Gekkou Bab 11. Cahaya Bulan
Pada
malam hari. Aku meneleponnya.
- Aku
ingin berbicara denganmu.
Aku
membuat janji untuk bertemu.
Karena
akan memakan waktu, rapat itu ditetapkan pada hari Sabtu setelah bekerja. Dia
yang menjawab kami bertemu di Rumah, tapi aku menolak. Aku tidak punya
kenangan yang bagus di sana.
Oleh
karena itu, dia mempertanyakan taman di atas bukit. Itu adalah taman di
mana izin jatuh. Aku menjawab dengan segera.
-
Dimengerti.
Tentu
saja aku waspada karena dia memilih taman itu, meminta tempat lain, namun aku
tertarik dengan pemandangan di tempat itu.
Kalau
dipikir-pikir, dia tidak begitu terkejut dengan permintaanku yang tiba-tiba. Dia
bahkan menerimanya dengan siap.
Aku kira,
dia sudah mengira bahwa hari ini akan datang.
Tidak,
itu tidak benar.
Dia telah
menunggu dengan menyiapkan antisipasi.
Suaranya
ceria terdengar begitu ceria, seakan-akan dia mengundang kencan.
Itu
adalah malam bulan purnama.
Bulan
berwarna emas tergantung di langit, memerintah bintang-bintang bak seorang
raja, menyinari bumi dengan cahaya yang begitu kuat, sampai-sampai seseorang
lupa kapan pun tiba.
Perlu
beberapa menit berjalan melewati rumah Tsukimori untuk mencapai taman tersebut.
Pada saat
pagar hijau Taman Viridian * terlihat oleh pandanganku, napasku tak menentu dan
samar, seakan-aku bisa pingsan setiap saat.
[Secara makna, Viridian adalah warna pigmen hijau kebiruan. Kamus Oxford.]
Aku memeriksa waktu pada arlojiku. Lewat jam sebelas, itu wajar karena aku telah kembali ke rumah, mandi, kemudian mengenakan pakaian ganti.
Yah, aku
ingin pergi ke taman tepat setelah menyelesaikan berbagai pekerjaanku, tapi
Tsukimori menghentikan aku.
Dia
bersikeras agar aku berpenampilan rapi untuk kencan pertama kami.
Mengesampingkan
fakta penting bahwa ini bukan kencan, aku pun menerima sarannya begitu saja.
Bagaimanapun juga, itu adalah hal yang baik.
Aku
membutuhkan beberapa waktu untuk menghubungkan antara diriku dan kehidupan
sehari-hari.
Aku
mencapai pintu masuk taman. Tidak ada yang istimewa; yang terdapat di sana
hanyalah suatu ruang kecil dengan beberapa pohon dan peralatan bermain yang
berserakan secara terpisah. Satu-satunya benda yang menarik perhatianku adalah
menara jam kayu putih di dekat tebing.
Aku
memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam. Udara segar mengisi
paru-paruku. Aku menghembuskannya dengan perlahan, memeriksa saku baju kiri
untuk terakhir kali, dan memasuki taman.
" —
Aku hampir bosan menunggu."
Aku
memicingkan mata ke arah suara tersebut.
"Tapi
aku harus bersyukur karena kau benar-benar datang, kan?"
Ketika
sosoknya tercermin di mataku, aku hanya bisa menahan napas. Tsukimori, yang
tampak seperti Putri Salju, sedang duduk di bagian atas jungle-gym* berwarna
merah.
[Jungle-gym
adalah portal terbuat dari besi yang biasanya dipakai bergelantungan oleh
anak-anak kecil. Benda seperti ini terdapat banyak di taman bermain.]
"Mengenakan
pakaian serba hitam benar-benar cocok untukmu, Nonomiya-kun."
Kecuali
kemeja putih yang aku kenakan di balik jaket, aku memang berpakaian serba
hitam.
Tsukimori
tertawa cekikikan,”Tapi itulah yang aku harapkan darimu, sehingga aku
mencocokkan dengan berpakaian serba putih.”
Dia
mengenakan gaun dan sepatu berwarna putih. Dia juga terbungkus oleh syal putih
semi-transparan di sekitar bahunya, dan menghiasi rambutnya dengan ornamen
putih.
Pada
mataku, aku melihat Tsukimori Si Putri Salju sedang memegang bulan sabit di
bahunya.
"Bagaimana
kalau kita mulai kencan kita, oke?"
Youko
Tsukimori menyilangkan kaki, bersandar pada sikunya, dan kepalanya sedikit
miring. Seikat rambut hitam yang indah menggantung di mulutnya.
Pemandangan
ini mirip mimpi. Aku cepat-cepat menggeleng untuk menyingkirkan halusinasi itu.
"...
sehari setelah kau memintaku untuk berpacaran denganmu, kau mengatakan bahwa
kita berdua harus memperdalam pemahaman satu sama lain, kan?”
"Ya,"
dia mengangguk.
"Kau
juga mengatakan bahwa, tidak masalah bagiku untuk membuat keputusan setelah
kita mengenal satu sama lain dengan lebih baik, kan?”
"Ya,"
dia menyipitkan sebelah matanya.
"Sayangnya,
aku masih tidak memahamimu dengan baik. Kita masih jauh dari kata: kencan.”
"Kalau
begitu, apa sebenarnya yang ingin kau ketahui dariku?"
—
"Semuanya," aku hampir menjawab demikian. Tapi setelah melihat
senyumnya yang penuh percaya diri, hanya ada satu hal yang harus kukatakan.
"Kau
membunuhnya, bukan?"
Saat
berikutnya, dia melompat dari atas jungle-gym ke langit biru yang gelap.
Syalnya
berkibar pada kedua sisi bak sepasang sayap angsa, lantas ia mendarat dengan
lembut layaknya bulu yang jatuh dari sayap tersebut.
"Apa
yang akan aku dengar darimu sekarang?"
"Yahh,
kau bisa menyebutnya,"
Aku berpura-pura merenung dan lanjut berbicara dengan wajah datarku yang biasa,
”solusi dari teka-teki yang disebut Youko Tsukimori.”
Aku berpura-pura merenung dan lanjut berbicara dengan wajah datarku yang biasa,
”solusi dari teka-teki yang disebut Youko Tsukimori.”
Tidak
gentar, Tsukimori terus tersenyum seperti biasa.
"Aku
paham, tampaknya ini jauh lebih menarik daripada kencan."
Tapi,
seperti itulah caraku. Dan aku ingin agar dia menjadi musuhku yang berharga.
Pada
suatu waktu, aku pernah menyimpulkan bahwa Tsukimori tidak membunuh siapa pun
karena aku yakin, dia tidak akan melakukan sesuatu yang begitu bodoh.
Namun,
situasi telah berubah ketika seorang pria berintuisi tajam muncul. Tidak butuh
waktu lama sampai teoriku dibantahkan karena suatu kecurigaan dan kontradiksi.
Konan pun memanduku ke pemikiran lain yang semakin memperjelas fakta dibalik
kasus ini.
Secara
logika, tak terelakkan lagi bahwa keraguanku kembali muncul karena aku sadar
betul, resep membunuh itu ada di tanganku.
Orang-orang
mungkin bertanya, mengapa aku menyimpulkan demikian jika aku sudah benar-benar
yakin bahwa dia tidak berdosa sejak awal.
Memang
benar aku telah memiliki beberapa petunjuk yang memungkinkan bahwa ibunya
bersalah, seperti fakta tentang resep membunuh yang kemungkinan ditulis
olehnya. Namun, pada saat yang sama, aku juga pernah menyadari bahwa
petunjuk-petunjuk tersebut tidak selalu membuktikan Tsukimori tak bersalah.
Intuisiku
sendiri juga menjadi faktor penentu, dan meyakinkan bahwa dia memang bersalah.
Baru
sekarang, aku menyadari bahwa aku benar-benar berharap dia bukanlah sang
pembunuh. Orang bisa mengatakan bahwa imajinasiku menuntunku untuk berpikir
demikian karena aku tidak ingin kehilangan orang yang sangat membuatku
tertarik.
Dengan
kata lain, keinginanku sendiri lah yang membuat dia tidak bersalah, namun tentu
saja fakta tidak selalu sama dengan keinginan, bahkan kebanyakan berbeda.
Aku duduk
di pagar, sementara dia naik ayunan berwarna biru.
Aku mulai
menjelaskan alasan satu per satu, mengapa aku mencurigai dirinya.
1.
Panggilan telepon terlalu-pas dari sekolah memasak.
2. Fakta bahwa telepon genggamnya telah diatur pada silent mode.
3. Dia perilaku tidak wajar ketika memberikan aku handuk, bukannya mulai mencari ibunya dengan panik.
4. Dan fakta adanya catatan bunuh diri yang ditulis bukan dengan tangan, melainkan pada komputer.
2. Fakta bahwa telepon genggamnya telah diatur pada silent mode.
3. Dia perilaku tidak wajar ketika memberikan aku handuk, bukannya mulai mencari ibunya dengan panik.
4. Dan fakta adanya catatan bunuh diri yang ditulis bukan dengan tangan, melainkan pada komputer.
Selanjutnya,
aku bercerita tentang hipotesis bahwa dia menginginkan diriku untuk menjadi
penemu catatan bunuh diri tersebut.
Tsukimori
dengan tenang mendengarkan semua penjelasanku, dan mengangguk sesekali tanpa
menyangkal ataupun mengakui sesuatu.
Ketika ia
mendengarkan teoriku, ia melemparkan tatapan matanya ke langit malam, terhanyut
dalam pikirannya sendiri, sebelum akhirnya dia bertanya dengan pasti,
”Apakah kau mendapatkan semua teori ini dari Konan-san?”
”Apakah kau mendapatkan semua teori ini dari Konan-san?”
Aku
mengangguk. Seperti yang sudah Tsukimori duga sebelumnya, sebagian besar
argumenku muncul setelah aku melakukan percakapan dengan Konan.
"Tapi
aku setuju dengan semua teori milik pria itu, sehingga kau boleh menganggap
bahwa teori-teori itu asli berasal dari pemikiranku sendiri.”
Tsukimori
menampakkan ekspresi terkejut.
"Jadi
selama aku absen, kalian membicarakan hal seperti itu?" dia merengut
padaku dan sedikit menekuk bibirnya.”Teganya kau! Apakah kalian berdua
mencurigai aku?”
"Tidak,"
Aku menggeleng.
”Konan-san tidak ada hubungannya lagi dengan kasus ini. Akulah satu-satunya orang yang mencurigaimu saat ini.”
Aku menggeleng.
”Konan-san tidak ada hubungannya lagi dengan kasus ini. Akulah satu-satunya orang yang mencurigaimu saat ini.”
Dia
tersentak kagum,
”Benar-benar mengejutkan bahwa Konan-san berhenti mencurigai aku, padahal dia tampak begitu ulet. Sihir apa yang sudah kau gunakan padanya, Nonomiya-kun?”
”Benar-benar mengejutkan bahwa Konan-san berhenti mencurigai aku, padahal dia tampak begitu ulet. Sihir apa yang sudah kau gunakan padanya, Nonomiya-kun?”
"Ini
semua berkat petunjuk yang kau berikan padaku,"
Aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan sehingga aku tidak perlu repot-repot menyebutkan "Resep Cinta".
Aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan sehingga aku tidak perlu repot-repot menyebutkan "Resep Cinta".
Faktanya,
jika bukan karena Resep Cinta, mungkin aku sudah kalah dari Konan.
"Oh,
apakah ada sesuatu dariku yang secara kebetulan menjadi petunjuk bagimu?"
Tsukimori tersenyum. Dia menatapku dengan lembut. Itu adalah tatapan lembut dari seorang kakak yang memuji adiknya karena baru saja mendapatkan prestasi tertentu.
Tsukimori tersenyum. Dia menatapku dengan lembut. Itu adalah tatapan lembut dari seorang kakak yang memuji adiknya karena baru saja mendapatkan prestasi tertentu.
Itu
membuatku menghela napas panjang dan berat.
"...
Aku paham ... jadi dia benar-benar memberiku petunjuk," Aku berpikir
demikian dalam hati.
Mengingat
betapa cepat dia menyadari aku meminjam kata-kata dari Konan, mungkin dia sadar
betul bahwa Konan dan aku sudah mencurigainya selama ini.
Sembari
mencamkan itu di dalam pikiranku, dia terlihat begitu mirip dengan seorang
artis yang licik. Mengingat kembali malam ketika kami dilemparkan oleh
Mirai-san; sikapnya yang terang-terangan padaku tidaklah normal sama sekali,
dan caranya membicarakan tentang Konan jugalah tidak wajar.
Aku
berhenti menghitung, tapi seperti yang terlihat, lagi-lagi dia mempermainkan
aku. Aku harus mengakui itu: dia adalah seorang artis yang jauh lebih piawai
daripada diriku.
Karena
aku terdiam, ia memiringkan kepalanya sedikit,
"Mh?"
"Mh?"
Sejak
tadi, dia menampilkan senyuman sempurna tanpa celah, meskipun aku telah
menuduhnya dengan sebutan "pembunuh".
Senyumnya
adalah sesuatu yang khas. Dalam pikiran orang lain, Youko Tsukimori mungkin
digambarkan sebagai wanita suci yang selalu tersenyum.
Bagaimanapun
juga, Youko Tsukimori yang ingin aku lihat bukanlah seperti ini. Saat ini, aku
sedang merenungkan bagaimana aku bisa membekukan senyum sempurna miliknya.
Jariku
secara refleks meraba-raba pada saku dada sebelah kiri.
"...
Benar, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."
Bagaimanapun
juga, tidak mungkin aku menggunakan “itu”. Aku menyelipkan tanganku ke dalam
jaket.
Apa yang
aku keluarkan adalah secarik kertas yang terlipat empat kali.
"Apa
ini?" Tsukimori bertanya sambil menyambar kertas itu dariku.
Aku
melihat bahwa Tsukimori sedang meremehkan kertas yang terlipat itu.
Dengan
tatapan yang masih terpaku, dia pun berbisik,
”... Aku menghargai semua benda yang kau berikan padaku, tapi ini bukalah suatu hadiah yang layak.”
”... Aku menghargai semua benda yang kau berikan padaku, tapi ini bukalah suatu hadiah yang layak.”
"Apa
boleh buat: bagaimanapun juga, itu bukanlah hadiah. Aku hanya mengembalikan
sesuatu kepada sang pemilik,”
Aku tidak mengalihkan pandanganku darinya,
”Ini milikmu, bukan?"
Aku tidak mengalihkan pandanganku darinya,
”Ini milikmu, bukan?"
Aku
menatapnya tepat di mata, dan tidak berani bernapas atau bahkan berkedip. Bisa
dikatakan bahwa, aku terus melindungi benda itu sampai saat-saat terakhir tiba.
Tentu saja, aku ingin melihat reaksinya ketika dia mendapatkan kembali benda
tersebut.
Dia
mengangkat kepalanya dengan senyum yang berbentuk seperti bulan sabit.
"Ya,
ini dia!" Dia mengakui dengan begitu siap.
"Kalau
begitu, mari sekarang kita bicara tentang — 'Resep Membunuh' ini."
Ini
adalah kartu as yang berhasil aku lindungi dari Konan.
Dia
tertawa datar,
”Jadi begitu ya? Yahh, kau tidak pernah melewatkan 'benda yang menarik', iya kan?”
”Jadi begitu ya? Yahh, kau tidak pernah melewatkan 'benda yang menarik', iya kan?”
Pada
pandangan pertama, Tsukimori tampak seperti biasa.
"Sejujurnya,
aku lebih suka tidak memungut benda seperti itu, tapi mungkin aku bisa memenuhi
harapanmu jika memang seperti itulah keinginanmu. Sebagai imbalannya,
berjanjilah padaku — "
Tapi aku
bertanya-tanya pada diriku sendiri: apakah dia menyadari sedikit perubahan yang
terjadi pada wajahnya?
" —
bahwa kau tidak akan membenciku. Ok?"
Dia
tersenyum seperti biasa, tapi kali ini matanya terlihat serius.
Aku
mengamati sisi Youko Tsukimori yang tidak diketahui siapa pun. Rasanya
seolah-olah, aku selangkah lebih dekat ke arahnya. Tentu saja, aku sama sekali
tidak puas dengan hal itu.
Aku ingin
melihat lebih banyak sisinya yang tidak diketahui.
Tapi
tidak perlu tergesa-gesa; ada cukup banyak waktu sampai matahari terbit.
"...
kau sudah tahu sejak lama, kan?"
"Apanya?"
"Bahwa
resep membunuh itu telah jatuh ke tanganku."
Aku
selalu punya firasat demikian. Bagaimanapun juga, dia tiba-tiba bertanya padaku
untuk menjadi pacarnya, meskipun kami berdua tidak begitu banyak bicara kecuali
salam. Dia mendekatiku segera setelah aku memperoleh resep membunuh.
Tapi,
baru sekarang aku yakin. Reaksinya yang biasa membuktikan bahwa ia tidak
terkejut sama sekali.
Tsukimori
mengangkat dan menurunkan alisnya beberapa kali dalam keragu-raguan.
"Aku
telah menyadarinya, ya,"
akhirnya dia mengangguk dengan tenang.
”Apakah kamu ingat apa yang terjadi pada kelas, sewaktu pagi hari setelah aku kehilangan resep?”
akhirnya dia mengangguk dengan tenang.
”Apakah kamu ingat apa yang terjadi pada kelas, sewaktu pagi hari setelah aku kehilangan resep?”
Aku mengingat
kembali saat pagi hari itu, ketika dia mengatakannya kepadaku.
"Pagi
itu, kau menegurku, Nonomiya-kun. Itu cukup membuatku terkejut. Oleh karena
itu, aku berpikir tentang alasan apa yang mendasarinya. Tidak butuh waktu lama
sampai aku menemukan jawabannya.”
"...
Jadi aku menggali kuburan sendiri, ya,"
aku menepuk jidatku secara refleks.
aku menepuk jidatku secara refleks.
Betapa
bodohnya diriku karena mengungkapkan rahasiaku sendiri! Aku tidak mampu menekan
rasa ingin tahuku, lantas menegurnya pada waktu pagi hari itu. Tapi memang, itu
adalah suatu hal yang janggal, mengingat keadaan hubunganku dan Tsukimori pada
saat itu.
Aku
menggeleng keras untuk menyingkirkan pikiran liar, mengambil napas dalam-dalam,
dan terus menjaga ketenangan semampuku.
"...
Ketika aku pertama kali memperoleh resep membunuh,"
aku melanjutkan dengan subjek lain, seakan-akan mengubur kesalahan yang telah aku lakukan,
”Aku berpikir bahwa kau lah yang telah menulis itu. Aku bahkan beranggapan bahwa pemilik kertas itu adalah si penulis. Bagaimanapun juga, kata 'resep', terus mengganggu pikiranku sejak saat itu. Bukankah seharusnya lebih umum ditulis dengan judul: rencana pembunuhan?”
aku melanjutkan dengan subjek lain, seakan-akan mengubur kesalahan yang telah aku lakukan,
”Aku berpikir bahwa kau lah yang telah menulis itu. Aku bahkan beranggapan bahwa pemilik kertas itu adalah si penulis. Bagaimanapun juga, kata 'resep', terus mengganggu pikiranku sejak saat itu. Bukankah seharusnya lebih umum ditulis dengan judul: rencana pembunuhan?”
Hanya
suaraku yang terdengar di seluruh taman yang diterangi oleh cahaya bulan.
"Tapi
ketika aku mengetahui bahwa ibumu adalah seorang guru di suatu sekolah memasak,
aku menyadari bahwa kata 'resep' mungkin adalah suatu istilah yang sangat umum
digunakan olehnya. Aku pun beranggapan bahwa ibumu lah yang telah menulis surat
itu. Lantas aku pun menemukan catatan lain milik ibumu yang berisikan tentang
resep memasak. Aku membandingkan keduanya, dan aku pikir, keduanya identik.”
"Kau
selalu memenuhi harapanku, Nonomiya-kun,”
ia menyela dan menutup mulutnya lagi.
ia menyela dan menutup mulutnya lagi.
Suatu
pernyataan yang bermakna, untuk memastikan, tapi itu tidak menolak semua yang
telah aku ungkapkan.
"Apapun
itu, sekarang aku ingin bertanya padamu... Mengapa resep milik ibumu ada di
tanganmu?”
Aku
bersandar sedikit ke depan dan melirik ekspresi wajahnya.
"Tak
lama setelah aku mulai bersekolah di SMA, aku menemukan resep itu secara tak
sengaja — "
Dia
berkata dengan tenang sambil merenung.
" —
aku pun segera menyadari bahwa ibuku hendak membunuh......"
"Ayahmu."
"Ya.
Ngomong-ngomong, ini bukanlah satu-satunya resep membunuh; masih ada banyak
yang lainnya. Mungkin, bahkan ada beberapa yang belum aku temukan.”
"...
aku baru tahu."
Aku
tergelitik untuk membaca resep-resep lainnya.
"Aku
pikir, ibuku tidak menyadari bahwa aku tahu tentang keberadaan resep-resep itu,
sampai akhir hayatnya. Aku merahasiakannya dari dia.”
"Apa
pendapatmu tentang resep-resep itu? Kau berniat melakukan apa setelah
memperoleh resep-resep itu?”
"Yah
..."
Sambil
menatap kosong ke udara, dia mengusap rambut di samping telinga dengan jarinya.
Mungkin, dia sedang mencari kata yang tepat.
"...
Ketika aku pertama kali membaca resep tersebut, aku terkejut karena ternyata
dia juga memiliki wajah 'jelek'.”
Aku terus
menatapnya.
"Aku
mengenalnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang khas. Seorang wanita yang
selalu memperhatikan penampilan dan perilakunya.”
"...
dari apa yang kulihat selama upacara pemakaman, cukup sulit bagiku untuk
membayangkan bahwa ibumu punya sifat lain seperti itu.”
Tiba-tiba,
suatu bayangan tentang Tsukimori berpakaian hitam sedang menenangkan hati
ibunya yang sedih, terbersit di pikiranku. Lantas, bayangan itu hancur
berkeping-keping sampai menjadi debu, kemudian lenyap ditiup angin.
"Aku
tidak tahu seperti apa kau membayangkan sifat wanita itu, tapi aku tidak pernah
lupa identitas asli wanita itu,”
Tsukimori memberikan senyum yang biasa terlihat pada sampul majalah fashion,
”Bagaimanapun juga, dia tetaplah ibuku."
Tsukimori memberikan senyum yang biasa terlihat pada sampul majalah fashion,
”Bagaimanapun juga, dia tetaplah ibuku."
Anak
perempuan seperti ibunya? Tidak, urutan yang lebih tepat adalah: "Ibu
seperti anak perempuannya"? Apapun itu, saat aku memikirkannya, aku
mendapatkan citra baru tentang dirinya. Dengan analogi, hal yang sama pasti
juga berlaku pada ayahnya.
"Ibuku
bekerja sebagai guru pada suatu sekolah memasak terbesar, di suatu daerah. Dia
menangani kelas berisikan siswa yang tak terhitung jumlahnya, setiap hari.
Rupanya, dia bahkan beberapa kali sempat tampil pada acara masak-memasak di TV,
dan dia telah menerbitkan beberapa buku memasak. Aku mendengar bahwa dia cukup
terkenal pada acara memasak sebagai: 'ilmuwan kuliner yang cantik'.”
Aku
memikirkan gambaran lain tentang ibunya.
"Sekarang,
bayangkan wanita terhormat seperti itu menulis sesuatu yang begitu murahan. Aku
benar-benar terkejut,”
dia mengangkat bahu sedikit, sembari mengekspresikan rasa takjubnya.
dia mengangkat bahu sedikit, sembari mengekspresikan rasa takjubnya.
"Murahan,
ya?"
Aku mengulangi kata bermakna tertentu yang telah dia ucapkan.
Aku mengulangi kata bermakna tertentu yang telah dia ucapkan.
"Tapi
kau berpikir sama, bukan? Setelah membaca itu, aku serius ingin tahu apakah dia
benar-benar bermaksud untuk membunuh seseorang dengan menggunakan metode
seburuk itu. Metode membunuh seperti itu bahkan belum layak disebut rencana.
Sekarang, aku berpikir bahwa dia mungkin telah memilih kata 'resep' karena dia
menyadari itu terlalu buruk untuk disebut ‘rencana’.”
"Aah,
aku paham."
Aku
benar-benar memikirkan hal yang sama.
"Memang,
sebagai rencana pembunuhan, itu sangatlah buruk dan tampaknya tidak lengkap.
Kau boleh menganggap bahwa seseorang akan memerlukan kesempatan beratus-ratus
kali untuk berhasil membunuh dengan menggunakan metode seperti itu.”
"Mm,"
mulanya dia setuju denganku, tetapi aku melanjutkan omonganku, dan itu membuat alisnya terangkat.
mulanya dia setuju denganku, tetapi aku melanjutkan omonganku, dan itu membuat alisnya terangkat.
"Tapi
aku berpikir bahwa.... justru karena resep itu cacat... resep itu jadi begitu
ampuh.”
"Apa
maksudmu?"
Aku
melihat sisi lain Tsukimori yang terkesan amatir. Aku telah memikirkannya
seperti itu sejak awal.
"Apakah
ada orang yang membayangkan bahwa rencana pembunuhan berdasar keberuntungan
semata, benar-benar eksis di dunia ini?”
Tsukimori
kehilangan kata-kata. Tentu saja dia tak sanggup berbicara. Beberapa saat
sebelumnya, ia menyatakan bahwa ia tidak pernah membayangkan ibunya menulis
resep semacam itu.
"Jika
rencana itu berjalan dengan lancar, bukankah pembunuhan tersebut akan terlihat
seperti 'kecelakaan' murni?”
"Itu
adalah cara yang menarik untuk berpikir mengenai hal tersebut," dia
mengangguk dengan ekspresi terkesan.
Aku
melanjutkan,”Aku tahu suatu insiden yang hampir membuktikan teoriku — "
" —
kecelakaan ayahku, kan?" Jawabnya sebelum aku bisa menyelesaikan
kalimatku.
"...
Kau mengakuinya?"
Aku
sedikit terkejut melihat reaksinya yang tak terduga.
"Apakah
aku harus menyangkalnya? Adalah hal yang wajar jika seseorang meragukan
‘keaslian’ kecelakaan tersebut setelah membaca resep itu, walaupun hanya
sekali."
Dia
mengguncang lembaran kertas itu di samping kepalanya, dan menjepitnya dengan
ujung jari.
Aku
akhirnya menyadari apa yang mengganggu pikiranku selama ini, tentang dirinya.
"Sampai
aku menemukan resep itu, aku tidak tahu bahwa ibuku memiliki sifat yang begitu
keras. Aku kira, motifnya adalah kecemburuan — meskipun kedua orang tuaku tidak
menjalin hubungan dengan baik, dan tidak saling peduli — tampaknya ibuku tahu
bahwa ayah memiliki simpanan lain. Mungkin dia tidak bisa menerima kehadiran
wanita selain dirinya. Dalam hal ini, perempuan secara umum lebih cemburu
daripada laki-laki. Kau harus berhati-hati juga, Nonomiya-kun.”
Meskipun
itu tentang ibunya, dan tentang keluarganya, aku merasakan semacam kesenjangan
pada nada bicaranya yang tak acuh. Seolah-olah, dia tidak peduli. Seolah-olah,
dia sedang berbicara tentang suatu rumor yang menyebar pada lingkungan di
sekitar.
Keyakinanku
semakin dalam.
"Aku
hanya bisa melihatmu sebagai seorang anak yang membunuh orang tuanya,"
Aku berkata terus terang, sedudah Tsukimori mencemoohku.
Aku berkata terus terang, sedudah Tsukimori mencemoohku.
"Meskipun
aku tidak memiliki alasan?"
Dia
memiringkan kepalanya sambil mempertahankan senyum.
"Bukannya
aku tidak mempedulikan motifmu. Malahan, aku sangat tertarik. Tapi, jika aku
hanya mempertimbangkan dari sudat pandang: mungkin atau tidak mungkin — sudah
lama aku memikirkan bahwa kau sangat mungkin... dan sangat mampu melakukan
pembunuhan tersebut.”
Tsukimori
menyipitkan mata sampai berbentuk mirip bulan sabit untuk kedua kalinya.
"Kamu
sudah mengakui bahwa apa yang tertulis dalam resep membunuh lebih mirip seperti
kecelakaan lalu lintas. Sekarang, jika itu bukanlah suatu kecelakaan yang
kebetulan, melainkan suatu insiden yang direncanakan oleh seseorang berakal
sehat... maka si pelaku tidak mungkin orang yang tidak membaca resep itu, kan?”
Tsukimori
menempatkan dagu di tangannya, dan mengamatiku dengan tatapannya.
"Atau,
jika aku boleh mengatakan sebaliknya, itu hanya bisa dilakukan oleh seseorang
yang telah membaca resep tersebut, kan?”
Aku
memejamkan mata dan menarik napas.
"Aku
tahu persis tiga orang yang membaca resep itu sebelum kecelakaan ayahmu
terjadi. Pertama, si penulis resep — yaitu ibumu. Kedua, orang yang memperoleh
resep itu secara kebetulan — yaitu aku. Dan ketiga — "
Aku
menunjuk pada selembar kertas yang dia pegang di tangan.
"Orang
yang kehilangan resep — yaitu Youko Tsukimori. Yang tak lain adalah dirimu
sendiri."
Tsukimori
masih membisu.
"Aku
yakin bahwa kau, Youko Tsukimori, bisa melaksanakan rencana tersebut, tidak
peduli betapa murahan dan cacat isi rencana tersebut.”
Dia
memecah keheningan dengan berbisik.
"...
taukah kamu apa yang sedang kurasakan di dalam hatiku?"
"Jika
aku bisa mengetahui isi hatimu dengan begitu mudah, maka aku tidak perlu
repot-repot mengamatimu selama ini.”
"Aku
benar-benar tersentuh. Aku merasa sangat mencintaimu karena kau begitu memahami
diriku, meskipun kau mungkin akan mengatakan bahwa aku salah dengan nada
bicaramu yang dingin, seperti biasa.”
"Kau
salah."
Aku
memenuhi permintaannya dengan membubuhi nada dingin ekstra.
Dia
benar-benar tidak masuk akal bagiku. Meskipun aku telah menuduhnya sebagai
seorang pembunuh, senyum sempurnanya masih saja tidak berubah, dia juga tidak
memprovokasi atau cemas. Perilakunya yang tanpa perubahan membuatku berpikir bahwa
mungkin saja dia tidak menyembunyikan suatu hal pun.
Apakah
hanya rasa percaya diri yang mendasari ketenangannya saat ini? Apakah dia
begitu percaya diri untuk menyangkal setiap tuduhan yang aku lemparkan padanya?
Ini tidak
cukup. Jika aku tidak menyelidiki lebih dalam dan memecahkan pertahanannya, aku
tidak akan pernah melihat apa yang aku cari.
"...
Sesuatu telah mengganggu pikiranku sejak awal,”
Aku memulai lagi
"Mengapa kau begitu obyektif* terhadap orang tuamu sendiri? Kau begitu tenang saat membicarakan mereka, seakan-akan mereka hanyalah orang asing bagimu.”
[Ciu pertegas bahwa obyektif memiliki beberapa makna, dan di sini artinya adalah: tidak terpengaruh oleh perasaan atau opini pribadi. Kamus Oxford.]
Aku memulai lagi
"Mengapa kau begitu obyektif* terhadap orang tuamu sendiri? Kau begitu tenang saat membicarakan mereka, seakan-akan mereka hanyalah orang asing bagimu.”
[Ciu pertegas bahwa obyektif memiliki beberapa makna, dan di sini artinya adalah: tidak terpengaruh oleh perasaan atau opini pribadi. Kamus Oxford.]
Tsukimori menampilkan ekspresi sedikit ragu-ragu.
"Kau
pikir begitu? Aku sudah berusia 17 tahun lho, jadi aku tidak lagi harus
bergantung pada orang tua? Bukankah sudah menjadi hal umum jika para pemuda
menjaga jarak terhadap kedua orang tuanya?”
Aku
segera melayangkan keberatan
”Tidak, tidak."
”Tidak, tidak."
Tsukimori
menyegel mulutnya dan merengut padaku.
"Oh,
ayolah, jelas-jelas ada sesuatu yang aneh. Maksudku, ibumu menyusun rencana
untuk membunuh ayahmu! Jika kalian benar-benar suatu keluarga, kau harus
mencoba untuk menghentikannya, bukan?”
Tsukimori
melebarkan matanya untuk sesaat.
"Apakah
kau tahu kenapa aku mempertanyakan tindakanmu setelah kau menemukan resep? Itu
karena aku berharap bahwa kau akan mencegah ibuku melakukan hal tersebut. Tapi
kau hanya mencurahkan pemikiranmu terhadap resepnya."
Dia
membuka mulutnya sedikit, dia ingin mengatakan sesuatu.
" —
apakah kau pernah sekali saja berpikir untuk menghentikan ibuku?"
Ekspresi
tak berdaya yang Tsukimori tunjukkan pada saat itu, merupakan jawaban yang
jelas tanpa harus diungkapkan dalam bentuk perkataan.
Dia
meringkuk, dan memeluk kakinya yang ramping.
"Meskipun
kau memiliki hubungan yang hampa dengan kedua orang tuamu, anehnya tidak ada
tanda-tanda bahwa kau sedang berselisih dengan mereka.”
Mempertimbangkan
kembali berbagai reaksi dan ekspresi yang Tsukimori tunjukkan padaku di masa
lalu, aku meyakini bahwa ia tidak peduli tentang hilangnya
"masyarakat", yang biasa dikenal sebagai keluarga. Setelah kehilangan
kedua orang tua, dia tampak semakin rapuh dari waktu ke waktu. Aku yakin bahwa
sebenarnya dia tidak ingin kehilangan orang tuanya. Anak mana yang bersedia
kehilangan orang tuanya.
"Kau
menganggapnya menarik, bukan?"
Itulah
yang bisa aku simpulkan.
Jika aku
dipaksa untuk berbicara tentang sesuatu hal yang tidak menarik, maka tentu saja
aku akan berbicara dengan hampa.
"...
Daripada mengatakan bahwa aku tidak tertarik, akan lebih cocok untuk mengatakan
bahwa kami tidak memiliki keperluan untuk saling memahami satu sama lain,” gumamnya.
”Aku tidak membenci orang tuaku, kau tahu? Jujur. Yang terjadi adalah, Keluarga Tsukimori dibangun atas dasar konsep individualisme. Ada suatu aturan tak tertulis yang menyatakan bahwa kami dilarang mencampuri urusan sesama keluarga. Bahkan, karena adanya aturan itulah, keluarga kami tetap sanggup menjalin keharmonisan.”
”Aku tidak membenci orang tuaku, kau tahu? Jujur. Yang terjadi adalah, Keluarga Tsukimori dibangun atas dasar konsep individualisme. Ada suatu aturan tak tertulis yang menyatakan bahwa kami dilarang mencampuri urusan sesama keluarga. Bahkan, karena adanya aturan itulah, keluarga kami tetap sanggup menjalin keharmonisan.”
Seolah
mengenang, Tsukimori menyipitkan matanya sedikit.
"Aku
sudah bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri ketika aku masih kecil.
Ibuku juga tidak mempunyai masalah jika kalau harus hidup tanpa adanya ayah. Dan
ayahku, dia hanya melanjutkan perannya untuk memenuhi kebutuhan finansial rumah
tangga, tapi dia tidak campur tangan dalam urusan rumah tangga itu sendiri.
Terserah kau mau percaya atau tidak, ketika aku masih kecil, aku menganggap
ayahku sebagai seorang paman baik hati yang memberi kami uang.”
Senyumnya
melukiskan makna bahwa dia membantah apa yang sedang dia katakan.
"Kau
perlu tahu bahwa aku tidak pernah berpikir untuk menghentikan tindakan ibuku.”
Dengan
senyum tak berdaya, dia melemparkan tatapan matanya ke bawah.
"Aku
bisa menerima resep membunuh itu tanpa masalah karena aku berpikir bahwa ibuku
memiliki pertimbangan dan kehidupannya sendiri. Tapi, seharusnya aku
menghentikannya, tepat seperti yang kamu katakan.”
Dia
mengepalkan tangannya, aku bisa melihat jari putih Tsukimori terbenam ke dalam
genggaman telapak tangannya.
"Andaikan
saja aku dibesarkan dalam keluarga yang berbeda, mungkin aku akan bertindak
berbeda pula.”
Tsukimori
mengangkat wajahnya.
"Tapi
kau tahu,"
katanya dengan suara hampa,
”Itulah caraku dibesarkan sejak saat aku lahir.”
katanya dengan suara hampa,
”Itulah caraku dibesarkan sejak saat aku lahir.”
Tatapan
matanya menyesakkan napas. Tidak ada penyesalan sebiji zarah pun pada raut
wajahnya yang terkesan jujur dan penuh keagungan. Menurutku, Youko Tsukimori
adalah seorang gadis yang kuat.
Tapi pada
saat yang sama dia tampak begitu kesepian.
Pada saat
keindahannya terpancar, dia tampak begitu cantik dan fana layaknya fatamorgana,
sampai-sampai perutku bergejolak karenanya.
"Tidakkah
kau kesepian?"
Dia
segera menjawab pertanyaanku dengan menggelengkan kepala.”Tidak sama
sekali," katanya sambil tersenyum.
Bagiku,
hidup tanpa mengandalkan seorang pun tampak begitu kesepian. Namun, dia sendiri
menyatakan bahwa dia tidak kesepian.
"Bahkan
sampai sekarang?" Aku mengajukan pertanyaanku yang ditolak sekali
lagi.”Apakah kau masih merasa tidak kesepian bahkan sampai sekarang, padahal
kedua orang tuamu telah pergi?”
Aku
mendapati bahwa dia menjalani suatu kehidupan yang begitu suram. Mungkin hanya
asumsiku saja, tapi bagiku Tsukimori tampak kesepian sembari dia duduk di sana
tanpa sepatah kata pun.
Sesaat
berikutnya, dia menampilkan senyum sedikit canggung, dan menatap langit malam.
Bulan yang tercermin pada mata Tsukimori menjadikannya bersinar dengan cahaya
emas.
Ketika ia
kembali menatap diriku, dia menyatakan,”Aku tidak kesepian — "
Sikap
menggoda yang biasa dia tunjukkan padaku, kini tak kelihatan.
"—karena
sekarang kau berada di sini untukku, Nonomiya-kun."
Aku
melihat senyuman di mata dan bibirnya. Dia sepenuhnya serius.
Ini
adalah saat yang mengesankan, di mana aku akhirnya berhasil membekukan
senyumnya.
Menara
jam hampir menunjukkan pukul dua belas.
Dia tidak
punya motif kuat untuk membunuh orang tuanya. Setidaknya, aku belum bisa
menemukan satu pun.
Selanjutnya,
pandanganku terhadap Youko Tsukimori bukanlah seorang gadis yang melakukan
sesuatu hal bodoh seperti pembunuhan, dan itu adalah fakta yang tak tergoyahkan
bagiku.
Namun
orang tuanya telah pergi.
Aku
berbisik,”... Aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkan perasaan ini."
Apakah
ada kata yang sesuai?
Aku
pegangan pada pagar karena aku tidak bisa duduk diam, lantas aku berkeliling di
taman sendirian. Aku meninggalkannya di belakang.
Sembari
mengurutkan pikiranku, aku berjalan perlahan dan dengan berhati-hati merasakan
bumi di bawah pijakan kakiku setiap langkah. Tanpa sadar, kakiku mengantar
diriku pada tebing dengan pemandangan kota yang indah.
Akhirnya
aku mencapai batas antara taman dan tebing.
Batas
ditandai dengan pagar hijau Viridian yang berkarat, sedikit lebih tinggi dari
pinggangku. Aku membungkuk dan melihat ke bawah. Aku pikir, tidak sulit bagiku
untuk jatuh dari atas tebing, menuju ke lereng yang curam.
Aku
mengistirahatkan lengan yang kusilangkan, dan aku meletakkan daguku pada pagar.
Itu menyebabkan pagar yang berbatasan dengan taman menekuk sedikit ke depan.
Aku pun menatap pemandangan kota.
Mataku
dipenuhi pemandangan kota dengan semua lampu yang bersinar. Kota itu tidaklah
mirip dengan hingar-bingar metropolis yang megah di malam hari, namun aku
masihlah terharu ketika melihat kampung halamanku dalam keadaan bersinar
seperti ini.
Meskipun
ukurannya kecil, selalu ada sesuatu yang terjadi di sana. Malam ini juga, pasti
ada mobil sport merah milik pria menyebalkan tertentu yang sedang melaju untuk
mengurusi suatu kasus di suatu tempat. Apakah si pecandu cokelat itu belum
tidur? Gadis kecil yang menyerupai marmoset kerdil itu pasti sudah terhanyut
dalam alam mimpi.
Wajah
berbagai orang yang kukenal terlintas dalam pikiran layaknya presentasi
slideshow.
"Bukankah ini indah? Inilah yang ingin kutunjukkan padamu, Nonomiya-kun.”
Gadis
yang berada di sampingku juga menyaksikan orang-orang di kota yang tampak
seperti titik-titik cahaya dari kejauhan.
Embusan
dingin mengacak-acak rambutnya. Dia memeluk dirinya sendiri karena kedinginan.
Adegan
ini mengingatkanku pada hari hujan, ketika dia merasa kedinginan sembari
mengenakan seragam basah.
Tidak
mungkin aku lupa kejadian pada malam itu, karena dia menyatakan beberapa hal
tentang orang yang saling bunuh. Tentu saja, aku juga tidak akan melupakan
jawabannya.
Begitu
aku teringat jawaban itu, tubuhku secara spontan mulai gemetar, diikuti oleh tawa
yang lepas dari mulutku.
"...
Pada akhirnya, aku menemukan jawaban. Aku akhirnya menyadari apa yang membuat
kau membunuh orang tuamu!” bisikku.
Dia hanya
berkomentar dengan tenang,
”Aku paham."
”Aku paham."
Dia
berada di tepi tatapan mataku, dan aku berada di tepi tatapan matanya. Aku pun
menyadari eksistensi dirinya.
"Karena
kau merasa suka melakukannya."
Ketika
aku tertawa sambil mengatakan itu, dia menjawab dengan senyuman mirip seorang
gadis yang baru saja menerima beberapa butir permen.
”Kau hebat."
”Kau hebat."
Saat ia
mengatakannya kepadaku pada malam itu, 'merasa suka melakukannya’ adalah
satu-satunya cara untuk menjelaskan tindakan tanpa alasan.
Aku
tertawa karena itu adalah suatu jawaban yang konyol. Siapa yang akan percaya
pada hal seperti itu?
Satu-satunya
orang yang mampu memahaminya adalah aku dan — Youko Tsukimori.
Tiba-tiba,
dia mendekat.
"...
Jika semua yang kau katakan benar, maka aku adalah seorang wanita yang
mengerikan,"
bisiknya lirih di telingaku
”Menewaskan orang tuaku, menipu semua orang, menipu dirimu dan masih hidup tanpa ada kekhawatiran sedikit pun.”
bisiknya lirih di telingaku
”Menewaskan orang tuaku, menipu semua orang, menipu dirimu dan masih hidup tanpa ada kekhawatiran sedikit pun.”
Kemudian,
syalnya yang semi-transparan melayang ke tanah.
"Tapi
tidak bisa dipungkiri: ada beberapa kasus jarang terjadi pada manusia, yang
tidak terikat pada aturan apapun. Orang-orang yang tidak dibatasi oleh apapun,
yaitu mereka yang begitu bebas — "
Aku
terkejut. Dia melompat ke atas pagar tanpa ragu-ragu sedetik pun. Pagar itu
perlahan-lahan membungkuk ke arah jurang bersama dengan dirinya.
" —
Nonomiya-kun. Sekarang kau putuskan! Jika kau tidak menghukumku, yaitu Youko
Tsukimori si wanita mengerikan, maka aku akan tetap bebas selamanya di dunia
ini.”
Sembari
duduk di pagar, dia benar-benar bersandar ke belakang, yaitu ke arah jurang.
Rambutnya terurai ke arah kegelapan jurang. Dia menahan tubuhnya hanya dengan
sepasang lengan putih ramping yang masih memegang pagar. Aku bisa melihat
lekukan leher putihnya yang menyerupai seorang Putri Salju.
"Jika
kau menilai bahwa aku tidak layak untuk hidup ... maka, kau tahu apa yang harus
kau lakukan, kan?”
Sedikit
dorongan pada dadanya sudah cukup untuk mengirimnya ke bawah tebing.
"...
Apakah kau sudah tidak waras? Apakah kau mengerti apa yang kau katakan?”
Aku
meragukan kewarasannya.
"Siapa
tahu? Aku menganggap bahwa diriku sendiri masih waras. Yah, mungkin memang
benar bahwa aku sedikit tidak waras karena menyukai seorang pria nyentrik
seperti dirimu.”
Seolah-olah
menikmati baluran sinar bulan, ia menutup matanya dengan ekspresi tenang.
"Sejak
dahulu, aku sudah memutuskan untuk mengabdikan seluruh hidupku pada 'yang telah
ditakdirkan'. Kau boleh percaya padaku.”
Sepetinya,
dia telah menyerahkan "segala sesuatu" termasuk nyawanya.
"...
Aku benar-benar gagal untuk memahami pemikiranmu saat ini. Apanya yang sudah
ditakdirkan padamu?”
Jawabannya
begitu singkat dan jelas.
"Pangeranku."
Kata-katanya
disertai dengan senyum bahagia yang sukar dipahami. Sama sekali tidak ada rasa
takut pada wajahnya, sehingga bisa disimpulkan bahwa dia sedang serius.
Tiba-tiba,
bayangan akhir ibunya, yang Konan telah jelaskan kepadaku, melintas di benakku.
Suatu hawa dingin merambat di tulang belakangku. Aku tanpa sengaja telah
membayangkan suatu adegan yang sangat spesial.
Adegan yang begitu indah, di mana Youko Tsukimori mati dengan tubuh dikelilingi oleh Azalea mekar berwarna ungu yang tak terhitung jumlahnya. Pemandangan itu terlukis dengan begitu cantik pada imajinasiku.
Aku
menelan ludah. Aku memerah sampai ke inti jiwaku. Sebelum aku menyadarinya,
jariku telah terulur ke arah dadanya.
Ujung
jariku menyentuh tonjolan dadanya. Suatu napas pendek terlepas dari mulut, dan
dia meregangkan ujung sepatu putih miliknya.
Darahku
mulai mendidih karena kegembiraan yang mengisi jiwaku. Oh, betapa manis godaan
itu! Sentuhan satu jari punya hak untuk mencabut nyawa Youko Tsukimori.
Saat ini,
gaunnya yang berwarna putih layaknya salju terlihat seperti kain kafan di
mataku.
Tidak
diragukan lagi, dia sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Kuduga, dia
sudah menyiapkan skenario kematian yang berjudul: "gadis yang sedang patah
mengikuti kedua orang tuanya ke akherat".
Dengan
kata lain, tidak ada yang akan menghukumku jika aku mendorongnya sampai jatuh.
Dia
memanggilku dengan sebutan pangeran. Jika aku benar-benar seorang pangeran,
peran yang seharusnya aku emban adalah menyelamatkan sang putri yang sedang
ditahan dalam kastil.
...
Tsukimori. Aku minta maaf karena telah mengkhianati harapanmu, tetapi aku takut
bahwa aku bukanlah pangeranmu. Aku hanyalah seorang rakyat jelata. Itu adalah
peran yang terbaik bagiku.
Hatiku
berdebar. Napas tak menentu menyembur dari mulutku. Setelah mengambil napas
dalam-dalam dan dengan tegas menggertakkan gigiku, aku perlahan-lahan
mengulurkan tangan pada gadis yang sudah mengenakan kain kafan — aku
meluncurkan lenganku ke belakang punggungnya yang lembut, lantas menariknya ke
arahku dengan segenap kekuatan yang kumiliki.
Momentum
yang berlebihan menyebabkan aku jatuh ke belakang sembari mendekap si gadis di
dalam pelukanku. Sementara aku masih mengerang karena rasa sakit di punggung,
ia duduk mengangkang di atas tubuhku.
"...
tolong jangan lupa,"
ia mulai berbicara lagi sembari meletakkan satu tangan pada dadanya,
”bahwa ini adalah nyawa yang telah kau selamatkan."
ia mulai berbicara lagi sembari meletakkan satu tangan pada dadanya,
”bahwa ini adalah nyawa yang telah kau selamatkan."
Jika kau
memungut seekor anak anjing dengan tatapan mata memelas di jalanan, maka
tanggung jawabmu adalah merawatnya sendiri — aku mengingat pesan yang ibuku
katakan tempo hari, dan semangatku pun mencapai titik dasar. Sejak kapan aku
menjadi seorang pria yang baik?
"...
apakah kau mengujiku?"
"Jangan
khawatir, aku cukup yakin pada diriku sendiri. Kau pasti tidak akan menyesal
karena telah menyelamatkanku.”
Dengan
optimis, dia mengepalkan tangannya di depan. Itu adalah senyum indah
menjengkelkan yang ditunjukkannya padaku, sehingga memberiku keyakinan bahwa ia
telah meramalkan situasi ini sejak awal.
Aku
mencibir.
"Aku
sudah lama menyesal —"
—bahwa
aku berjumpa denganmu.
"Maaf,
tapi bisakah kau turun dariku?"
Dia
dengan berani duduk di panggulku Untuk saat ini, aku ingin menyudahi
pemandangan tak senonoh ini.
Sayangnya,
ia tampaknya tidak berniat untuk turun. Dia berlutut, membungkuk di atas
badanku, menempatkan tangan kiri dan kanan pada kepalaku, menatap mataku dengan
tajam, dan mulai berbicara pada posisi seperti itu. ”Apakah yang akan kau
lakukan? Apa yang ingin kamu lakukan? Apakah kau akan memberitahu polisi
tentang resep itu, dan hal-hal yang telah aku katakan hanya padamu?”
Ketika
bibirnya yang menawan melepaskan kata-kata, rambutku dibelai lembut oleh
napasnya yang terasa geli.
"Aku
tidak akan berhenti kau jika itu yang ingin kau lakukan!"
Rupanya,
dia tidak secara khusus memprovokasiku; sementara ekspresinya tampak lembut
seperti biasa, suaranya terdengar dengan nada sungguh-sungguh.
"Kau
cukup berani, ya?"
Aku
merengut padanya.
"Apakah
karena kau yakin bahwa kau bisa mengelabui polisi? Atau karena kau meremehkan
aku?”
"Dua-duanya
salah!" Dia menggelengkan rambutnya yang halus.”Aku sendiri lah yang tahu
betul bahwa aku tak bersalah.”
Dia
terdiri.
"Mari
kita lakukan tes kecil ... jika ada suatu insiden yang dengan jelas menyatakan
siapakah si pembunuhnya, dan aku katakan itu hanyalah kecelakaan yang terjadi
karena kebetulan, apakah kau masih percaya padaku?”
Rambut
yang jatuh tepat dari atas bergoyang seiring hembusan malam angin, dan
menggelitik ujung hidungku.
"...tentu
saja tidak!"
Karena
Tsukimori mempertahankan ketenangan yang sempurna, aku ragu-ragu sejenak.
"Iya,
kan? Kau tidak percaya padaku, jadi aku membiarkanmu melakukan apapun yang kamu
mau."
Saat
berikutnya, dia memberikan senyum lembut, disertai dengan bulu yang menari
dalam imajinasiku.
"Tapi
tolong ingat bahwa hanya ada satu kebenaran bagiku."
Dapatkah
seseorang yang tertawa begitu murni disebut pembohong?
Aku
benar-benar tidak tahu.
"Karena
kau adalah satu-satunya orang yang aku pilih. Maka seharusnya tidak ada yang
aneh dengan pengambilan keputusanmu, walaupun hal itu berbeda dari jawaban yang
aku harapkan.”
"Pilih?"
Aku mengulanginya dengan curiga.
Kata itu
terkesan berbeda dengan: "yang ditakdirkan", dan kali ini dia lebih
memilih menggunakan kata: "pilih". Aku memperkirakan, makna kata
tersebut adalah serupa dengan: "dipercayakan".
"Ada
satu hal yang salah darimu, Nonomiya-kun.”
"Apa
maksudmu?"
"Kau
sama sekali tidak kebetulan ketika menemukan resep membunuh tersebut.”
".........
Eh?"
Nada
suaraku meningkat karena terkejut.
"Mohon
ingat hari ketika kau menemukan resep membunuh itu."
Itu masih
segar dalam pikiranku. Itu terjadi setelah pulang sekolah. Aku menemukan resep
membunuh di notebook-nya, yang terjatuh di lantai.
Dia
tiba-tiba tertawa.
"Jika
aku boleh memuji diriku sendiri, aku boleh mengatakan bahwa aku adalah orang
yang sangat cakap, kan? Apakah kau berpikir bahwa seseorang seperti aku—"
Kali ini,
wajah yang dia tunjukkan padaku adalah ekspresi yang akan melekat jelas pada
ingatanku untuk waktu lama. Wajahnya tampak begitu kejam, namun sangatlah
indah.
"—kehilangan
sesuatu yang sepenting resep membunuh?"
Tidak mungkin.
Kesalahan seperti itu tidak mungkin terjadi bagi orang sekelas Tsukimori,
karena setahuku ia adalah gadis paling sempurna di muka bumi ini.
Pada hari
itu, aku pernah berpartisipasi pada pertemuan reguler petugas kelas. Petugas
laki-laki kelas kami adalah diriku. Jadi, siapakah si petugas perempuan?
Dia
adalah orang yang tepat berada di depan mataku.
Sekarang,
aku baru sadar, ia bergegas kembali ke kelas tepat setelah pertemuan selesai.
Aku pikir, dia melakukan itu untuk menunda waktu, sehingga dia bisa pastikan
bahwa resep membunuh tersebut telah jatuh ke tanganku secara
"kebetulan".
Bagaimana
bisa aku mengabaikan hal yang begitu mendasar? Dia telah mencari resep itu esok
pagi, kemungkinan besar tindakannya itu hanyalah sandiwara untuk membuat aku
percaya bahwa dia kehilangan benda itu secara "kebetulan".
Seolah-olah
aku menari-nari pada irama yang sudah diatur oleh Tsukimori sebelumnya. Fakta
memalukan itu membuat tubuhku mati rasa, dan memberikan teror padaku. Namun,
aku bahkan tidak bisa mengerang sedikit pun walaupun sangat syok.
Tsukimori
menghukumku dengan tertawa cekikikan.
"Tidak
ada satu hal pun yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan. Tidak
ada satu hal pun yang tidak bisa aku peroleh, asalkan aku menginginkannya.
Keinginanku menetapkan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.”
Biasanya,
pernyataan tersebut adalah omong kosong belaka dari orang yang begitu angkuh,
tetapi itu terdengar seperti fakta logis ketika terucap dari mulut seorang
Youko Tsukimori.
"Tapi,
tidakkah kau berpikir bahwa hidup seperti itu sangatlah membosankan dan tanpa
gairah? Apakah penting menjalani kehidupan semacam itu?”
Dia
berjalan menuju syalnya yang jatuh di tanah.
"Kau
tidak akan penasaran isi sebuah kado jika kau sudah tahu apa yang ada di
dalamnya,” dia membungkukan bahunya sedikit.”Meskipun demikian, aku tidak
pernah menolak menjadi seorang Youko Tsukimori yang semua orang idam-idamkan,
karena memainkan peran sebagai siswi populer bukanlah suatu hal yang buruk, dan
aku tak pernah kesulitan memenuhi harapan mereka.”
Setelah
mengambilnya, ia membungkus pundaknya dengan syal sekali lagi. Dia melewatiku
dengan langkah ringan layaknya seorang balerina, dan berhenti tepat di samping
kepalaku. Kemudian, bayangannya yang tebal menutupi pandanganku seluruhnya,
sehingga aku sempat berpikir bahwa rembulan sedang ditutupi oleh awan gelap.
Bahkan, ia membungkuk tepat di atasku sambil meletakkan tangan di pinggul.
"Apakah
lau ingin tahu mengapa aku mempercayakan resep tersebut padamu, Nonomiya-kun?”
Aku
terganggu dengan ekspresi licik yang terpampang di raut wajahnya, jawabannya
pasti bukanlah suatu hal yang baik.
"Karena
kau tampak bosan dengan kehidupanmu sehari-hari, melebihi orang lain yang
pernah aku temui!” katanya, seolah-olah telah menemukan sesuatu yang dia
sayangi.
Aku
mengalihkan pandangan aku.
Itu benar
sekali.
Seperti
yang dia katakan, aku selalu meratapi betapa membosankan dunia tempatku
tinggal. Imajinasi adalah satu-satunya surga yang aku miliki untuk menyembuhkan
diri dari kebosanan kehidupan sehari-hari.
Aku
mengambil resep membunuh dan berdiri.
"Kau
melebihi dugaanku sebelumnya. Berbicara denganmu selalu membuatku tertarik,
Nonomiya-kun. Setiap harinya, aku mengalami saat-saat yang mendebarkan setelah
kau hadir di dalam hidupku. Hatiku berdegup kencang ketika kau ada di sisiku,
dan itu tidak berlaku ketika orang lain bersamaku. Aku menyadari secara
langsung bahwa kau adalah 'yang ditakdirkan' untukku. Dengan demikian, begitu
mudah bagiku untuk tergila-gila padamu."
Semuanya
berjalan sesuai dengan rencananya dan aku, yaitu si pria bodoh, dengan mudahnya
memakan umpan yang terlihat menarik, yang tidak lain adalah resep membunuh.
Dengan
langkah berat aku berjalan kembali ke pagar, seakan-akan ditarik. Terdengar
suara langkah kaki di belakangku, dan aku pun menyadari bahwa dia sedang
bergegas lari ke arahku.
"...
Ah!"
Pagarnya
berderit. Dia mencengkeram itu dengan erat, bersandar, dan menatap ke bawah,
yaitu pada jurang gelap gulita di sampingku. Dia segera menyadari bahwa tidak
ada hal lain yang bisa dia lakukan, lantas dia berdiri tegak sekali lagi dan
memalingkan tatapannya padaku.
"...
tidakkah kau menyesalinya?"
Aku
menjulurkan lengan kanan pada pagar.
Suatu
pesawat kertas putih terbang melengkung dan menggambar lingkaran di udara,
sembari perlahan turun ke dalam jurang yang gelap. Pesawat itu mungkin akan
terselip pada suatu tempat di tebing. Setelah mengalami perubahan cuaca selama
berbulan-bulan, pesawat kertas itu hanya akan berubah menjadi lumatan debu.
"Okelah.
Aku tidak membutuhkan itu lagi.”
Aku juga.
Aku juga tidak mencari kebenaran di balik resep membunuh karena adanya rasa
keadilan.
"Ah,
pada akhirnya, akankah aku mempercayai bahwa aku tak bersalah?"
Aku
memalingkan tatapanku ke wajahnya yang tersenyum, dan menyatakan sesuatu dengan
nada dingin,”Apakah telingamu kemasukan serbuk gergaji? Tentu saja aku masih
meragukan dirimu!”
Dia
menyipitkan mata dalam keraguan.
"Kau
tidak masuk akal. Lantas, mengapa kau buang resep membunuh itu?”
"Siapa
yang akan peduli cerita tidak masuk akal seperti itu? Maksudku, bagaimana aku
harus menjawab pertanyaan dari polisi jika mereka memintaku untuk menjelaskan
alasan mengapa kau membunuh orang tuamu? Apakah kau pikir aku bisa melewati
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban: 'Oh, sepertinya dia merasa
menyukainya'?”
Tanpa
mengetahui dia dengan baik, memahami motif Tsukimori akan sangat sulit. Setelah
melihat sifat asli Youko Tsukimori, aku adalah satu-satunya orang yang bisa
mengangguk dalam menghadapi tuntutan seperti itu.
"Tapi
apakah kau punya pilihan lain? Bagaimanapun juga, ini adalah jawaban yang telah
kau pilih. Terlepas apakah mereka percaya padamu ataukah tidak,” katanya dengan
nada main-main.
"Betapa
bodoh. Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri,” jawabku sembari
menggeleng.
“Sihir”
resep membunuh itu, yaitu kartu as-ku, telah hilang di hadapannya, dan sebelum
mengungkapkan isinya.
Aku telah
menyadari bahwa, pada akhirnya, resep membunuh itu tidak lebih dari "hanya
secarik kertas".
Dia telah
mengajarkan padaku bahwa bukanlah resep itu sendiri yang bernilai, meskipun aku
telah mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya. Satu-satunya yang berharga
adalah itu merupakan resep membunuh milik "Youko Tsukimori".
Pada saat
itu, setelah pulih dari syok karena telah dikendalikan oleh Tsukimori sepanjang
waktu, suatu emosi yang berbeda merasuki jiwaku.
Walaupun
emosi ini berbeda dengan karakterku, aku bisa mendefinisikan emosi ini sebagai
naluri pelindung.
Dengan
pengakuan sendiri, ia mempercayakan resep tersebut padaku karena aku terlihat
seperti orang yang memiliki kehidupan paling membosankan di dunia. Dia sudah
memperkirakan bahwa aku pasti akan tertarik oleh “getaran” yang muncul dari
resep membunuh itu.
Aku tidak
ingin mengakuinya, tapi tidak bisa disangkal bahwa aku telah memberikan suatu
hiburan yang berarti pada Tsukimori.
Singkatnya,
dia juga mencari “hiburan” serupa denganku karena.... kehidupan sehari-hari
Tsukimori juga membosankan. Dalam hal ini, tanpa aku sadari, kami saling
berbagi ketertarikan.
Namun,
sebenarnya aku memikirkan suatu tafsiran lain.
— Aku
kebetulan memikirkan bahwa mungkin saja dia juga ketakutan pada resep membunuh
itu.
Dia
terguncang. Penemuan resep membunuh, dan sisi lain ibunya yang sungguh berbeda
dengan bayangannya selama ini.... kedua hal tersebut pasti sangat mengganggu
kondisi mentalnya. Tanpa sadar, dia terus mencari solusi untuk memecahkan
peliknya masalah itu, sampai akhirnya dia datang dan mempercayakan resepnya
padaku. Dengan kata lain, sepertinya aku adalah orang yang sudah dia tunggu
kedatangannya sejak lama.
“Sinyal”
itu tidak cukup kuat untuk disebut SOS. Mungkin, dia hanya ingin berbagi
informasi. Mungkin dia hanya ingin agar seseorang tahu akan masalah yang tengah
membebani pikirannya.
Beban itu
memang terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
Mungkin
aku hanya bisa menganalisis dan terus menganalisis resep itu, tanpa bisa
melakukan apa-apa, karena memang seperti itulah kesan yang kudapatkan. Kejengkelanku
terhadap dirinya sirna hanya dalam hitungan detik.
Aku
pernah memikirkan bahwa Youko Tsukimori adalah satu-satunya orang yang bisa
membanggakan diri sebagai gadis sempurna, namun sekarang pemikiran itu
terguncang, dan yang ada di depan mataku hanyalah seorang gadis tak berdaya
yang cuma bisa mengandalkan diriku. Itu menyebabkan jantungku berdetak lebih
cepat dari sebelumnya.
Bukannya
elok, tapi mendebarkan.
Tatapanku
terpaku pada angka yang ditunjukkan oleh jam menara di belakangnya.
"Sudah
lewat tengah malam?"
Ketika
aku berbisik begitu, dia mengibaskan bagian gaunnya yang mirip rok dengan
ayunan yang begitu kuat. Beberapa saat telah berlalu semenjak tengah malam
tiba.
"Aku
terkejut. Bagaimana bisa aku salah mengatur waktu pada suatu acara yang begitu
penting?”
Sesuatu
yang langka terjadi: kini ia sedang berkecil hati.
"Sebenarnya,
hari ini adalah ulang tahunku! Oh apa yang terjadi dengan rencanaku untuk
memohon berbagai macam hal ketika waktunya lewat tengah malam...”
"Selamat,"
Aku mengatakan itu sebelum dia mengocehkan hal-hal yang menyebalkan.
Setelah
ia mengatur wajah, rambut dan gaunnya, dia berbalik ke arahku dengan senyum
yang mengisi seluruh wajahnya.”Nonomiya-kun, kau tahu, tanggal telah berubah,
jadi hari ulang tahunku..."
"Aku
baru saja mengucapkan kata selamat untukmu. Tidakkah kau mendengarkan?”
"Aku
sungguh mendengarkannya, jadi aku akan memberikanmu ungkapan terimakasih yang
sedikit terlambat. Tapi kau tahu, secara pribadi aku lebih suka jika itu bukan
hanya kata-kata, tapi — "
"Tidak."
"Aku
kan belum selesai, Nonomiya-kun. Kau harus mendengar apa yang orang lain
katakan sampai tuntas.”
"Ingatlah
satu hal, Tsukimori. Aku bukanlah orang yang berbaik hati bersedia mendengarkan
sesuatu yang menurutku tidak ada gunanya.”
"Jangan
khawatir! Aku tidak akan memohon suatu hadiah yang mahal. Yahh, aku memang
ingin hadiah, tapi itu lebih mirip seperti suatu memori atau kenang-kenangan,”
katanya, lantas dia mengambil ponsel dari gaunnya, kemudian mendorongnya di
depan hidungku. ”Aku ingin foto kita berdua.”
"...
kau meminta itu, padahal kau tahu bahwa aku tidak suka difoto?”
"Jadi
kau tidak suka difoto?"
Dia
pura-pura bodoh. Di kafe, Usami pernah sekali meminta fotoku. Tidak mungkin
Tsukimori tidak tahu itu.
"Tolonglah.
Aku tidak akan meminta apa pun jika kau menturuti satu-satunya permintaanku
ini. Hari ini hanyalah sekali dalam setahun, jadi tolonglah!”
Berbeda
dengan nada memohon pada suaranya, dia menahanku di tempat dengan meraih
pergelangan tanganku menggunakan kedua tangannya. Dia lebih tampak seperti
memaksaku.
"...Oke!
Tapi hanya satu kali ini saja, kau dengar apa kataku?”
Aku
menyerah dengan cepat, karena aku sudah paham betul bahwa upaya untuk
melunakkan kepalanya yang keras tidak akan beguna sama sekali.
"Terima
kasih banyak!" Ia bertepuk tangan dengan girang.
"Mari
kita berpose di depan menara jam!" Katanya dan segera berjalan, sembari
menarik lenganku bersamanya.
Ukuran
menara itu tiga kali lebih besar daripada ukuran kami, dan dilapisi oleh cat
putih yang tebal.
"Mh,
tempat mana ya yang paling cocok ...?" Dia tidak bisa memutuskan di mana
ia harus mengambil foto. Ketika aku mengatakan bahwa di mana saja boleh, dia
malah menegurku, dan mengatakan dia hanya punya satu kesempatan.
Dia
memilih-milih tempat yang dirasanya paling sesuai, namun aku tidak peduli. Yang
aku lakukan hanyalah menutup mulutku, bersandar pada dinding, dan aku tidak
punya pilihan selain menunggu sampai dia memutuskan titik mana yang paling dia
sukai.
Aku sama
sekali tidak bisa membedakan titik mana yang cocok, namun dia dengan puas
mengaku,”Ya, ini dia. Sepertinya ini adalah tempat terbaik untuk mengambil foto.”
"Kemarilah,"
dia melambaikan tangannya padaku. Dia memposisikan diriku di sebelahnya.
Kemudian
dia menarik diriku sedekat mungkin, aku tidak pernah berada pada jarak sedekat
itu dengannya. Bahan pembuat gaunnya begitu tipis, namun aku merasakan sesuatu
yang tidak berhubungan dengan gaun itu.
"Jika
aku tidak melakukan ini, kita berdua tidak akan muat pada bingkainya," dia
mengatakan itu sembari menjulurkan lengannya yang sedang menggenggam ponsel,
aku pun hanya menurutinya tanpa sanggup menolak. Aku berpikir bahwa seharusnya
aku lah yang mengambil foto karena lenganku lebih panjang daripada miliknya.
Aku menyambar ponselnya. Ketika aku memperingatkan bahwa tombolnya akan segera
kutekan, dia mengatakan kepadaku untuk menunggu sebentar, lantas dia mengambil
syal dari bahunya.
Aku
menatapnya dengan lengan terentang, bertanya pada diri sendiri apa yang sedang
dia lakukan. Kemudian, dia mengikatnya di atas kepala, dan menjepitnya dengan
menggunakan bunga putih yang telah ia gunakan sebagai hiasan rambut.
"Aku
siap," katanya. Mungkin karena dia melihat tanda tanya besar di mukaku,
dia pun menambahkan,”Bukankah aku tampak manis bagaikan seorang putri?”
Memang,
itu begitu cocok padanya, sampai-sampai aku lupa protes.
Aku
menekan tombol sesuai dengan aba-abanya, kemudian suara jepretan mekanis
terdengar dari poselnya. Karena tidak sabaran, dia pun menyambar kembali ponsel
itu dariku untuk melihat fotonya dengan segera.
Saat
melihat gambar dengan ekspresi puas, dia mengangguk sedikit,”Ya, persis seperti
yang telah aku bayangkan."
Dia terus
tertawa cekikikan. Untunglah dia menyukai hadiah sederhana ini.
"Terima
kasih karena telah mengijinkan aku mengambil gambarmu. Aku akan menyimpannya
dengan baik.”
"Ya,
simpan sebaik mungkin sehingga tak ada seorang pun yang tahu, dan aku bisa
menjaga kedamaian pikiranku.”
Aku
bahkan tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi pada teman-teman di
sekolah jika mereka tahu tentang foto ini, dan aku benar-benar muak karena
wajah Kamogawa lah yang pertama muncul di pikiranku.
"Sayang
sekali. Aku sudah berencana menggunakan foto berharga ini untuk membual di
depan Mirai-san dan Chizuru ...”
Terima
kasih Tuhan, aku sudah melarang dia untuk melakukan itu.
"...
Oh, ya sudah, kalau begitu aku akan menikmatinya sendirian. Aku akan melihatnya
sebagai wallpaper pada ponselku selama kelas berlangsung sembari tersenyum
lebar. Aku akan memberikan ciuman selamat malam pada foto ini sebelum tidur.”
"Haruskah
aku menghapus gambar itu sekarang?"
"Aku
bercanda, sungguh," ia tertawa nakal.
Seperti
itulah rasanya jika ada seseorang yang melebihi dirimu.
"Apakah
kau ingin melihatnya juga?"
"Dengan
senang hati."
Itu
adalah foto yang akan terus disimpannya mulai dari saat ini, jadi aku merasa
berkewajiban untuk memeriksa bagaimana penampilanku pada foto tersebut.
Aku
mendekatkan wajahku ke layar ponsel, yang dia pegang di depan dadanya, sambil
menekuk lututku sedikit. Kata-katanya menembus telingaku ketika bibirnya
terletak pada jarak yang cukup dekat.
Setelah
menunggu aku melihat gambar tersebut, ia pun berbisik,
"Apakah
kamu paham? Kita berdua terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang
menjalani upacara pernikahan di depan gereja, kan?"
Aku
menatap layar. Di sana tampak seorang pria berpakaian hitam dan seorang wanita
berpakaian putih, yang saling bersandar dengan bahagia.
Dengan
hanya sedikit imajinasi, syal di kepalanya tampak seperti cadar yang biasa
dikenakan oleh mempelai wanita pada upacara penikahan. Dan anehnya, segera
setelah aku melihat penampilan si wanita, pria itu juga tampak seolah-olah
sedang mengenakan gaun pengantin laki-laki.
Efek foto
adalah suatu fenomena yang benar-benar mengerikan: aku melihat bahwa menara jam
itu tampak seperti bagian dari gereja. Jika mempelai wanita memegang suatu
karangan bunga, tak peduli bagaimana caramu melihat gambar tersebut, itu sangat
mirip seperti upacara pernikahan.
Aku
secara refleks mengulurkan tangan untuk mencurinya dari tangan Tsukimori, tapi
dia menghindar, sembari berbalik layaknya kelopak bunga yang bergulir.
Comments
Post a Comment