semacam semangat pantang menyerah dan kebanggaan ketika dia menulis pesan-pesan tersebut padaku.

Ngomong-ngomong, aku memanjakan diriku sendiri dengan tidur siang di tengah hari selama jam istirahat makan siang. Itu kulakukan karena aku harus berada pada kondisi prima ketika menghadapinya di kafe sepulang sekolah.

Selain itu, kalau dilihat dari kebiasaannya, masih ada satu memo yang belum dia sampaikan padaku. Yaitu pesan "setelah-pulang-sekolah". Aku akan melakukan sesuatu setelah membaca pesan itu.

Seperti yang sudah kuduga, dia menjatuhkan secarik kertas di atas mejaku ketika dia melewatiku sembari mengucapkan salam perpisahan pada teman-temannya dengan gembira.

Suatu senyum lepas dari mulutku ketika aku membaca pesan yang ditulis secara tergesa-gesa itu. Itu adalah suatu permintaan yang tidak mungkin aku tolak, jadi aku cepat-cepat menarik tasku, dan meninggalkan kelas.

«Hari ini aku lelah. Aku tidak ingin berjalan. Aku ingin agar kau memboncengku sampai ke kafe dengan sepeda. Sebagai imbalannya, aku akan memaafkan sikapmu hari ini. »

Seperti yang terlihat, tidaklah mudah menjadi orang yang selalu menjadi sorotan publik layaknya artis. Melihat gadis itu dikerumuni orang, membuatku jadi jengkel, dan aku pun menyadari betapa lelah menjadi pusat perhatian seharian secara terus-menerus.

Aku puas melihat dia menunjukkan kelemahannya padaku, meskipun hanya lewat sepucuk surat, dan aku bersedia memenuhi keinginan sang putri untuk memberikannya tumpangan.

Ketika aku meninggalkan sekolah dengan pikiran seperti itu, aku menemukan seorang pria jangkung di dekat gerbang depan.

Dia segera melihatku, dan mengisyaratkan agar aku mendekat padanya dengan melambaikan tangan. Dia melakukan itu sembari "bersembunyi" dalam bayangan gerbang.

Aku lebih suka untuk berpura-pura tidak tahu, tapi ia bukanlah orang yang akan membiarkan aku untuk mengabaikan panggilannya. Dia akan mengejarku sampai dapat.

Aku mengambil ponsel, dengan cepat mengetik pesan, lantas mengirimkannya. Aku memberitahu Tsukimori bahwa aku tidak bisa menemaninya ke cafe.

Aku tidak ingin melibatkan dirinya dalam "masalah itu". Aku tidak berencana untuk menjadi seorang ksatria heroik yang menyelamatkan sang putri. Aku melakukan ini hanya karena aku berpikir bahwa ini adalah urusan pribadiku dengan si pria jangkung.

Suatu balasan datang beberapa detik kemudian.

«Aku tidak peduli padaku lagi!»

Betapa cepat balasannya! Hurufnya juga banyak! Aku bisa membayangkan bahwa dia menekan tombol ponselnya dengan kemurkaan dan kecepatan mengerikan.

Meskipun aku merasa sedikit marah sembari aku menatap jelas langit biru, aku harus mengakui bahwa ini adalah kesalahanku sendiri dan aku menyerah. Bagaimanapun juga, akulah yang menghindarinya hari ini.

Bukannya ada suatu alasan khusus.

Aku hanya tidak ingin menjadi orang yang spesial di antara begitu banyak manusia yang mengerumuninya.


"Ya! Mari masuk ke dalam mobilku daripada berdiri di sini.”

Konan bertingkah humoris seperti biasa.

"Apa yang kau inginkan dariku kali ini?"

Aku pun menjawabnya dengan tingkah humor-pesakitan, dan aku sengaja melakukan itu.

"Apakah aku harus memberitahumu?"

"Ya. Aku harus pergi bekerja setelah ini, jadi aku akan membatasi ‘percakapan tak berguna’.”

"Mh ... baik, tentu saja aku bisa memberitahumu sekarang, tetapi ini benar-benar suatu hal buruk yang seharusnya tidak dikatakan di pintu gerbang sekolah. Masih ingin tahu?” Tegasnya dengan alis berkerut. Siswa-siswi yang sedang menuju ke rumah masing-masing di sekitar kami pun memberikan tatapan terkejut.

"... Mari kita pergi. Ayo."

"Terima kasih untuk persetujuanmu! Sangat senang bisa bekerjasama denganmu, Nonomiya-kun!”

Aku paham bahwa tetap berada di sini hanya akan mendatangkan rumor yang buruk, jadi aku mengikutinya keluar dari gerbang dengan malas-malasan.

Mobil Konan, yang diparkir di dekat sekolah pada sisi gang, adalah mobil sport berwarna merah cerah yang cukup cocok dengan gayanya.

"Mobil yang bagus, ya? Bukankah simbol cincin yang ada pada merknya terlihat mewah? Aku sengaja memilih Audi bukannya Porsche, Ferrari atau Alfa Romeo? Silahkan berpikir bahwa Audi adalah merk mobil yang cocok dengan kantong seorang PNS, tapi jangan bilang itu keras-keras ya."

"Apakah tidak masalah mobil seorang polisi diparkir di pinggir jalan?"

Aku tidak mengenali struktur mobilnya, tapi aku bisa mengenali dengan begitu mudah bahwa ada tanda dilarang parkir yang terpasang di samping mobil sport tersebut.

"Tidak apa-apa karena aku adalah seorang detektif kepolisian. Jika aku mendapatkan denda karena parkir ilegal, aku bisa memanfaatkan posisiku untuk menutupi-nutupi pelanggaran tersebut.”

"Dunia ini begitu korup."

"Siapa ya yang membuat dunia jadi seperti ini?"

"Hati nuranimu seharusnya tahu."

"Oh, betapa filosofis. Maknanya terlalu dalam bagiku, jadi hentikan saja semua ini. "

Ekspresinya yang tak acuh menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak menghiraukan pembicaraan kami barusan, dan itu sangat cocok dengan sifatnya. Aku harus mengakui bahwa aku tidak punya pilihan selain menyerah dan duduk.

" — Beberapa hari yang lalu, kau menjelaskan kepadaku tentang apa yang terjadi pada hari ketika ibu Youko-chan menghilang, kau ingat? Yang waktu di restoran itu.”

"Ya."

Setelah aku duduk di kursi penumpang, Konan mulai berbicara dengan suara serius.

Kewenangannya sebagai seorang polisi seakan-akan memampatkan atmosfer di dalam mobil menjadi begitu sesak, kemudian suasana yang penuh canda dan damai hilang seketika.

"Sebenarnya, aku sudah berpikir berulang-ulang di dalam kepalaku, tapi ada beberapa poin yang tidak masuk akal bagiku.”

Konan menurunkan jendela mobil, dan menyalakan sebatang rokok yang diambil dari saku dadanya.

"Misalnya, telepon dari tempat kerja ibunya. Menurutku, waktunya terlalu pas. Tidakkah kau berpikir Youko-chan benar-benar memastikan bahwa ia akan menerima panggilan telepon ketika bersama-sama denganmu?” ia meniup aliran asap rokok keluar dari jendela,”Apakah kamu tidak berpikir bahwa telepon yang berdering tepat pada saat ia menempel padamu, adalah suatu hal yang aneh?”

Adegan pada saat malam hujan itu terbesit di kepalaku lagi — ketika kami berjalan bersama-sama diantara kepungan hujan dan manusia berpayung yang berwarna-warni.

"Bagaimana caranya dia bisa menerima panggilan telepon pada saat yang tepat?"

Aku langsung mengajukan pertanyaan itu secara refleks ketika dia membuatku penasaran. Namun, aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya seseorang mengatur panggilan telepon seperti itu.

"Bisa saja, misalnya, dia dengan sengaja meninggalkan nomor teleponnya pada call history mereka sebelum peluk-pelukan denganmu.” Menurut Konan, Tsukimori telah menelepon pihak sekolah memasak beberapa kali, namun dia sengaja menutup telepon saat mereka hendak mengangkatnya. Itu adalah suatu miss-call. Sehingga nomor Tsukimori tercatat pada call history mereka.

Itu adalah kasus yang gawat.

"Mengingat betapa mendesak hal ini, mungkin mereka sudah memanggilnya beberapa kali ketika kalian kerja?”

Bagi pihak sekolah memasak, itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi karena mereka kehilangan salah seorang guru tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Ini sangat logis, mereka akan segera memanggil kembali sejumlah call history yang tidak terjawab, walaupun itu adalah nomor asing.

"Namun, jika Youko-chan ingin ‘meyakinkan’ bahwa dia mendapat panggilan telepon dari mereka, maka kau harus mengetahui bahwa ponselnya berdering. Itu adalah suatu hal yang mustahil. Kau tidak akan tahu kapan ponsel Youko-chan berdering walaupun di sedang bersamamu.” Mulut Konan menyeringai, ”Kecuali kalian berada pada jarak yang sangat dekat, misalnya.... sedang berpelukan.”

Aku ingat apa yang telah kurasakan malam itu; suatu getaran dari ponsel terasa melalui dadanya.

"... Memang, telepon genggamnya diatur pada ... silent mode."

"Itulah yang aku maksud. Yah, jangan pernah lupa bahwa kita sedang menghadapi seorang Youko-chan. Ada juga kemungkinan bahwa tidak ada panggilan sama sekali sejak awal. Dengan kata lain, dia berpura-pura mengangkat telepon. Dia bersandiwara.”

"Bersandiwara?"

"Apakah kau pernah mendengar tentang fitur alarm pada ponsel?"

"Tentu saja! Apa kau pikir aku adalah seorang —" Aku mulai bereaksi, tapi tidak sanggup meneruskan kata-kataku karena aku menyadari apa yang dia maksudkan.

Konan melanjutkan,”Ponsel tidak bergetar hanya karena ada panggilan masuk. Fungsi alarm akhir-akhir ini telah menjadi suatu fitur yang benar-benar berguna; jika kau mengatur alarm pada waktu tertentu, maka ponselnya akan terus bergetar tanpa henti sampai si pemilik mematikannya secara manual.”

"Apakah dia benar-benar melakukan itu?" Aku bertanya pada diri sendiri diam-diam dengan beberapa tanda tanya yang muncul di atas kepalaku. Namun, apakah mungkin Tsukimori melakukan hal semacam itu? Jawabannya jelas.

"Kau tidak yakin bahwa orang sekelas Youko-chan melakukan hal serendah itu, kan?"

Aku tidak bisa menyangkalnya. Menurutku, dia mungkin saja melakukan itu.

"Yah, kita tidak tahu apakah dia bersandiwara, atau benar-benar ada panggilan masuk. Hanya saja, penjelasanmu membuatku berpikir bahwa kemungkinan dia bersandiwara tidaklah nol. Tapi bagaimanapun juga, itu tidak relevan. Jangan ragu untuk melupakannya. Dia punya niat sebenarnya yang masih belum terungkap.”

"Niat sebenarnya ...?"

Konan terdiam, menunggu kata-kataku berikutnya; mungkin karena ia telah menyadari bahwa aku sedang merenung.

Tujuan utamanya malam itu, yang membuat dia berpura-pura menjawab telepon masuk, adalah............

".......untuk mengajakku masuk ke dalam rumahnya?"

Dia menjentikkan jarinya,”Bingo! Masuk akal jika tujuannya adalah untuk mengajakmu masuk ke dalam rumahnya. Tak ada pria yang sudi meninggalkan gadis yang baru saja kehilangan ibunya. Bahkan orang tanpa emosi sepertimu tidak akan meninggalkan dia sendirian. Yahh, dan akhirnya kau benar-benar pergi ke rumahnya.”

Aku merenungkan kembali kejadian malam itu dengan hipotesis yang diutarakan oleh Konan.

— Ini seperti bangunan yang hancur, lantas dibangun kembali dengan kecepatan tinggi. Dan bangunan baru tersebut mempunyai wujud yang benar-benar berbeda.

Sembari menghancurkan rokok di asbak, dia melanjutkan omongannya, "Aku pikir kau sudah mengerti. Dia sengaja menggiringmu ke rumahnya agar kau menemukan catatan bunuh diri pada layar komputer itu.”

Suatu hawa dingin merambati tulang punggungku.

Jika orang ini benar, semua yang terjadi malam telah tertulis pada skenario yang disutradarai oleh Youko Tsukimori.

"Ada aspek lain yang diragukan selain itu. Ingat kembali apa yang terjadi, tepat ketika kau tiba di rumahnya. Jika aku tidak salah, hal pertama yang dia lakukan adalah memberikanmu handuk untuk mengeringkan tubuhmu yang basah,” ia mengangkat kepalanya dan menusukku dengan tatapan tajam, ”Itu tidak normal, bukan? Tindakan pertama yang dilakukan seorang gadis kebingungan karena ibunya hilang bukanlah ‘memberikan handuk’.... namun.... seharusnya.... ‘mencari ibunya’ terlebih dahulu!”

Setelah sampai pada kesimpulan bahwa Youko Tsukimori tidak membunuh siapa pun, aku harus menyangkal pendapat Konan, tidak peduli se-logis apapun hipotesisnya.

"Memang, kau ada benarnya. Dan kau juga menyampaikan fakta, namun, aku bisa merasakan dengan jelas bahwa tidak ada seorang pun di rumahnya begitu aku masuk. Seharusnya Tsukimori mampu memahami situasi itu jauh lebih baik daripada aku, yang sejatinya hanyalah orang luar, meskipun aku sudah datang ke sana dua kali.”

Namun demikian, aku terkesan oleh semua perkataannya.

"Maksudmu, Youko-chan bisa menyimpulkan bahwa ibunya tidak ada di rumah, bahkan tanpa mencari terlebih dahulu?”

"Ya," aku mengangguk.

"Aku tidak berpikir begitu," Konan menyeringai layaknya seorang ahli yang argumennya tak pernah bisa disangkal, ”Tapi, aku sudah dewasa, dan aku sudah punya banyak pengalaman di dunia ini, lho. Jadi, aku tidak bisa berpikir se-lugas dirimu.”

Ia mampu menyimpulkan sejauh itu setelah mendapatkan informasi yang sangat minim, tampaknya dia memang layak bergelar detektif. Dia benar-benar orang yang sangat piawai. Dia bahkan menerangkannya dengan begitu simpel, sampai-sampai bocah SMA sepertiku bisa memahaminya dengan begitu mudah.

Aku bahkan tidak sabar untuk mendengarkan analisis Konan berikutnya —

"Mungkin saja, ibunya sudah meninggal ketika kau tiba di sana, dan dia tahu akan hal itu. Dengan demikian, dia tidak ingin mencarinya. Ini cukup logis untuk menerangkan sikap Youko-chan yang tidak wajar, tidakkah kau setuju denganku?”

"... Jadi?"

Aku menekankan suaraku, sehingga terdengar sedikit serak.

"Apa yang kau maksudkan?"

Karena aku tahu persis apa yang Konan akan jawab.

Seketika aku mengalihkan mataku darinya — lengan panjang Konan berayun melewati kepalaku, lantas tangannya mendarat dengan keras pada jendela samping kursi penumpang.

"Apa yang ada di atas kepalamu? Kalau boleh, aku akan blak-blakan padamu ...”

Tatapannya yang tajam memaku diriku sembari dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Bau asap rokok menyengat hidungku.

"... Gadis itu, Youko Tsukimori, telah membunuh ibunya!"

Setelah menyatakan itu, dia mengalihkan tatapan matanya ke jendela depan.

Mengikuti dia, aku juga mengarahkan mataku ke depan. Di depan sisi gang adalah jalan utama, yang berwarnakan merah menyala. Seseorang bisa melihat para pelajar berlalu-lalang untuk menuju ke rumahnya masing-masing, layaknya ikan yang berenang.

Ada satu orang yang terpisah dari aliran manusia itu, dia berdiri pada muka gang.

Sosoknya ramping dan berambut panjang. Karena pancaran sinar matahari terbenam, aku tidak bisa melihat wajahnya. Namun aku bisa bilang bahwa gadis SMA ini sedang menatap kami berdua.

Dia tidak mendekati kami, juga tidak berjalan pergi; dia hanya menatap ke arah kami. Sosok itu mempunyai aura yang begitu kuat, sampai-sampai kami bisa merasakan eksistensinya walaupun dia tidak berinteraksi dengan kami.

Aku semakin tidak nyaman di kursi penumpang, dan aku pun mendesak Konan, ”... tolong, bawa aku keluar dari sini sekarang.”

"Apakah kau yakin?" Tanya Konan dengan tatapan yang masih terpaku pada jendela depan.

"Ya," jawabku, dan dia menjawab dengan menekankan: "Hmmm?"

Sesaat berikutnya, ia menarik pedal ke posisi netral, memindahkan gigi, dan mundur dari sisi gang sempit dengan cepat. Dalam waktu singkat, kami tiba di seberang jalan di mana terdapat siswi tersebut.

Saat itu, aku hanya bisa mengepalkan tinjuku.

Pada awalnya, Konan tidak mengatakan apa-apa, tapi ketika kami tiba pada lampu lalu lintas merah, ia kembali ke topik pembicaraan, seolah-olah ia telah menunggu saat-saat itu.

"Aku yakin, aku tidak perlu menjelaskan kepadamu bahwa dia memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk menulis catatan bunuh diri palsu milik ibunya, iya kan?”

Aku mengangguk. Itulah batasku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku membuka mulut.

"Dia adalah gadis yang cerdas. Dia tahu bahwa catatan itu akan dianggap asli jika ditemukan oleh pihak ketiga, bukan dirinya sendiri. Dan dia memilihmu untuk menjalankan peran itu. Yahh, rencananya berjalan dengan baik sekali karena kau lah yang menemukan catatan di layar komputer untuknya.”

Aku mengertakkan gigiku.

"Aku juga berpikir bahwa seharusnya dia tidak menemukan kesulitan berarti untuk membunuh ibunya sebagai anggota keluarga. Maksudku, jangan mencatat cara dia menghabisi nyawa ibunya! Yang dilakukannya adalah pergi ke taman sedih di dataran tinggi, lantas mendorongnya dari tebing itu.”

Aku mengepalkan tinjuku dengan begitu keras, sampai terasa sakit.

"Itu mudah baginya, kan?"

Jangan membual seperti itu! Pada dasarnya, kau juga tidak tahu apa yang dia telah lakukan, sama sepertiku! — Aku hampir saja meneriakkan kalimat itu.

Kesabaranku sudah habis, dan yang tersisa di kepalaku hanyalah amarah membara. Aku jengkel ketika mendengar orang lain membicarakan Tsukimori dengan cara seperti itu, seolah-olah taman yang tiap hari aku rawat, diinjak-injak oleh orang lain.

Konan memarkir mobil ke trotoar dan tersenyum,”Kita tiba di sini.”

Aku mengintip keluar dan mendapati ia telah parkir di sepanjang jalan utama, dekat kafe.

Aku memberinya anggukan,”Terima kasih."

Sesaat setelahnya, ia memasang senyumnya yang sembrono dan mengangkat bahu layaknya orang Amerika.

"Maaf karena telah mengejutkanmu. Tapi sekali-sekali aku harus menunjukkan bahwa aku masihlah seorang polisi, dan pekerjaanku adalah detektif, lho” ia tersenyum tipis, tapi matanya sama sekali tidak tampak senang, ”Dan aku tidak ingin menyebabkan kesalahpahaman yang bisa membuat dirimu menyembunyikan sesuatu dariku selamanya.” Dia menarikku lebih dekat dengan bahuku, " ... aku akan sangat berterima kasih padamu jika kau bisa segera ingat beberapa info yang menarik, karena itu akan membantu agar pekerjaanku tidak berantakan ...”

Bisikan tegasnya mengirim menyebabkan aku merinding.

Aku menduga bahwa orang yang diancam dengan menempelkan pisau pada lehernya, merasakan sensasi serupa.

Aku mengalihkan pandanganku tanpa menjawab, dan mendapati bayangan seseorang pada kaca mobil.

Dia adalah seorang pria SMA muram yang tidak bergerak sedikitpun, kecuali mengedipkan kelopak matanya. Aku melihat bahwa tangan siswa itu memegang dada kirinya.

Aku merasakan sentuhan familiar dengan jari-jariku.

— Resep membunuh.

Tanganku menegang tanpa kusadari.

Itu adalah secarik kertas yang aku lindungi dengan segenap jiwa dan raga.

Karena resep membunuh adalah satu-satunya benda yang bisa membuatku mengungguli Konan, sekaligus kartu as terakhirku terhadap Youko Tsukimori.

Aku mengepel kafe remang-remang setelah waktu tutup. Tiba-tiba, suatu bayangan menghambat pekerjaanku itu. Aku mendongak dan mendapati si pemilik bayangan sedang berdiri dengan kaki megagah, dan lengan bersilangan.

"Apakah kalian sedang bertengkar atau sejenisnya?" Tanya Mirai-san, sembari menatapku dengan alis berkerut.

"Bertengkar? Siapa? Dengan siapa?"

Aku tidak berpura-pura karena aku benar-benar tidak tahu.

"Apakah kamu bodoh? Kau dan Youko tentu saja, siapa lagi?”

"Aku benar-benar tidak berpikir bahwa aku bodoh ... tapi, kenapa kau berpikiran begitu?”

"Tingkah laku kalian berdua membuat aku sakit mata! Akhir-akhir ini kau sama sekali belum berbicara padanya, kan?”

Sambil bersandar ke tongkat pel, aku memikirkannya.

"... benarkah begitu?"

Aku hampir tidak mengingat apa yang telah terjadi hari ini.

"Jangan berlagak bodoh. Jelas-jelas kau sering melamun hari ini.”

Benar juga, aku harus mengakui bahwa aku sering melamun karena memikirkan perkataan dari Konan. Selama bekerja, aku berulang kali memikirkan cara untuk mematahkan argumen orang itu.

Semakin aku memikirkannya, semakin aku yakin bahwa aku tidak punya kesempatan untuk mengalahkannya.

"Pokoknya, tinggalkan kebiasaan burukmu itu karena aku sudah muak melihatnya — "

"Keberatan!"

"Ditolak!"

Dia tidak punya simpati.

"Biarkan aku melanjutkan perkataanku; kali ini, Youko juga bertindak aneh. Seakan-akan, dia mendekatiku agar menjauh darimu ... Jadi, apa yang telah kau lakukan padanya? Ayolah, jelaskan permasalahanmu. Setidaknya, aku ingin mendengarkannya darimu.”

Seperti biasa, dia sangat keras kepala dengan pendapatnya sendiri.

"Apakah kau tidak berpikir bahwa akulah yang menjadi korban di sini?"

"Ya. Apapun yang terjadi, aku berada di pihak Youko.”

"Dunia ini tidak masuk akall!"

"Ohh, baru sadar ya?" Dia membalas ratapanku dengan perkataan angkuh, ”kemanapun kamu pergi; dunia tidaklah masuk akal dan tidak adil. Itulah yang terjadi, makanya terdapat sistem kasta di dunia ini. Jadi mengapa aku harus repot-repot sok suci, jika aku tinggal di dunia yang begitu busuk? Aku hidup dengan aturanku sendiri.”

Jika kau pernah membayangkan kata: "egois" berwujud seperti manusia, maka wajahnya pasti mirip dengan wanita ini.

"Cara hidupku sederhana, bukan?"

Yah, memang sangat sederhana.

Aturan mainnya hanya satu: semua keinginannya harus terpenuhi, tak peduli orang lain mau bilang apa. Sudah, itu saja.

Tapi aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya mentaati kata: "Sudah, itu saja". Itu bukanlah sesuatu yang siapa pun bisa lakukan. Tidak semua orang sekuat dirinya.

Seakan-akan, dia terus bermain gitar tanpa membiarkan kebisingan dunia mengganggu konsernya.

Pasti ada semacam “ikatan” antara orang seperti dia, sebagai pembuat masalah, egois, atau bahkan membenci mereka. Aku setuju bahwa pandangan tersebut sangat dibenarkan sampai sejauh ini.

"...memang. Sederhananya, aku hampir cemburu.”

Sialnya, aku cukup memahami orang seperti Mirai-san.

Aku hanya bisa tertawa, sambil membayangkan seorang wanita nekat seperti Mirai-san mengambil Mike dengan satu tangan, dan mengacungkan jari tengahnya pada orang-orang yang dibencinya, tak peduli seberapa tinggi posisi mereka. Sebagai salah satu fans-nya, aku pikir, "Tidak ada salahnya, jika dunia ini berisikan satu atau dua orang seperti Mirai-san."

"Oke, kau harus minta maaf sekarang."

"Padamu?" Aku menggodanya. Mirai-san tersenyum, dan heran.

"Dasar idiot. Tidak ada gunanya meminta maaf kepadaku. Orangnya ada di sana. Kau harus meminta maaf pada 'Tuan Putri' yang sedang mengurutkan catatan, yang dari tadi mengintip pembicaraan kita!” kata "Sang Ratu" dengan suara keras.

Aku berbalik dan menemukan Tsukimori berdiri pada meja registrasi.

Tatapan mata kami bertemu.

"Aku mendengar bahwa Tuan Putri sedang mengharapkan agar seseorang minta maaf padanya. Apakah itu benar?” Tanyaku dengan nada yang cukup sinis. Tsukimori hanya menunduk dan melihat-lihat tangannya sendiri.

"Mengapa kau harus meminta maaf padaku? Kita tidak pernah sekalipun bertengkar, bukan?” dia menjawab sambil mengurutkan catatan satu demi satu.

"Apakah Tuan Putri berpikiran lain?"

"Perhatikan, tidakkah dia terlihat sedang ngambek padamu? Itu jelas sekali! Sekarang, ayolah, aku bersedia bertindak sebagai perantara bagi kalian berdua. Jadi, angkat bokongmu dan katakan maaf padanya sekarang juga.”

"Jangan khawatir, Mirai-san. Aku tidak marah sedikit pun. Tapi, walaupun kami berdua sedang bertengkar, dan meskipun aku mengharapkan permintaan maaf dari Nonomiya-kun.... semuanya tidak akan ada gunanya jika dia tidak merasa bersalah. Aku hanya akan menerimanya jika dia meminta maaf dengan sepenuh hati,” kata Tsukimori dalam satu kali tarikan napas.

"'Jangan khawatir'? 'Tidak marah sedikit pun'?” Aku kesal karena Tsukimori menyinggungku secara tak langsung dan ironis, ”Jika dia ingin mengatakan sesuatu, dia harus mengatakannya dengan sejelas mungkin, tidakkah kau setuju Mirai-san?”

"Sekarang lihat dia, Mirai-san. Kau tidak dapat menyebutnya pertengkaran jika Nonomiya-kun bahkan tidak menyadari apa yang telah ia lakukan.”

"Aku tidak akan minta maaf, Mirai-san! Dia Cuma ke-PD-an!!”

"Mirai-san, jangan pikirkan lagi si keras kepala ini."

Tiba-tiba, Mirai-san mengacak-acak rambutnya yang rapih dengan kedua tangan dan ...

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH !!!"

... dia berteriak sampai menguras semua udara di paru-parunya.

"Sialan! Tutup mulutmu! Kau mulai membuatku naik pitam!”

Manajer dan Saruwatari-san secara hati-hati mengintip dari ruang staff untuk memeriksa apa yang sedang terjadi.

"Ini! Benar-benar! Merepotkan!”

Mirai-san menjulurkan tangannya ke kepalaku, dan meraih leherku. Hatiku yang berdebar menunjukkan bahwa dia masih punya aura feminim sebagai wanita.

Dia mengabaikan keluhanku dan menuju ke meja register sembari berteriak,”Ayo sini!"

Setelah tiba di sana, dia mengulurkan tangannya yang bebas. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, dan juga meraih leher Tsukimori dengan cara yang sama.

Kami berdua, di tengah-tengah terdapat Mirai-san, dipaksa untuk saling berdekatan sampai wajah kami hampir menempel.

Aku sedang tidak ingin melihat wajah Tsukimori, tapi untungnya, dada datar Mirai-san cukup untuk menghalangi pandanganku.

Mungkin dia tidak akan pernah mau mendengar itu dari mulutku.

"Kau tahu, aku bukanlah orang yang begitu sabar! Aku tidak tahan melihat hal-hal yang merepotkan terjadi di depan mataku! Lupakan tentang pekerjaan yang tersisa, dan keluar sekarang juga!”

Dia berteriak pada kami berdua, dan mengungkapkan amarahnya yang orang buta pun sudah tahu.

"Nonomiya! Kau meminta maaf kepada Youko! Dan Youko, kau ampuni Nonomiya ketika dia meminta permohonan maaf darimu!” 

katanya sambil cemberut pada kami, 

"Aku tidak peduli tentang alasan di balik pertengkaran ini, tapi kalian harus baikan sembari berjalan pulang ke stasiun! Kemudian kalian datang untuk bekerja besok seperti biasa! Mengerti? Itu adalah perintah!”



Sebelum aku sadari, Tsukimori dan aku saling bertukar pandang, dan sesaat kemudian kami mendesah pada saat yang sama.

"Hei, bagaimana dengan balasanu!?"

Menghadapi perintah absolut dari seekor binatang buas, kami berdua saling bertukar pandang sekali lagi, dan tidak punya pilihan selain mengangguk dengan enggan,”... aku mengerti."

Hanya diterangi oleh lampu jalanan yang bersinar putih, kami berjalan di sepanjang gang sempit menuju stasiun. Kami terdiam seribu bahasa.

Setelah memasuki jalan di sepanjang jalan utama, pandangan kami dipenuhi dengan cahaya neon yang cantik. Jumlah orang meningkat sebanding dengan penerangan yang semakin menyilaukan, dan kebisingan juga semakin nyaring terdengar. Kami bermandikan warna kuning dari lampu mobil yang melintas. Suara sirine menggema dari kejauhan, sedangkan seekor anjing menyalak seakan menjawab suara sirine tersebut. Dan kami tetap terdiam seribu bahasa.

Tsukimori lah yang akhirnya menyibak atmosfir canggung ini.

Dia berhenti tiba-tiba.

"Akhir-akhir ini, kau bertingkah sedikit aneh" bisiknya, untuk membahas pokok permasalahan secara langsung, ”Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"

"Apakah aku terlihat seperti itu?" Tanyaku kembali.

Dia sedikit memiringkan dagunya yang lancip, dan bertanya lebih lanjut,”Mungkin ini semua berkaitan dengan Konan-san?”

Aku tidak ingat pernah membicarakan nama Konan ketika aku bersama dirinya.

"Aku telah mendengar dia mengunjungi kafe ketika aku tidak hadir."

— tapi, aku berpikir bahwa ada beberapa hal yang sudah dia ketahui.

"Menurut Mirai-san, kalian berdua cukup akrab, layaknya sepasang kekasih.”

Apakah Mirai-san telah bercerita tentang Konan? Aku pun tidak ingin tahu.

"Itu bukan urusanmu," Aku meludahkan kalimat itu dengan blak-blakan, dan mengalihkan pandanganku darinya.

Aku tidak ingin berbicara tentang Konan di hadapannya.

"Tapi itulah masalahnya!"

Aku bersikeras untuk menyelesaikan masalah ini dengan Konan, tanpa melibatkan dirinya.

"Aku bilang tidak, ya tidak."

Tentu saja aku sadar bahwa dia tidak mungkin mengetahui bahwa aku tidak ingin melibatkannya lebih jauh dalam permasalahan ini.

"Aku tidak bisa mengabaikannya!" Matanya tiba-tiba jadi serius, "Bagiku, semua hal tentangmu adalah penting."

Pada mata Tsukimori yang terbuka lebar, tercermin bayangan wajahku yang terlihat tak acuh.

Hentikan! Jangan menatapku dengan mata seperti itu!

Aku tidak punya hak untuk menjauhkan dirinya dari masalah yang begitu ingin kuhindari — bagaimanapun juga, akulah satu-satunya orang yang memutuskan untuk memendam perasaan ini — aku menyerah pada ketidaksenanganku, dan terus melangkah maju.

"Aku benci wanita yang ngotot!"

Mungkin aku masih bisa dimaafkan jika mengatakan itu dengan berpura-pura. Namun, aku tak sanggup menyembunyikan kejengkelanku, dan aku luapkan begitu saja.

Faktanya, aku cukup pusing akhir-akhir ini. Aku frustrasi karena tidak membuat kemajuan dengan Konan. Aku tertekan karena tidak dapat menemukan cara untuk memecahkan kebuntuan. Aku tidak bisa rileks karena selalu dibayang-bayangi Konan yang cepat-lambat akan menemukan resep membunuh itu.

Dan di atas itu semua, aku merasa lebih rendah darinya.

Tiba-tiba, Tsukimori menarik lenganku dari belakang, ”Ayo ke sini.” Dia menarikku ke bangku tua di dekat halte bus, dan memaksaku duduk. Lalu ia berlari menuju mesin penjual otomatis yang terletak beberapa meter jauhnya, lantas cepat kembali beserta dua kaleng minuman di tangannya.

Dia memasang senyum,”Kau suka 'ini', bukan?"

Dia menyodorkan kaleng jeruk dingin dan basah padaku. Aku begitu terkejut karena pada saat itu juga, semua kejengkelanku lenyap seketika.

... Youko Tsukimori benar-benar tidak bisa “diremehkan”. Rupanya dia telah menguping semua pembicaraan kami di dalam kelas.

"Jika kita bertengkar lagi di sini, meskipun Mirai-san menyuruh kita untuk berbaikan, aku tidak akan bisa menghadapi besok.”

Aku menyambar jus darinya, membuka tutupnya dan meneguk cairan oranye dingin itu dengan keras.

"Kita bisa menganggap diri kita beruntung jika memiliki seseorang yang begitu mengkhawatirkan kita. Tidakkah kau setuju?”

Rasanya asam tapi menyegarkan, dan jus jeruk itu meredakan kefrustasianku dengan sangat efektif.

"... Seperti yang kau katakan. Maafkan aku."

Tsukimori duduk di sebelahku.”Tidak, akulah yang harus minta maaf." Ujung rambutnya bergoyang.”Aku memang sedang ngambek tadi," dia tertawa cekikikan sembari terus menundukkan tatapan matanya, ”Karena akhir-akhir ini kau begitu dingin padaku.”

Dia menusukku dengan tatapan mata penuh celaan.

"Kumohon datang lagi ke tempatku kapan-kapan. Aku berjanji tidak akan melakukan hal yang tidak kau sukai lagi, oke?” katanya sembari bercanda dan tertawa, tapi aku menemukan raut wajah penuh kesepian pada ekpresinya. Aku ingat bahwa dia sendirian sekarang.

Rumah Tsukimori besar; dan terasa lebih lapang seiring dengan berkurangnya penghuni. Berbagai kekhawatiran terlintas di benakku.

"... Tapi, akhir-akhir ini kau juga cukup sibuk."

Faktanya, aku sudah cukup disibukkan dengan kehadiran Konan, sehingga tidak terlalu memperdulikan Tsukimori, tapi aku merasa sedikit bersalah saat melihat dirinya kesepian seperti itu.

"Oh ya, karena seseorang pria tertentu tampaknya tidak mau membantuku, dan benar-benar mengabaikan aku, maka aku terus membiarkan diriku hanyut dalam kesibukan.”

"Yahh, Kau bersimpati padamu."

"Aku yakin bahwa kau tidak bercanda, dan benar-benar bermaksud seperti itu ..."

Tsukimori mengangkat bahu tinggi-tinggi sembari mendesah kecil.

Benar saja, aku telah memutuskan untuk memberikan prioritasku kepada Konan, bukannya Tsukimori.

"Bagaimanapun juga, aku akan mencoba untuk bersikap normal di kafe, jadi tolong beritahu Mirai-san sesuatu yang positif,”aku mengakhiri pembicaraan kami dan berdiri.

"—Konan-san dan kau seperti saudara yang beda usia,"

Tsukimori bergumam,”Mungkin terlihat seperti itu, didukung oleh fakta bahwa kalian berdua adalah seorang pria. Aku pun jadi tak nyaman berada di antara kalian, dan memutuskan untuk pergi.”

Aku duduk lagi di bangku dan melirik pada wajahnya yang sedang merenung dari samping.

"... Konan-san dan aku seperti saudara, katamu? Tidakkah kau juga membandingkan Mirai-san dan aku dengan cara yang sama?”

"Ya. Aku baru sadar, kalian bertiga begitu mirip satu sama lain. Tentu saja, aku tidak bermaksud bahwa penampilan kalian mirip, kau mengerti?”

"Bisakah lebih jelas sedikit?"

Aku sangat tertarik bagaimana dia melihat sosokku.

"Biarkan aku berpikir ... Aku tidak tahu apakah ini adalah ungkapan yang tepat, tetapi kalian bertiga, entah kenapa, sangat mirip satu sama lain dalam hal 'cara hidup '.”

"... Cara hidup kami, ya."

"Aku minta maaf karena aku tidak bisa mendefinisikannya dengan jelas."

"Tidak, aku pikir, aku paham apa yang kau maksudkan."

'Cara hidup' adalah istilah yang agak luas, tetapi jika diartikan sebagai hal seperti 'nilai-nilai kita', maka aku harus mengakui bahwa nilai-nilai milik mereka dan milikku sangatlah berbeda. Aku bersimpati pada mereka dalam banyak hal.

Pendapat Tsukimori adalah hal yang paling menarik, itulah sebabnya aku merasa terangsang untuk mengajukan pertanyaan lebih banyak. Terutama tentang Konan.

"Katakan padaku, apa pendapatmu tentang Konan? Dia adalah orang yang cukup aneh, tidakkah kau setuju denganku?”

Tsukimori menempelkan dagu di tangannya, dan mendesah berat,”Memang aneh!"

"Kau tidak terlihat senang," aku menyatakannya.

"Aku tidak benar-benar menyukainya. Aku tidak merasa nyaman ketika dia berada di dekatku, dan aku harus berhati-hati karena dia berusaha membaca karakterku setiap saat. Jadi, benar-benar melelahkan ketika aku harus bersama-sama dengannya. Aku ingin tahu apakah semua detektif sama seperti dia?”

Dia memeluk bahunya sendiri karena hawa dingin mulai menusuk.

Aku jarang melihat dia dalam keadaan seperti ini. Namun, aku kira siapa pun akan menunjukkan reaksi serupa jika berada di dekat Konan. Orang itu memang tidak normal.

"Namun, jika ada di dekatmu, aku ingin terus bersama selama berjam-jam. Aku bertanya-tanya mengapa bisa seperti itu?”

Dia memiringkan kepalanya, dan melirik wajahku dengan pandangan layaknya Iblis kecil.

"Jangan tanya aku," aku mengalihkan tatapanku setelah melihat sorot matanya, "Aku tidak tahu tentang detektif lain, tapi aku cukup yakin bahwa dia adalah kategori orang aneh. Dia terus-menerus mengungguli analisisku. Aku bukanlah tandingannya.”

Benar. Kecerdasanku sudah mentok. Mungkin dia adalah lawan yang terlalu kuat bagi orang awam sepertiku.

"Tapi sebagai orang yang menyerupai dia, kau pasti memahami bahwa Konan-san jauh lebih baik daripada yang aku lakukan,” katanya, "Benar, kan?” Tsukimori menampilkan senyum setipis bulan sabit di mulutnya.

Hatiku berdegup kencang.

"Tidakkah kau berpikir bahwa dia lebih memperhatikan dirimu, bukannya kau. Aku kira, dia melakukannya karena suka padamu? Adalah suatu hal yang normal, ketika seseorang memperlakukanmu secara lebih spesial karena dia tahu bahwa kau memliki kesamaan karakter dengannya,” tambahnya.

Hatiku bereaksi keras untuk setiap kata-katanya.

"Itu bohong. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.”

"Memang. Dari waktu ke waktu, aku pun juga tidak paham apa yang sedang kau pikirkan, Nonomiya-kun,”dia tertawa cekikikan, sembari mengibaskan rambutnya.

Pikiranku kabur, aku merasa begitu dekat namun aku masihlah tidak bisa melihatnya.

"Apa yang kau maksudkan? Aku gagal untuk memahami apa yang ingin kau beritahukan padaku.”

Tapi aku yakin bahwa “jejak” itu berada pada suatu tempat, di depanku.

"Mhh, seperti yang aku katakan tadi, kalian berdua begitu mirip!"

Tsukimori memberikan senyum nakal dan pura-pura mendengungkan suaranya.

"Tidak, aku sudah pernah mendengar itu."

Ketika aku mendesaknya dengan suatu tatapan, ia mengangkat bahu dengan, lantas membuka mulutnya. Tampaknya dia tak begitu nyaman karena sudah kudesak.

Pikiranku lenyap saat kata-katanya mencapai telingaku.

"Jika kau ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan, maka bertindaklah seperti dirinya!”

Karena kami mirip satu sama lain, maka pemikiran kami seharusnya juga sama — Dia menambahkan senyuman.

Tanpa menunggu dia untuk menyelesaikan omongannya, aku mulai berpikir.

Sejauh ini, aku begitu cocok dengan tindakan Konan, dengan pemikiranku sendiri. Lantas apa yang akan aku lakukan? Apa yang aku ingin lakukan? Kepalaku mulai dijejali ide tanpa henti.

"... Maaf. Ada sesuatu yang harus aku lakukan,” kataku dengan cepat, memberikan 120 Yen ke tangannya, lantas berlari pulang. Aku bergegas lari melintasi kota di malam hari, tanpa peduli bahwa dia akan berteriak untuk menghentikanku.

Aku hanya ingin sendirian. Aku ingin sendirian dan memusatkan semua pikiranku yang terus meluap.

Aku belum menemukan jawaban yang jelas untuk bisa menyelesaikan urusan dengan Konan — namun aku akan berpikir tentang itu sekarang — aku yakin bahwa aku sedang berada di jalan yang benar.

Insiden ini tidak harus berakhir dengan hasil yang jelas. Dan kebenaran di balik insiden ini tidaklah penting. Aku sangat meyakini kedua hal tersebut.

Mengapa? — Karena aku berpikir demikian. Itu saja, sudah cukup bagiku.

Comments