Gekkou Bab 9. Keraguan
Aku takjub, tidak ada kesan kasihan pada tatapan mata sebagian besar siswa di
sekolah, melainkan kecemburuan dari rekan-rekannya.
Begitu
Youko Tsukimori muncul di sekolah setelah dia absen panjang, semua orang
berusaha untuk berada di dekatnya. Dalam waktu singkat, terbentuk dinding
manusia yang melindunginya dari segala arah.
"Apakah
kau baik-baik saja, Youko-san? Apakah kau tidak lelah? Jangan ragu untuk
memberitahuku jika ada sesuatu yang dapat kubantu, oke?”
"Terima
kasih, Chizuru. Aku merasa jauh lebih baik sekarang, karena aku sudah melihat
wajahmu yang indah. Aku benar-benar harus memaksa diriku untuk masuk sekolah
lebih cepat,” ia memberikan senyum brilian sembari membelai pipi Usami dengan
lembut, sedangkan Usami menatapnya dengan pandangan cemas. Tsukimori kemudian
melihat orang-orang di sekitarnya. "Rasa terimakasihku yang tulus
kuucapkan pada kalian semua. Aku tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya aku
... begitu banyak dari kalian yang mengkhawatirkan keadaanku. Aku benar-benar
beruntung memiliki teman sekelas seperti kalian!”
Dia
menutup mata dengan lembut, tanpa merusak senyumnya, sembari dia meletakkan
tangan di dadanya yang bulat.
Tergoda
oleh emosi mendalam yang ia tunjukkan, mereka semua menampilkan ekspresi lemah
lembut, dan mengangguk secara bersamaan.
Aku
hampir mencibir saat melihat Kamogawa dan teman-temannya menunjukkan ekspresi
bersungguh-sungguh yang sama sekali tidak cocok dengan mereka.
Awalnya,
teman-teman sekelasku mungkin ingin menjadi orang-orang menghibur Tsukimori
yang sedang kecewa berat, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Andaikan saja ada
seseorang yang memotret adegan tadi, dan mengatakan bahwa Tsukimori sedang
menghibur teman-temannya yang bermuram durja, maka aku pasti akan
mempercayainya. Karena Tsukimori benar-benar tak terlihat menderita kesedihan
di sini, justru teman-temannya yang secara berlebihan terharu oleh kehadiran
Tsukimori setelah lama absen.
Dengan
kata lain, jikalau tidak ada orang-orang di sekitar yang terlalu
mengkhawatirkannya, Youko Tsukimori terlihat sangat “baik-baik saja”.
Ketika ia
berada di tengah-tengah massa seperti sekarang ini, dia bisa memunculkan
“kebolehannya”.
Meskipun
semua orang mengenakan seragam yang sama dan juga berusia sama pula, di
tengah-tengah kesetaraan itu, dia terlihat begitu mencolok. Dia bersinar
layaknya rembulan di malam yang gelap: megah dan penuh keanggunan.
Karena
tidak ada cara untuk melewati benteng manusia tak tertembus yang melindunginya
dari segala arah, aku terdegradasi ke belakang layaknya seorang "rakyat
jelata" yang hanya bisa memimpikan putri dari kejauhan.
Akhirnya,
tatapan mata kami bertemu.
Aku tidak
menyangkal bahwa sorot matanya penuh dengan permohonan untuk ditolong, namun
aku tak sanggup menjamahnya saat ini. Aku tampak bodoh jikalau aku salah. Namun
di sisi lain, aku bukanlah seseorang yang mau membakar kalori untuk melakukan
hal merepotkan, karena aku sama sekali tidak punya bakat menjadi seorang ksatria
penyelamat putri. Jadi, aku memalingkan pandanganku dari kelas yang tidak lagi
nyaman, dan aku memenuhi peranku sebagai “rakyat jelata”. Aku hanya bisa
mengamati awan dari jendela koridor sebagai pelampiasan ketidakmampuanku
menggapai si putri, dan itu semua berakhir ketika kelas perwalian dimulai.
♦
Bahkan
selama istirahat berlangsung, situasi tidak berubah.
Tidak
butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa aku tidak mampu berbicara padanya
dengan benar di sekolah untuk sementara waktu, sehingga aku memilih untuk
menghabiskan waktu istirahat aku di koridor yang tenang, dan jauh dari
kebisingan.
Dia pun
beraksi cepat terhadap diriku yang menjauhi keramaian. Tsukimori yang cerdas
mulai menulis pesan pada selembar laporan dipotong empat, dan mengirimkannya
padaku selama waktu istirahat, karena dia tidak bisa berbicara denganku secara
langsung.
Untuk
mencegah orang lain melihatnya, dia memberikan kertas tersebut padaku ketika
kami berpapasan tanpa menoleh ke arahku. Dia sendiri yang mengirimkan kertas
itu secara langsung ke saku di dadaku.
Ketika
waktu belajar-mengajar sudah berakhir, aku membaca pesan-pesan darinya.
Aku
meletakkan potongan-potongan pesan yang sudah kuterima itu secara berurutan,
mulai dari pesan pertama yang aku terima pada saat istirahat tadi.
«Kenapa
kau tidak membantuku?»
«Kau tahu
perasaanku, bukan?»
«Sudah
begitu lama sejak terakhir kali kita bisa bicara bersama-sama.»
"Aku
pikir, aku akan berada di perpustakaan saat istirahat makan siang.»
"Aku
lupa betapa dinginnya hatimu.»
Dia pasti
telah menyadari bahwa memberiku surat akan menyelesaikan semuanya. Aku
merasakan semacam semangat pantang menyerah dan kebanggaan ketika dia menulis
pesan-pesan tersebut padaku.
Ngomong-ngomong,
aku memanjakan diriku sendiri dengan tidur siang di tengah hari selama jam
istirahat makan siang. Itu kulakukan karena aku harus berada pada kondisi prima
ketika menghadapinya di kafe sepulang sekolah.
Selain
itu, kalau dilihat dari kebiasaannya, masih ada satu memo yang belum dia
sampaikan padaku. Yaitu pesan "setelah-pulang-sekolah". Aku akan
melakukan sesuatu setelah membaca pesan itu.
Seperti
yang sudah kuduga, dia menjatuhkan secarik kertas di atas mejaku ketika dia
melewatiku sembari mengucapkan salam perpisahan pada teman-temannya dengan
gembira.
Suatu
senyum lepas dari mulutku ketika aku membaca pesan yang ditulis secara
tergesa-gesa itu. Itu adalah suatu permintaan yang tidak mungkin aku tolak,
jadi aku cepat-cepat menarik tasku, dan meninggalkan kelas.
«Hari ini
aku lelah. Aku tidak ingin berjalan. Aku ingin agar kau memboncengku sampai ke
kafe dengan sepeda. Sebagai imbalannya, aku akan memaafkan sikapmu hari
ini. »
Seperti
yang terlihat, tidaklah mudah menjadi orang yang selalu menjadi sorotan publik
layaknya artis. Melihat gadis itu dikerumuni orang, membuatku jadi jengkel, dan
aku pun menyadari betapa lelah menjadi pusat perhatian seharian secara
terus-menerus.
Aku puas
melihat dia menunjukkan kelemahannya padaku, meskipun hanya lewat sepucuk
surat, dan aku bersedia memenuhi keinginan sang putri untuk memberikannya
tumpangan.
Ketika
aku meninggalkan sekolah dengan pikiran seperti itu, aku menemukan seorang pria
jangkung di dekat gerbang depan.
Dia
segera melihatku, dan mengisyaratkan agar aku mendekat padanya dengan
melambaikan tangan. Dia melakukan itu sembari "bersembunyi" dalam
bayangan gerbang.
Aku lebih
suka untuk berpura-pura tidak tahu, tapi ia bukanlah orang yang akan membiarkan
aku untuk mengabaikan panggilannya. Dia akan mengejarku sampai dapat.
Aku
mengambil ponsel, dengan cepat mengetik pesan, lantas mengirimkannya. Aku
memberitahu Tsukimori bahwa aku tidak bisa menemaninya ke cafe.
Aku tidak
ingin melibatkan dirinya dalam "masalah itu". Aku tidak berencana
untuk menjadi seorang ksatria heroik yang menyelamatkan sang putri. Aku
melakukan ini hanya karena aku berpikir bahwa ini adalah urusan pribadiku
dengan si pria jangkung.
Suatu
balasan datang beberapa detik kemudian.
«Aku
tidak peduli padaku lagi!»
Betapa
cepat balasannya! Hurufnya juga banyak! Aku bisa membayangkan bahwa dia menekan
tombol ponselnya dengan kemurkaan dan kecepatan mengerikan.
Meskipun
aku merasa sedikit marah sembari aku menatap jelas langit biru, aku harus
mengakui bahwa ini adalah kesalahanku sendiri dan aku menyerah. Bagaimanapun
juga, akulah yang menghindarinya hari ini.
Bukannya
ada suatu alasan khusus.
Aku hanya
tidak ingin menjadi orang yang spesial di antara begitu banyak manusia yang
mengerumuninya.
♦
"Ya!
Mari masuk ke dalam mobilku daripada berdiri di sini.”
Konan
bertingkah humoris seperti biasa.
"Apa
yang kau inginkan dariku kali ini?"
Aku pun
menjawabnya dengan tingkah humor-pesakitan, dan aku sengaja melakukan itu.
"Apakah
aku harus memberitahumu?"
"Ya.
Aku harus pergi bekerja setelah ini, jadi aku akan membatasi ‘percakapan tak
berguna’.”
"Mh
... baik, tentu saja aku bisa memberitahumu sekarang, tetapi ini benar-benar
suatu hal buruk yang seharusnya tidak dikatakan di pintu gerbang sekolah. Masih
ingin tahu?” Tegasnya dengan alis berkerut. Siswa-siswi yang sedang menuju ke
rumah masing-masing di sekitar kami pun memberikan tatapan terkejut.
"...
Mari kita pergi. Ayo."
"Terima
kasih untuk persetujuanmu! Sangat senang bisa bekerjasama denganmu,
Nonomiya-kun!”
Aku paham
bahwa tetap berada di sini hanya akan mendatangkan rumor yang buruk, jadi aku
mengikutinya keluar dari gerbang dengan malas-malasan.
Mobil
Konan, yang diparkir di dekat sekolah pada sisi gang, adalah mobil sport
berwarna merah cerah yang cukup cocok dengan gayanya.
"Mobil
yang bagus, ya? Bukankah simbol cincin yang ada pada merknya terlihat mewah?
Aku sengaja memilih Audi bukannya Porsche, Ferrari atau Alfa Romeo? Silahkan
berpikir bahwa Audi adalah merk mobil yang cocok dengan kantong seorang PNS,
tapi jangan bilang itu keras-keras ya."
"Apakah
tidak masalah mobil seorang polisi diparkir di pinggir jalan?"
Aku tidak
mengenali struktur mobilnya, tapi aku bisa mengenali dengan begitu mudah bahwa
ada tanda dilarang parkir yang terpasang di samping mobil sport tersebut.
"Tidak
apa-apa karena aku adalah seorang detektif kepolisian. Jika aku mendapatkan
denda karena parkir ilegal, aku bisa memanfaatkan posisiku untuk
menutupi-nutupi pelanggaran tersebut.”
"Dunia
ini begitu korup."
"Siapa
ya yang membuat dunia jadi seperti ini?"
"Hati
nuranimu seharusnya tahu."
"Oh,
betapa filosofis. Maknanya terlalu dalam bagiku, jadi hentikan saja semua ini.
"
Ekspresinya
yang tak acuh menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak menghiraukan pembicaraan
kami barusan, dan itu sangat cocok dengan sifatnya. Aku harus mengakui bahwa
aku tidak punya pilihan selain menyerah dan duduk.
" —
Beberapa hari yang lalu, kau menjelaskan kepadaku tentang apa yang terjadi pada
hari ketika ibu Youko-chan menghilang, kau ingat? Yang waktu di restoran itu.”
"Ya."
Setelah
aku duduk di kursi penumpang, Konan mulai berbicara dengan suara serius.
Kewenangannya
sebagai seorang polisi seakan-akan memampatkan atmosfer di dalam mobil menjadi
begitu sesak, kemudian suasana yang penuh canda dan damai hilang seketika.
"Sebenarnya,
aku sudah berpikir berulang-ulang di dalam kepalaku, tapi ada beberapa poin
yang tidak masuk akal bagiku.”
Konan
menurunkan jendela mobil, dan menyalakan sebatang rokok yang diambil dari saku
dadanya.
"Misalnya,
telepon dari tempat kerja ibunya. Menurutku, waktunya terlalu pas. Tidakkah kau
berpikir Youko-chan benar-benar memastikan bahwa ia akan menerima panggilan
telepon ketika bersama-sama denganmu?” ia meniup aliran asap rokok keluar dari
jendela,”Apakah kamu tidak berpikir bahwa telepon yang berdering tepat pada
saat ia menempel padamu, adalah suatu hal yang aneh?”
Adegan
pada saat malam hujan itu terbesit di kepalaku lagi — ketika kami berjalan
bersama-sama diantara kepungan hujan dan manusia berpayung yang berwarna-warni.
"Bagaimana
caranya dia bisa menerima panggilan telepon pada saat yang tepat?"
Aku
langsung mengajukan pertanyaan itu secara refleks ketika dia membuatku
penasaran. Namun, aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya seseorang
mengatur panggilan telepon seperti itu.
"Bisa
saja, misalnya, dia dengan sengaja meninggalkan nomor teleponnya pada call
history mereka sebelum peluk-pelukan denganmu.” Menurut Konan, Tsukimori telah
menelepon pihak sekolah memasak beberapa kali, namun dia sengaja menutup
telepon saat mereka hendak mengangkatnya. Itu adalah suatu miss-call. Sehingga
nomor Tsukimori tercatat pada call history mereka.
Itu
adalah kasus yang gawat.
"Mengingat
betapa mendesak hal ini, mungkin mereka sudah memanggilnya beberapa kali ketika
kalian kerja?”
Bagi
pihak sekolah memasak, itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi karena mereka
kehilangan salah seorang guru tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Ini sangat
logis, mereka akan segera memanggil kembali sejumlah call history yang tidak
terjawab, walaupun itu adalah nomor asing.
"Namun,
jika Youko-chan ingin ‘meyakinkan’ bahwa dia mendapat panggilan telepon dari
mereka, maka kau harus mengetahui bahwa ponselnya berdering. Itu adalah suatu
hal yang mustahil. Kau tidak akan tahu kapan ponsel Youko-chan berdering
walaupun di sedang bersamamu.” Mulut Konan menyeringai, ”Kecuali kalian berada
pada jarak yang sangat dekat, misalnya.... sedang berpelukan.”
Aku ingat
apa yang telah kurasakan malam itu; suatu getaran dari ponsel terasa melalui
dadanya.
"...
Memang, telepon genggamnya diatur pada ... silent mode."
"Itulah
yang aku maksud. Yah, jangan pernah lupa bahwa kita sedang menghadapi seorang
Youko-chan. Ada juga kemungkinan bahwa tidak ada panggilan sama sekali sejak
awal. Dengan kata lain, dia berpura-pura mengangkat telepon. Dia bersandiwara.”
"Bersandiwara?"
"Apakah
kau pernah mendengar tentang fitur alarm pada ponsel?"
"Tentu
saja! Apa kau pikir aku adalah seorang —" Aku mulai bereaksi, tapi tidak
sanggup meneruskan kata-kataku karena aku menyadari apa yang dia maksudkan.
Konan
melanjutkan,”Ponsel tidak bergetar hanya karena ada panggilan masuk. Fungsi
alarm akhir-akhir ini telah menjadi suatu fitur yang benar-benar berguna; jika
kau mengatur alarm pada waktu tertentu, maka ponselnya akan terus bergetar
tanpa henti sampai si pemilik mematikannya secara manual.”
"Apakah
dia benar-benar melakukan itu?" Aku bertanya pada diri sendiri diam-diam
dengan beberapa tanda tanya yang muncul di atas kepalaku. Namun, apakah mungkin
Tsukimori melakukan hal semacam itu? Jawabannya jelas.
"Kau
tidak yakin bahwa orang sekelas Youko-chan melakukan hal serendah itu,
kan?"
Aku tidak
bisa menyangkalnya. Menurutku, dia mungkin saja melakukan itu.
"Yah,
kita tidak tahu apakah dia bersandiwara, atau benar-benar ada panggilan masuk.
Hanya saja, penjelasanmu membuatku berpikir bahwa kemungkinan dia bersandiwara
tidaklah nol. Tapi bagaimanapun juga, itu tidak relevan. Jangan ragu untuk
melupakannya. Dia punya niat sebenarnya yang masih belum terungkap.”
"Niat
sebenarnya ...?"
Konan
terdiam, menunggu kata-kataku berikutnya; mungkin karena ia telah menyadari
bahwa aku sedang merenung.
Tujuan
utamanya malam itu, yang membuat dia berpura-pura menjawab telepon masuk,
adalah............
".......untuk
mengajakku masuk ke dalam rumahnya?"
Dia menjentikkan
jarinya,”Bingo! Masuk akal jika tujuannya adalah untuk mengajakmu masuk ke
dalam rumahnya. Tak ada pria yang sudi meninggalkan gadis yang baru saja
kehilangan ibunya. Bahkan orang tanpa emosi sepertimu tidak akan meninggalkan
dia sendirian. Yahh, dan akhirnya kau benar-benar pergi ke rumahnya.”
Aku
merenungkan kembali kejadian malam itu dengan hipotesis yang diutarakan oleh
Konan.
— Ini
seperti bangunan yang hancur, lantas dibangun kembali dengan kecepatan tinggi.
Dan bangunan baru tersebut mempunyai wujud yang benar-benar berbeda.
Sembari
menghancurkan rokok di asbak, dia melanjutkan omongannya, "Aku pikir kau
sudah mengerti. Dia sengaja menggiringmu ke rumahnya agar kau menemukan catatan
bunuh diri pada layar komputer itu.”
Suatu
hawa dingin merambati tulang punggungku.
Jika
orang ini benar, semua yang terjadi malam telah tertulis pada skenario yang
disutradarai oleh Youko Tsukimori.
"Ada
aspek lain yang diragukan selain itu. Ingat kembali apa yang terjadi, tepat
ketika kau tiba di rumahnya. Jika aku tidak salah, hal pertama yang dia lakukan
adalah memberikanmu handuk untuk mengeringkan tubuhmu yang basah,” ia
mengangkat kepalanya dan menusukku dengan tatapan tajam, ”Itu tidak normal,
bukan? Tindakan pertama yang dilakukan seorang gadis kebingungan karena ibunya
hilang bukanlah ‘memberikan handuk’.... namun.... seharusnya.... ‘mencari
ibunya’ terlebih dahulu!”
Setelah
sampai pada kesimpulan bahwa Youko Tsukimori tidak membunuh siapa pun, aku
harus menyangkal pendapat Konan, tidak peduli se-logis apapun hipotesisnya.
"Memang,
kau ada benarnya. Dan kau juga menyampaikan fakta, namun, aku bisa merasakan
dengan jelas bahwa tidak ada seorang pun di rumahnya begitu aku masuk.
Seharusnya Tsukimori mampu memahami situasi itu jauh lebih baik daripada aku,
yang sejatinya hanyalah orang luar, meskipun aku sudah datang ke sana dua
kali.”
Namun
demikian, aku terkesan oleh semua perkataannya.
"Maksudmu,
Youko-chan bisa menyimpulkan bahwa ibunya tidak ada di rumah, bahkan tanpa
mencari terlebih dahulu?”
"Ya,"
aku mengangguk.
"Aku
tidak berpikir begitu," Konan menyeringai layaknya seorang ahli yang
argumennya tak pernah bisa disangkal, ”Tapi, aku sudah dewasa, dan aku sudah
punya banyak pengalaman di dunia ini, lho. Jadi, aku tidak bisa berpikir
se-lugas dirimu.”
Ia mampu
menyimpulkan sejauh itu setelah mendapatkan informasi yang sangat minim,
tampaknya dia memang layak bergelar detektif. Dia benar-benar orang yang sangat
piawai. Dia bahkan menerangkannya dengan begitu simpel, sampai-sampai bocah SMA
sepertiku bisa memahaminya dengan begitu mudah.
Aku
bahkan tidak sabar untuk mendengarkan analisis Konan berikutnya —
"Mungkin
saja, ibunya sudah meninggal ketika kau tiba di sana, dan dia tahu akan hal
itu. Dengan demikian, dia tidak ingin mencarinya. Ini cukup logis untuk
menerangkan sikap Youko-chan yang tidak wajar, tidakkah kau setuju denganku?”
"...
Jadi?"
Aku
menekankan suaraku, sehingga terdengar sedikit serak.
"Apa
yang kau maksudkan?"
Karena
aku tahu persis apa yang Konan akan jawab.
Seketika
aku mengalihkan mataku darinya — lengan panjang Konan berayun melewati
kepalaku, lantas tangannya mendarat dengan keras pada jendela samping kursi
penumpang.
"Apa
yang ada di atas kepalamu? Kalau boleh, aku akan blak-blakan padamu ...”
Tatapannya
yang tajam memaku diriku sembari dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Bau asap
rokok menyengat hidungku.
"...
Gadis itu, Youko Tsukimori, telah membunuh ibunya!"
Setelah
menyatakan itu, dia mengalihkan tatapan matanya ke jendela depan.
Mengikuti
dia, aku juga mengarahkan mataku ke depan. Di depan sisi gang adalah jalan
utama, yang berwarnakan merah menyala. Seseorang bisa melihat para pelajar
berlalu-lalang untuk menuju ke rumahnya masing-masing, layaknya ikan yang
berenang.
Ada satu
orang yang terpisah dari aliran manusia itu, dia berdiri pada muka gang.
Sosoknya
ramping dan berambut panjang. Karena pancaran sinar matahari terbenam, aku
tidak bisa melihat wajahnya. Namun aku bisa bilang bahwa gadis SMA ini sedang
menatap kami berdua.
Dia tidak
mendekati kami, juga tidak berjalan pergi; dia hanya menatap ke arah kami.
Sosok itu mempunyai aura yang begitu kuat, sampai-sampai kami bisa merasakan
eksistensinya walaupun dia tidak berinteraksi dengan kami.
Aku
semakin tidak nyaman di kursi penumpang, dan aku pun mendesak Konan, ”...
tolong, bawa aku keluar dari sini sekarang.”
"Apakah
kau yakin?" Tanya Konan dengan tatapan yang masih terpaku pada jendela
depan.
"Ya,"
jawabku, dan dia menjawab dengan menekankan: "Hmmm?"
Sesaat
berikutnya, ia menarik pedal ke posisi netral, memindahkan gigi, dan mundur
dari sisi gang sempit dengan cepat. Dalam waktu singkat, kami tiba di seberang
jalan di mana terdapat siswi tersebut.
Saat itu,
aku hanya bisa mengepalkan tinjuku.
Pada awalnya,
Konan tidak mengatakan apa-apa, tapi ketika kami tiba pada lampu lalu lintas
merah, ia kembali ke topik pembicaraan, seolah-olah ia telah menunggu saat-saat
itu.
"Aku
yakin, aku tidak perlu menjelaskan kepadamu bahwa dia memenuhi semua persyaratan
yang diperlukan untuk menulis catatan bunuh diri palsu milik ibunya, iya kan?”
Aku
mengangguk. Itulah batasku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku
membuka mulut.
"Dia
adalah gadis yang cerdas. Dia tahu bahwa catatan itu akan dianggap asli jika
ditemukan oleh pihak ketiga, bukan dirinya sendiri. Dan dia memilihmu untuk
menjalankan peran itu. Yahh, rencananya berjalan dengan baik sekali karena kau
lah yang menemukan catatan di layar komputer untuknya.”
Aku
mengertakkan gigiku.
"Aku
juga berpikir bahwa seharusnya dia tidak menemukan kesulitan berarti untuk
membunuh ibunya sebagai anggota keluarga. Maksudku, jangan mencatat cara dia
menghabisi nyawa ibunya! Yang dilakukannya adalah pergi ke taman sedih di
dataran tinggi, lantas mendorongnya dari tebing itu.”
Aku
mengepalkan tinjuku dengan begitu keras, sampai terasa sakit.
"Itu
mudah baginya, kan?"
Jangan
membual seperti itu! Pada dasarnya, kau juga tidak tahu apa yang dia telah
lakukan, sama sepertiku! — Aku hampir saja meneriakkan kalimat itu.
Kesabaranku
sudah habis, dan yang tersisa di kepalaku hanyalah amarah membara. Aku jengkel
ketika mendengar orang lain membicarakan Tsukimori dengan cara seperti itu,
seolah-olah taman yang tiap hari aku rawat, diinjak-injak oleh orang lain.
Konan
memarkir mobil ke trotoar dan tersenyum,”Kita tiba di sini.”
Aku
mengintip keluar dan mendapati ia telah parkir di sepanjang jalan utama, dekat
kafe.
Aku
memberinya anggukan,”Terima kasih."
Sesaat
setelahnya, ia memasang senyumnya yang sembrono dan mengangkat bahu layaknya
orang Amerika.
"Maaf
karena telah mengejutkanmu. Tapi sekali-sekali aku harus menunjukkan bahwa aku
masihlah seorang polisi, dan pekerjaanku adalah detektif, lho” ia tersenyum
tipis, tapi matanya sama sekali tidak tampak senang, ”Dan aku tidak ingin
menyebabkan kesalahpahaman yang bisa membuat dirimu menyembunyikan sesuatu
dariku selamanya.” Dia menarikku lebih dekat dengan bahuku, " ... aku akan
sangat berterima kasih padamu jika kau bisa segera ingat beberapa info yang
menarik, karena itu akan membantu agar pekerjaanku tidak berantakan ...”
Bisikan
tegasnya mengirim menyebabkan aku merinding.
Aku
menduga bahwa orang yang diancam dengan menempelkan pisau pada lehernya,
merasakan sensasi serupa.
Aku
mengalihkan pandanganku tanpa menjawab, dan mendapati bayangan seseorang pada
kaca mobil.
Dia
adalah seorang pria SMA muram yang tidak bergerak sedikitpun, kecuali
mengedipkan kelopak matanya. Aku melihat bahwa tangan siswa itu memegang dada
kirinya.
Aku
merasakan sentuhan familiar dengan jari-jariku.
— Resep
membunuh.
Tanganku
menegang tanpa kusadari.
Itu
adalah secarik kertas yang aku lindungi dengan segenap jiwa dan raga.
Karena
resep membunuh adalah satu-satunya benda yang bisa membuatku mengungguli Konan,
sekaligus kartu as terakhirku terhadap Youko Tsukimori.
Aku
mengepel kafe remang-remang setelah waktu tutup. Tiba-tiba, suatu bayangan
menghambat pekerjaanku itu. Aku mendongak dan mendapati si pemilik bayangan
sedang berdiri dengan kaki megagah, dan lengan bersilangan.
"Apakah
kalian sedang bertengkar atau sejenisnya?" Tanya Mirai-san, sembari
menatapku dengan alis berkerut.
"Bertengkar?
Siapa? Dengan siapa?"
Aku tidak
berpura-pura karena aku benar-benar tidak tahu.
"Apakah
kamu bodoh? Kau dan Youko tentu saja, siapa lagi?”
"Aku
benar-benar tidak berpikir bahwa aku bodoh ... tapi, kenapa kau berpikiran
begitu?”
"Tingkah
laku kalian berdua membuat aku sakit mata! Akhir-akhir ini kau sama sekali
belum berbicara padanya, kan?”
Sambil
bersandar ke tongkat pel, aku memikirkannya.
"...
benarkah begitu?"
Aku
hampir tidak mengingat apa yang telah terjadi hari ini.
"Jangan
berlagak bodoh. Jelas-jelas kau sering melamun hari ini.”
Benar
juga, aku harus mengakui bahwa aku sering melamun karena memikirkan perkataan
dari Konan. Selama bekerja, aku berulang kali memikirkan cara untuk mematahkan
argumen orang itu.
Semakin
aku memikirkannya, semakin aku yakin bahwa aku tidak punya kesempatan untuk
mengalahkannya.
"Pokoknya,
tinggalkan kebiasaan burukmu itu karena aku sudah muak melihatnya — "
"Keberatan!"
"Ditolak!"
Dia tidak
punya simpati.
"Biarkan
aku melanjutkan perkataanku; kali ini, Youko juga bertindak aneh. Seakan-akan,
dia mendekatiku agar menjauh darimu ... Jadi, apa yang telah kau lakukan
padanya? Ayolah, jelaskan permasalahanmu. Setidaknya, aku ingin mendengarkannya
darimu.”
Seperti
biasa, dia sangat keras kepala dengan pendapatnya sendiri.
"Apakah
kau tidak berpikir bahwa akulah yang menjadi korban di sini?"
"Ya.
Apapun yang terjadi, aku berada di pihak Youko.”
"Dunia
ini tidak masuk akall!"
"Ohh,
baru sadar ya?" Dia membalas ratapanku dengan perkataan angkuh, ”kemanapun
kamu pergi; dunia tidaklah masuk akal dan tidak adil. Itulah yang terjadi,
makanya terdapat sistem kasta di dunia ini. Jadi mengapa aku harus repot-repot
sok suci, jika aku tinggal di dunia yang begitu busuk? Aku hidup dengan
aturanku sendiri.”
Jika kau
pernah membayangkan kata: "egois" berwujud seperti manusia, maka
wajahnya pasti mirip dengan wanita ini.
"Cara
hidupku sederhana, bukan?"
Yah,
memang sangat sederhana.
Aturan
mainnya hanya satu: semua keinginannya harus terpenuhi, tak peduli orang lain
mau bilang apa. Sudah, itu saja.
Tapi aku
tidak bisa membayangkan betapa sulitnya mentaati kata: "Sudah, itu
saja". Itu bukanlah sesuatu yang siapa pun bisa lakukan. Tidak semua orang
sekuat dirinya.
Seakan-akan,
dia terus bermain gitar tanpa membiarkan kebisingan dunia mengganggu konsernya.
Pasti ada
semacam “ikatan” antara orang seperti dia, sebagai pembuat masalah, egois, atau
bahkan membenci mereka. Aku setuju bahwa pandangan tersebut sangat dibenarkan
sampai sejauh ini.
"...memang.
Sederhananya, aku hampir cemburu.”
Sialnya,
aku cukup memahami orang seperti Mirai-san.
Aku hanya
bisa tertawa, sambil membayangkan seorang wanita nekat seperti Mirai-san
mengambil Mike dengan satu tangan, dan mengacungkan jari tengahnya pada
orang-orang yang dibencinya, tak peduli seberapa tinggi posisi mereka. Sebagai
salah satu fans-nya, aku pikir, "Tidak ada salahnya, jika dunia ini
berisikan satu atau dua orang seperti Mirai-san."
"Oke,
kau harus minta maaf sekarang."
"Padamu?"
Aku menggodanya. Mirai-san tersenyum, dan heran.
"Dasar
idiot. Tidak ada gunanya meminta maaf kepadaku. Orangnya ada di sana. Kau harus
meminta maaf pada 'Tuan Putri' yang sedang mengurutkan catatan, yang dari tadi
mengintip pembicaraan kita!” kata "Sang Ratu" dengan suara keras.
Aku
berbalik dan menemukan Tsukimori berdiri pada meja registrasi.
Tatapan
mata kami bertemu.
"Aku
mendengar bahwa Tuan Putri sedang mengharapkan agar seseorang minta maaf
padanya. Apakah itu benar?” Tanyaku dengan nada yang cukup sinis. Tsukimori
hanya menunduk dan melihat-lihat tangannya sendiri.
"Mengapa
kau harus meminta maaf padaku? Kita tidak pernah sekalipun bertengkar, bukan?”
dia menjawab sambil mengurutkan catatan satu demi satu.
"Apakah
Tuan Putri berpikiran lain?"
"Perhatikan,
tidakkah dia terlihat sedang ngambek padamu? Itu jelas sekali! Sekarang,
ayolah, aku bersedia bertindak sebagai perantara bagi kalian berdua. Jadi,
angkat bokongmu dan katakan maaf padanya sekarang juga.”
"Jangan
khawatir, Mirai-san. Aku tidak marah sedikit pun. Tapi, walaupun kami berdua
sedang bertengkar, dan meskipun aku mengharapkan permintaan maaf dari Nonomiya-kun....
semuanya tidak akan ada gunanya jika dia tidak merasa bersalah. Aku hanya akan
menerimanya jika dia meminta maaf dengan sepenuh hati,” kata Tsukimori dalam
satu kali tarikan napas.
"'Jangan
khawatir'? 'Tidak marah sedikit pun'?” Aku kesal karena Tsukimori menyinggungku
secara tak langsung dan ironis, ”Jika dia ingin mengatakan sesuatu, dia harus
mengatakannya dengan sejelas mungkin, tidakkah kau setuju Mirai-san?”
"Sekarang
lihat dia, Mirai-san. Kau tidak dapat menyebutnya pertengkaran jika
Nonomiya-kun bahkan tidak menyadari apa yang telah ia lakukan.”
"Aku
tidak akan minta maaf, Mirai-san! Dia Cuma ke-PD-an!!”
"Mirai-san,
jangan pikirkan lagi si keras kepala ini."
Tiba-tiba,
Mirai-san mengacak-acak rambutnya yang rapih dengan kedua tangan dan ...
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH !!!"
... dia
berteriak sampai menguras semua udara di paru-parunya.
"Sialan!
Tutup mulutmu! Kau mulai membuatku naik pitam!”
Manajer
dan Saruwatari-san secara hati-hati mengintip dari ruang staff untuk memeriksa
apa yang sedang terjadi.
"Ini!
Benar-benar! Merepotkan!”
Mirai-san
menjulurkan tangannya ke kepalaku, dan meraih leherku. Hatiku yang berdebar
menunjukkan bahwa dia masih punya aura feminim sebagai wanita.
Dia
mengabaikan keluhanku dan menuju ke meja register sembari berteriak,”Ayo
sini!"
Setelah
tiba di sana, dia mengulurkan tangannya yang bebas. Seperti yang sudah kuduga
sebelumnya, dan juga meraih leher Tsukimori dengan cara yang sama.
Kami
berdua, di tengah-tengah terdapat Mirai-san, dipaksa untuk saling berdekatan
sampai wajah kami hampir menempel.
Aku
sedang tidak ingin melihat wajah Tsukimori, tapi untungnya, dada datar
Mirai-san cukup untuk menghalangi pandanganku.
Mungkin
dia tidak akan pernah mau mendengar itu dari mulutku.
"Kau
tahu, aku bukanlah orang yang begitu sabar! Aku tidak tahan melihat hal-hal
yang merepotkan terjadi di depan mataku! Lupakan tentang pekerjaan yang
tersisa, dan keluar sekarang juga!”
Dia
berteriak pada kami berdua, dan mengungkapkan amarahnya yang orang buta pun
sudah tahu.
"Nonomiya!
Kau meminta maaf kepada Youko! Dan Youko, kau ampuni Nonomiya ketika dia
meminta permohonan maaf darimu!”
katanya sambil cemberut pada kami,
"Aku
tidak peduli tentang alasan di balik pertengkaran ini, tapi kalian harus baikan
sembari berjalan pulang ke stasiun! Kemudian kalian datang untuk bekerja besok
seperti biasa! Mengerti? Itu adalah perintah!”
Sebelum
aku sadari, Tsukimori dan aku saling bertukar pandang, dan sesaat kemudian kami
mendesah pada saat yang sama.
"Hei,
bagaimana dengan balasanu!?"
Menghadapi
perintah absolut dari seekor binatang buas, kami berdua saling bertukar pandang
sekali lagi, dan tidak punya pilihan selain mengangguk dengan enggan,”... aku
mengerti."
Hanya
diterangi oleh lampu jalanan yang bersinar putih, kami berjalan di sepanjang
gang sempit menuju stasiun. Kami terdiam seribu bahasa.
Setelah
memasuki jalan di sepanjang jalan utama, pandangan kami dipenuhi dengan cahaya
neon yang cantik. Jumlah orang meningkat sebanding dengan penerangan yang
semakin menyilaukan, dan kebisingan juga semakin nyaring terdengar. Kami
bermandikan warna kuning dari lampu mobil yang melintas. Suara sirine menggema
dari kejauhan, sedangkan seekor anjing menyalak seakan menjawab suara sirine
tersebut. Dan kami tetap terdiam seribu bahasa.
Tsukimori
lah yang akhirnya menyibak atmosfir canggung ini.
Dia
berhenti tiba-tiba.
"Akhir-akhir
ini, kau bertingkah sedikit aneh" bisiknya, untuk membahas pokok
permasalahan secara langsung, ”Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Apakah
aku terlihat seperti itu?" Tanyaku kembali.
Dia
sedikit memiringkan dagunya yang lancip, dan bertanya lebih lanjut,”Mungkin ini
semua berkaitan dengan Konan-san?”
Aku tidak
ingat pernah membicarakan nama Konan ketika aku bersama dirinya.
"Aku
telah mendengar dia mengunjungi kafe ketika aku tidak hadir."
— tapi,
aku berpikir bahwa ada beberapa hal yang sudah dia ketahui.
"Menurut
Mirai-san, kalian berdua cukup akrab, layaknya sepasang kekasih.”
Apakah
Mirai-san telah bercerita tentang Konan? Aku pun tidak ingin tahu.
"Itu
bukan urusanmu," Aku meludahkan kalimat itu dengan blak-blakan, dan
mengalihkan pandanganku darinya.
Aku tidak
ingin berbicara tentang Konan di hadapannya.
"Tapi
itulah masalahnya!"
Aku
bersikeras untuk menyelesaikan masalah ini dengan Konan, tanpa melibatkan
dirinya.
"Aku
bilang tidak, ya tidak."
Tentu
saja aku sadar bahwa dia tidak mungkin mengetahui bahwa aku tidak ingin
melibatkannya lebih jauh dalam permasalahan ini.
"Aku
tidak bisa mengabaikannya!" Matanya tiba-tiba jadi serius, "Bagiku,
semua hal tentangmu adalah penting."
Pada mata
Tsukimori yang terbuka lebar, tercermin bayangan wajahku yang terlihat tak
acuh.
Hentikan!
Jangan menatapku dengan mata seperti itu!
Aku tidak
punya hak untuk menjauhkan dirinya dari masalah yang begitu ingin kuhindari —
bagaimanapun juga, akulah satu-satunya orang yang memutuskan untuk memendam
perasaan ini — aku menyerah pada ketidaksenanganku, dan terus melangkah maju.
"Aku
benci wanita yang ngotot!"
Mungkin
aku masih bisa dimaafkan jika mengatakan itu dengan berpura-pura. Namun, aku
tak sanggup menyembunyikan kejengkelanku, dan aku luapkan begitu saja.
Faktanya,
aku cukup pusing akhir-akhir ini. Aku frustrasi karena tidak membuat kemajuan
dengan Konan. Aku tertekan karena tidak dapat menemukan cara untuk memecahkan
kebuntuan. Aku tidak bisa rileks karena selalu dibayang-bayangi Konan yang
cepat-lambat akan menemukan resep membunuh itu.
Dan di
atas itu semua, aku merasa lebih rendah darinya.
Tiba-tiba,
Tsukimori menarik lenganku dari belakang, ”Ayo ke sini.” Dia menarikku ke
bangku tua di dekat halte bus, dan memaksaku duduk. Lalu ia berlari menuju mesin
penjual otomatis yang terletak beberapa meter jauhnya, lantas cepat kembali
beserta dua kaleng minuman di tangannya.
Dia
memasang senyum,”Kau suka 'ini', bukan?"
Dia
menyodorkan kaleng jeruk dingin dan basah padaku. Aku begitu terkejut karena
pada saat itu juga, semua kejengkelanku lenyap seketika.
... Youko
Tsukimori benar-benar tidak bisa “diremehkan”. Rupanya dia telah menguping
semua pembicaraan kami di dalam kelas.
"Jika
kita bertengkar lagi di sini, meskipun Mirai-san menyuruh kita untuk berbaikan,
aku tidak akan bisa menghadapi besok.”
Aku
menyambar jus darinya, membuka tutupnya dan meneguk cairan oranye dingin itu
dengan keras.
"Kita
bisa menganggap diri kita beruntung jika memiliki seseorang yang begitu
mengkhawatirkan kita. Tidakkah kau setuju?”
Rasanya
asam tapi menyegarkan, dan jus jeruk itu meredakan kefrustasianku dengan sangat
efektif.
"...
Seperti yang kau katakan. Maafkan aku."
Tsukimori
duduk di sebelahku.”Tidak, akulah yang harus minta maaf." Ujung rambutnya
bergoyang.”Aku memang sedang ngambek tadi," dia tertawa cekikikan sembari
terus menundukkan tatapan matanya, ”Karena akhir-akhir ini kau begitu dingin
padaku.”
Dia
menusukku dengan tatapan mata penuh celaan.
"Kumohon
datang lagi ke tempatku kapan-kapan. Aku berjanji tidak akan melakukan hal yang
tidak kau sukai lagi, oke?” katanya sembari bercanda dan tertawa, tapi aku
menemukan raut wajah penuh kesepian pada ekpresinya. Aku ingat bahwa dia
sendirian sekarang.
Rumah
Tsukimori besar; dan terasa lebih lapang seiring dengan berkurangnya penghuni.
Berbagai kekhawatiran terlintas di benakku.
"...
Tapi, akhir-akhir ini kau juga cukup sibuk."
Faktanya,
aku sudah cukup disibukkan dengan kehadiran Konan, sehingga tidak terlalu
memperdulikan Tsukimori, tapi aku merasa sedikit bersalah saat melihat dirinya
kesepian seperti itu.
"Oh
ya, karena seseorang pria tertentu tampaknya tidak mau membantuku, dan
benar-benar mengabaikan aku, maka aku terus membiarkan diriku hanyut dalam
kesibukan.”
"Yahh,
Kau bersimpati padamu."
"Aku
yakin bahwa kau tidak bercanda, dan benar-benar bermaksud seperti itu ..."
Tsukimori
mengangkat bahu tinggi-tinggi sembari mendesah kecil.
Benar
saja, aku telah memutuskan untuk memberikan prioritasku kepada Konan, bukannya
Tsukimori.
"Bagaimanapun
juga, aku akan mencoba untuk bersikap normal di kafe, jadi tolong beritahu
Mirai-san sesuatu yang positif,”aku mengakhiri pembicaraan kami dan berdiri.
"—Konan-san
dan kau seperti saudara yang beda usia,"
Tsukimori
bergumam,”Mungkin terlihat seperti itu, didukung oleh fakta bahwa kalian berdua
adalah seorang pria. Aku pun jadi tak nyaman berada di antara kalian, dan
memutuskan untuk pergi.”
Aku duduk
lagi di bangku dan melirik pada wajahnya yang sedang merenung dari samping.
"...
Konan-san dan aku seperti saudara, katamu? Tidakkah kau juga membandingkan
Mirai-san dan aku dengan cara yang sama?”
"Ya.
Aku baru sadar, kalian bertiga begitu mirip satu sama lain. Tentu saja, aku
tidak bermaksud bahwa penampilan kalian mirip, kau mengerti?”
"Bisakah
lebih jelas sedikit?"
Aku
sangat tertarik bagaimana dia melihat sosokku.
"Biarkan
aku berpikir ... Aku tidak tahu apakah ini adalah ungkapan yang tepat, tetapi
kalian bertiga, entah kenapa, sangat mirip satu sama lain dalam hal 'cara hidup
'.”
"...
Cara hidup kami, ya."
"Aku
minta maaf karena aku tidak bisa mendefinisikannya dengan jelas."
"Tidak,
aku pikir, aku paham apa yang kau maksudkan."
'Cara
hidup' adalah istilah yang agak luas, tetapi jika diartikan sebagai hal seperti
'nilai-nilai kita', maka aku harus mengakui bahwa nilai-nilai milik mereka dan
milikku sangatlah berbeda. Aku bersimpati pada mereka dalam banyak hal.
Pendapat
Tsukimori adalah hal yang paling menarik, itulah sebabnya aku merasa terangsang
untuk mengajukan pertanyaan lebih banyak. Terutama tentang Konan.
"Katakan
padaku, apa pendapatmu tentang Konan? Dia adalah orang yang cukup aneh,
tidakkah kau setuju denganku?”
Tsukimori
menempelkan dagu di tangannya, dan mendesah berat,”Memang aneh!"
"Kau
tidak terlihat senang," aku menyatakannya.
"Aku
tidak benar-benar menyukainya. Aku tidak merasa nyaman ketika dia berada di dekatku,
dan aku harus berhati-hati karena dia berusaha membaca karakterku setiap saat.
Jadi, benar-benar melelahkan ketika aku harus bersama-sama dengannya. Aku ingin
tahu apakah semua detektif sama seperti dia?”
Dia
memeluk bahunya sendiri karena hawa dingin mulai menusuk.
Aku
jarang melihat dia dalam keadaan seperti ini. Namun, aku kira siapa pun akan
menunjukkan reaksi serupa jika berada di dekat Konan. Orang itu memang tidak
normal.
"Namun,
jika ada di dekatmu, aku ingin terus bersama selama berjam-jam. Aku
bertanya-tanya mengapa bisa seperti itu?”
Dia
memiringkan kepalanya, dan melirik wajahku dengan pandangan layaknya Iblis
kecil.
"Jangan
tanya aku," aku mengalihkan tatapanku setelah melihat sorot matanya,
"Aku tidak tahu tentang detektif lain, tapi aku cukup yakin bahwa dia
adalah kategori orang aneh. Dia terus-menerus mengungguli analisisku. Aku
bukanlah tandingannya.”
Benar.
Kecerdasanku sudah mentok. Mungkin dia adalah lawan yang terlalu kuat bagi
orang awam sepertiku.
"Tapi
sebagai orang yang menyerupai dia, kau pasti memahami bahwa Konan-san jauh
lebih baik daripada yang aku lakukan,” katanya, "Benar, kan?” Tsukimori
menampilkan senyum setipis bulan sabit di mulutnya.
Hatiku
berdegup kencang.
"Tidakkah
kau berpikir bahwa dia lebih memperhatikan dirimu, bukannya kau. Aku kira, dia
melakukannya karena suka padamu? Adalah suatu hal yang normal, ketika seseorang
memperlakukanmu secara lebih spesial karena dia tahu bahwa kau memliki kesamaan
karakter dengannya,” tambahnya.
Hatiku
bereaksi keras untuk setiap kata-katanya.
"Itu
bohong. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.”
"Memang.
Dari waktu ke waktu, aku pun juga tidak paham apa yang sedang kau pikirkan,
Nonomiya-kun,”dia tertawa cekikikan, sembari mengibaskan rambutnya.
Pikiranku
kabur, aku merasa begitu dekat namun aku masihlah tidak bisa melihatnya.
"Apa
yang kau maksudkan? Aku gagal untuk memahami apa yang ingin kau beritahukan
padaku.”
Tapi aku
yakin bahwa “jejak” itu berada pada suatu tempat, di depanku.
"Mhh,
seperti yang aku katakan tadi, kalian berdua begitu mirip!"
Tsukimori
memberikan senyum nakal dan pura-pura mendengungkan suaranya.
"Tidak,
aku sudah pernah mendengar itu."
Ketika
aku mendesaknya dengan suatu tatapan, ia mengangkat bahu dengan, lantas membuka
mulutnya. Tampaknya dia tak begitu nyaman karena sudah kudesak.
Pikiranku
lenyap saat kata-katanya mencapai telingaku.
"Jika
kau ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan, maka bertindaklah seperti
dirinya!”
Karena
kami mirip satu sama lain, maka pemikiran kami seharusnya juga sama — Dia
menambahkan senyuman.
Tanpa
menunggu dia untuk menyelesaikan omongannya, aku mulai berpikir.
Sejauh
ini, aku begitu cocok dengan tindakan Konan, dengan pemikiranku sendiri. Lantas
apa yang akan aku lakukan? Apa yang aku ingin lakukan? Kepalaku mulai dijejali
ide tanpa henti.
"...
Maaf. Ada sesuatu yang harus aku lakukan,” kataku dengan cepat, memberikan 120
Yen ke tangannya, lantas berlari pulang. Aku bergegas lari melintasi kota di
malam hari, tanpa peduli bahwa dia akan berteriak untuk menghentikanku.
Aku hanya
ingin sendirian. Aku ingin sendirian dan memusatkan semua pikiranku yang terus
meluap.
Aku belum
menemukan jawaban yang jelas untuk bisa menyelesaikan urusan dengan Konan —
namun aku akan berpikir tentang itu sekarang — aku yakin bahwa aku sedang
berada di jalan yang benar.
Insiden
ini tidak harus berakhir dengan hasil yang jelas. Dan kebenaran di balik
insiden ini tidaklah penting. Aku sangat meyakini kedua hal tersebut.
Mengapa?
— Karena aku berpikir demikian. Itu saja, sudah cukup bagiku.
Comments
Post a Comment