Gekkou Bahasa indonesia Bab 11. Cahaya Bulan

Gekkou Bab 11. Cahaya Bulan

Pada malam hari. Aku meneleponnya.

- Aku ingin berbicara denganmu.

Aku membuat janji untuk bertemu.

Karena akan memakan waktu, rapat itu ditetapkan pada hari Sabtu setelah bekerja. Dia yang menjawab kami bertemu di Rumah, tapi aku menolak. Aku tidak punya kenangan yang bagus di sana.

Oleh karena itu, dia mempertanyakan taman di atas bukit. Itu adalah taman di mana izin jatuh. Aku menjawab dengan segera.

- Dimengerti.

Tentu saja aku waspada karena dia memilih taman itu, meminta tempat lain, namun aku tertarik dengan pemandangan di tempat itu.

Kalau dipikir-pikir, dia tidak begitu terkejut dengan permintaanku yang tiba-tiba. Dia bahkan menerimanya dengan siap.

Aku kira, dia sudah mengira bahwa hari ini akan datang.

Tidak, itu tidak benar.

Dia telah menunggu dengan menyiapkan antisipasi.

Suaranya ceria terdengar begitu ceria, seakan-akan dia mengundang kencan.

Itu adalah malam bulan purnama.

Bulan berwarna emas tergantung di langit, memerintah bintang-bintang bak seorang raja, menyinari bumi dengan cahaya yang begitu kuat, sampai-sampai seseorang lupa kapan pun tiba.

Perlu beberapa menit berjalan melewati rumah Tsukimori untuk mencapai taman tersebut.

Pada saat pagar hijau Taman Viridian * terlihat oleh pandanganku, napasku tak menentu dan samar, seakan-aku bisa pingsan setiap saat.

[Secara makna, Viridian adalah warna pigmen hijau kebiruan. Kamus Oxford.]

Aku memeriksa waktu pada arlojiku. Lewat jam sebelas, itu wajar karena aku telah kembali ke rumah, mandi, kemudian mengenakan pakaian ganti.

Yah, aku ingin pergi ke taman tepat setelah menyelesaikan berbagai pekerjaanku, tapi Tsukimori menghentikan aku.

Dia bersikeras agar aku berpenampilan rapi untuk kencan pertama kami.

Mengesampingkan fakta penting bahwa ini bukan kencan, aku pun menerima sarannya begitu saja. Bagaimanapun juga, itu adalah hal yang baik.

Aku membutuhkan beberapa waktu untuk menghubungkan antara diriku dan kehidupan sehari-hari.

Aku mencapai pintu masuk taman. Tidak ada yang istimewa; yang terdapat di sana hanyalah suatu ruang kecil dengan beberapa pohon dan peralatan bermain yang berserakan secara terpisah. Satu-satunya benda yang menarik perhatianku adalah menara jam kayu putih di dekat tebing.

Aku memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam. Udara segar mengisi paru-paruku. Aku menghembuskannya dengan perlahan, memeriksa saku baju kiri untuk terakhir kali, dan memasuki taman.

" — Aku hampir bosan menunggu."

Aku memicingkan mata ke arah suara tersebut.

"Tapi aku harus bersyukur karena kau benar-benar datang, kan?"

Ketika sosoknya tercermin di mataku, aku hanya bisa menahan napas. Tsukimori, yang tampak seperti Putri Salju, sedang duduk di bagian atas jungle-gym* berwarna merah.
[Jungle-gym adalah portal terbuat dari besi yang biasanya dipakai bergelantungan oleh anak-anak kecil. Benda seperti ini terdapat banyak di taman bermain.]
"Mengenakan pakaian serba hitam benar-benar cocok untukmu, Nonomiya-kun."

Kecuali kemeja putih yang aku kenakan di balik jaket, aku memang berpakaian serba hitam.

Tsukimori tertawa cekikikan,”Tapi itulah yang aku harapkan darimu, sehingga aku mencocokkan dengan berpakaian serba putih.”

Dia mengenakan gaun dan sepatu berwarna putih. Dia juga terbungkus oleh syal putih semi-transparan di sekitar bahunya, dan menghiasi rambutnya dengan ornamen putih.

Pada mataku, aku melihat Tsukimori Si Putri Salju sedang memegang bulan sabit di bahunya.

"Bagaimana kalau kita mulai kencan kita, oke?"

Youko Tsukimori menyilangkan kaki, bersandar pada sikunya, dan kepalanya sedikit miring. Seikat rambut hitam yang indah menggantung di mulutnya.

Pemandangan ini mirip mimpi. Aku cepat-cepat menggeleng untuk menyingkirkan halusinasi itu.

"... sehari setelah kau memintaku untuk berpacaran denganmu, kau mengatakan bahwa kita berdua harus memperdalam pemahaman satu sama lain, kan?”

"Ya," dia mengangguk.

"Kau juga mengatakan bahwa, tidak masalah bagiku untuk membuat keputusan setelah kita mengenal satu sama lain dengan lebih baik, kan?”

"Ya," dia menyipitkan sebelah matanya.

"Sayangnya, aku masih tidak memahamimu dengan baik. Kita masih jauh dari kata: kencan.”

"Kalau begitu, apa sebenarnya yang ingin kau ketahui dariku?"

— "Semuanya," aku hampir menjawab demikian. Tapi setelah melihat senyumnya yang penuh percaya diri, hanya ada satu hal yang harus kukatakan.

"Kau membunuhnya, bukan?"

Saat berikutnya, dia melompat dari atas jungle-gym ke langit biru yang gelap.

Syalnya berkibar pada kedua sisi bak sepasang sayap angsa, lantas ia mendarat dengan lembut layaknya bulu yang jatuh dari sayap tersebut.

"Apa yang akan aku dengar darimu sekarang?"

"Yahh, kau bisa menyebutnya," 

Aku berpura-pura merenung dan lanjut berbicara dengan wajah datarku yang biasa,

”solusi dari teka-teki yang disebut Youko Tsukimori.”

Tidak gentar, Tsukimori terus tersenyum seperti biasa.

"Aku paham, tampaknya ini jauh lebih menarik daripada kencan."

Tapi, seperti itulah caraku. Dan aku ingin agar dia menjadi musuhku yang berharga.

Pada suatu waktu, aku pernah menyimpulkan bahwa Tsukimori tidak membunuh siapa pun karena aku yakin, dia tidak akan melakukan sesuatu yang begitu bodoh.

Namun, situasi telah berubah ketika seorang pria berintuisi tajam muncul. Tidak butuh waktu lama sampai teoriku dibantahkan karena suatu kecurigaan dan kontradiksi. Konan pun memanduku ke pemikiran lain yang semakin memperjelas fakta dibalik kasus ini.

Secara logika, tak terelakkan lagi bahwa keraguanku kembali muncul karena aku sadar betul, resep membunuh itu ada di tanganku.

Orang-orang mungkin bertanya, mengapa aku menyimpulkan demikian jika aku sudah benar-benar yakin bahwa dia tidak berdosa sejak awal.

Memang benar aku telah memiliki beberapa petunjuk yang memungkinkan bahwa ibunya bersalah, seperti fakta tentang resep membunuh yang kemungkinan ditulis olehnya. Namun, pada saat yang sama, aku juga pernah menyadari bahwa petunjuk-petunjuk tersebut tidak selalu membuktikan Tsukimori tak bersalah.

Intuisiku sendiri juga menjadi faktor penentu, dan meyakinkan bahwa dia memang bersalah.

Baru sekarang, aku menyadari bahwa aku benar-benar berharap dia bukanlah sang pembunuh. Orang bisa mengatakan bahwa imajinasiku menuntunku untuk berpikir demikian karena aku tidak ingin kehilangan orang yang sangat membuatku tertarik.

Dengan kata lain, keinginanku sendiri lah yang membuat dia tidak bersalah, namun tentu saja fakta tidak selalu sama dengan keinginan, bahkan kebanyakan berbeda.

Aku duduk di pagar, sementara dia naik ayunan berwarna biru.

Aku mulai menjelaskan alasan satu per satu, mengapa aku mencurigai dirinya.

1. Panggilan telepon terlalu-pas dari sekolah memasak. 

2. Fakta bahwa telepon genggamnya telah diatur pada silent mode. 

3. Dia perilaku tidak wajar ketika memberikan aku handuk, bukannya mulai mencari ibunya dengan panik. 

4. Dan fakta adanya catatan bunuh diri yang ditulis bukan dengan tangan, melainkan pada komputer.

Selanjutnya, aku bercerita tentang hipotesis bahwa dia menginginkan diriku untuk menjadi penemu catatan bunuh diri tersebut.

Tsukimori dengan tenang mendengarkan semua penjelasanku, dan mengangguk sesekali tanpa menyangkal ataupun mengakui sesuatu.

Ketika ia mendengarkan teoriku, ia melemparkan tatapan matanya ke langit malam, terhanyut dalam pikirannya sendiri, sebelum akhirnya dia bertanya dengan pasti, 

”Apakah kau mendapatkan semua teori ini dari Konan-san?”

Aku mengangguk. Seperti yang sudah Tsukimori duga sebelumnya, sebagian besar argumenku muncul setelah aku melakukan percakapan dengan Konan.

"Tapi aku setuju dengan semua teori milik pria itu, sehingga kau boleh menganggap bahwa teori-teori itu asli berasal dari pemikiranku sendiri.”

Tsukimori menampakkan ekspresi terkejut.

"Jadi selama aku absen, kalian membicarakan hal seperti itu?" dia merengut padaku dan sedikit menekuk bibirnya.”Teganya kau! Apakah kalian berdua mencurigai aku?”

"Tidak," 

Aku menggeleng.

”Konan-san tidak ada hubungannya lagi dengan kasus ini. Akulah satu-satunya orang yang mencurigaimu saat ini.”

Dia tersentak kagum,

”Benar-benar mengejutkan bahwa Konan-san berhenti mencurigai aku, padahal dia tampak begitu ulet. Sihir apa yang sudah kau gunakan padanya, Nonomiya-kun?”

"Ini semua berkat petunjuk yang kau berikan padaku," 

Aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan sehingga aku tidak perlu repot-repot menyebutkan "Resep Cinta".

Faktanya, jika bukan karena Resep Cinta, mungkin aku sudah kalah dari Konan.

"Oh, apakah ada sesuatu dariku yang secara kebetulan menjadi petunjuk bagimu?" 

Tsukimori tersenyum. Dia menatapku dengan lembut. Itu adalah tatapan lembut dari seorang kakak yang memuji adiknya karena baru saja mendapatkan prestasi tertentu.

Itu membuatku menghela napas panjang dan berat.

"... Aku paham ... jadi dia benar-benar memberiku petunjuk," Aku berpikir demikian dalam hati.

Mengingat betapa cepat dia menyadari aku meminjam kata-kata dari Konan, mungkin dia sadar betul bahwa Konan dan aku sudah mencurigainya selama ini.

Sembari mencamkan itu di dalam pikiranku, dia terlihat begitu mirip dengan seorang artis yang licik. Mengingat kembali malam ketika kami dilemparkan oleh Mirai-san; sikapnya yang terang-terangan padaku tidaklah normal sama sekali, dan caranya membicarakan tentang Konan jugalah tidak wajar.

Aku berhenti menghitung, tapi seperti yang terlihat, lagi-lagi dia mempermainkan aku. Aku harus mengakui itu: dia adalah seorang artis yang jauh lebih piawai daripada diriku.

Karena aku terdiam, ia memiringkan kepalanya sedikit, 

"Mh?"

Sejak tadi, dia menampilkan senyuman sempurna tanpa celah, meskipun aku telah menuduhnya dengan sebutan "pembunuh".

Senyumnya adalah sesuatu yang khas. Dalam pikiran orang lain, Youko Tsukimori mungkin digambarkan sebagai wanita suci yang selalu tersenyum.

Bagaimanapun juga, Youko Tsukimori yang ingin aku lihat bukanlah seperti ini. Saat ini, aku sedang merenungkan bagaimana aku bisa membekukan senyum sempurna miliknya.

Jariku secara refleks meraba-raba pada saku dada sebelah kiri.

"... Benar, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."

Bagaimanapun juga, tidak mungkin aku menggunakan “itu”. Aku menyelipkan tanganku ke dalam jaket.

Apa yang aku keluarkan adalah secarik kertas yang terlipat empat kali.

"Apa ini?" Tsukimori bertanya sambil menyambar kertas itu dariku.

Aku melihat bahwa Tsukimori sedang meremehkan kertas yang terlipat itu.

Dengan tatapan yang masih terpaku, dia pun berbisik,

”... Aku menghargai semua benda yang kau berikan padaku, tapi ini bukalah suatu hadiah yang layak.”

"Apa boleh buat: bagaimanapun juga, itu bukanlah hadiah. Aku hanya mengembalikan sesuatu kepada sang pemilik,” 

Aku tidak mengalihkan pandanganku darinya,

”Ini milikmu, bukan?"

Aku menatapnya tepat di mata, dan tidak berani bernapas atau bahkan berkedip. Bisa dikatakan bahwa, aku terus melindungi benda itu sampai saat-saat terakhir tiba. Tentu saja, aku ingin melihat reaksinya ketika dia mendapatkan kembali benda tersebut.

Dia mengangkat kepalanya dengan senyum yang berbentuk seperti bulan sabit.

"Ya, ini dia!" Dia mengakui dengan begitu siap.

"Kalau begitu, mari sekarang kita bicara tentang — 'Resep Membunuh' ini."

Ini adalah kartu as yang berhasil aku lindungi dari Konan.

Dia tertawa datar, 

”Jadi begitu ya? Yahh, kau tidak pernah melewatkan 'benda yang menarik', iya kan?”

Pada pandangan pertama, Tsukimori tampak seperti biasa.

"Sejujurnya, aku lebih suka tidak memungut benda seperti itu, tapi mungkin aku bisa memenuhi harapanmu jika memang seperti itulah keinginanmu. Sebagai imbalannya, berjanjilah padaku — "

Tapi aku bertanya-tanya pada diriku sendiri: apakah dia menyadari sedikit perubahan yang terjadi pada wajahnya?

" — bahwa kau tidak akan membenciku. Ok?"

Dia tersenyum seperti biasa, tapi kali ini matanya terlihat serius.

Aku mengamati sisi Youko Tsukimori yang tidak diketahui siapa pun. Rasanya seolah-olah, aku selangkah lebih dekat ke arahnya. Tentu saja, aku sama sekali tidak puas dengan hal itu.

Aku ingin melihat lebih banyak sisinya yang tidak diketahui.

Tapi tidak perlu tergesa-gesa; ada cukup banyak waktu sampai matahari terbit.

"... kau sudah tahu sejak lama, kan?"

"Apanya?"

"Bahwa resep membunuh itu telah jatuh ke tanganku."

Aku selalu punya firasat demikian. Bagaimanapun juga, dia tiba-tiba bertanya padaku untuk menjadi pacarnya, meskipun kami berdua tidak begitu banyak bicara kecuali salam. Dia mendekatiku segera setelah aku memperoleh resep membunuh.

Tapi, baru sekarang aku yakin. Reaksinya yang biasa membuktikan bahwa ia tidak terkejut sama sekali.

Tsukimori mengangkat dan menurunkan alisnya beberapa kali dalam keragu-raguan.

"Aku telah menyadarinya, ya," 

akhirnya dia mengangguk dengan tenang.

”Apakah kamu ingat apa yang terjadi pada kelas, sewaktu pagi hari setelah aku kehilangan resep?”

Aku mengingat kembali saat pagi hari itu, ketika dia mengatakannya kepadaku.

"Pagi itu, kau menegurku, Nonomiya-kun. Itu cukup membuatku terkejut. Oleh karena itu, aku berpikir tentang alasan apa yang mendasarinya. Tidak butuh waktu lama sampai aku menemukan jawabannya.”

"... Jadi aku menggali kuburan sendiri, ya," 

aku menepuk jidatku secara refleks.

Betapa bodohnya diriku karena mengungkapkan rahasiaku sendiri! Aku tidak mampu menekan rasa ingin tahuku, lantas menegurnya pada waktu pagi hari itu. Tapi memang, itu adalah suatu hal yang janggal, mengingat keadaan hubunganku dan Tsukimori pada saat itu.

Aku menggeleng keras untuk menyingkirkan pikiran liar, mengambil napas dalam-dalam, dan terus menjaga ketenangan semampuku.

"... Ketika aku pertama kali memperoleh resep membunuh," 

aku melanjutkan dengan subjek lain, seakan-akan mengubur kesalahan yang telah aku lakukan, 

”Aku berpikir bahwa kau lah yang telah menulis itu. Aku bahkan beranggapan bahwa pemilik kertas itu adalah si penulis. Bagaimanapun juga, kata 'resep', terus mengganggu pikiranku sejak saat itu. Bukankah seharusnya lebih umum ditulis dengan judul: rencana pembunuhan?”

Hanya suaraku yang terdengar di seluruh taman yang diterangi oleh cahaya bulan.

"Tapi ketika aku mengetahui bahwa ibumu adalah seorang guru di suatu sekolah memasak, aku menyadari bahwa kata 'resep' mungkin adalah suatu istilah yang sangat umum digunakan olehnya. Aku pun beranggapan bahwa ibumu lah yang telah menulis surat itu. Lantas aku pun menemukan catatan lain milik ibumu yang berisikan tentang resep memasak. Aku membandingkan keduanya, dan aku pikir, keduanya identik.”

"Kau selalu memenuhi harapanku, Nonomiya-kun,” 

ia menyela dan menutup mulutnya lagi.

Suatu pernyataan yang bermakna, untuk memastikan, tapi itu tidak menolak semua yang telah aku ungkapkan.

"Apapun itu, sekarang aku ingin bertanya padamu... Mengapa resep milik ibumu ada di tanganmu?”

Aku bersandar sedikit ke depan dan melirik ekspresi wajahnya.

"Tak lama setelah aku mulai bersekolah di SMA, aku menemukan resep itu secara tak sengaja — "

Dia berkata dengan tenang sambil merenung.

" — aku pun segera menyadari bahwa ibuku hendak membunuh......"

"Ayahmu."

"Ya. Ngomong-ngomong, ini bukanlah satu-satunya resep membunuh; masih ada banyak yang lainnya. Mungkin, bahkan ada beberapa yang belum aku temukan.”

"... aku baru tahu."

Aku tergelitik untuk membaca resep-resep lainnya.

"Aku pikir, ibuku tidak menyadari bahwa aku tahu tentang keberadaan resep-resep itu, sampai akhir hayatnya. Aku merahasiakannya dari dia.”

"Apa pendapatmu tentang resep-resep itu? Kau berniat melakukan apa setelah memperoleh resep-resep itu?”

"Yah ..."

Sambil menatap kosong ke udara, dia mengusap rambut di samping telinga dengan jarinya. Mungkin, dia sedang mencari kata yang tepat.

"... Ketika aku pertama kali membaca resep tersebut, aku terkejut karena ternyata dia juga memiliki wajah 'jelek'.”

Aku terus menatapnya.

"Aku mengenalnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang khas. Seorang wanita yang selalu memperhatikan penampilan dan perilakunya.”

"... dari apa yang kulihat selama upacara pemakaman, cukup sulit bagiku untuk membayangkan bahwa ibumu punya sifat lain seperti itu.”

Tiba-tiba, suatu bayangan tentang Tsukimori berpakaian hitam sedang menenangkan hati ibunya yang sedih, terbersit di pikiranku. Lantas, bayangan itu hancur berkeping-keping sampai menjadi debu, kemudian lenyap ditiup angin.

"Aku tidak tahu seperti apa kau membayangkan sifat wanita itu, tapi aku tidak pernah lupa identitas asli wanita itu,” 

Tsukimori memberikan senyum yang biasa terlihat pada sampul majalah fashion, 

”Bagaimanapun juga, dia tetaplah ibuku."

Anak perempuan seperti ibunya? Tidak, urutan yang lebih tepat adalah: "Ibu seperti anak perempuannya"? Apapun itu, saat aku memikirkannya, aku mendapatkan citra baru tentang dirinya. Dengan analogi, hal yang sama pasti juga berlaku pada ayahnya.

"Ibuku bekerja sebagai guru pada suatu sekolah memasak terbesar, di suatu daerah. Dia menangani kelas berisikan siswa yang tak terhitung jumlahnya, setiap hari. Rupanya, dia bahkan beberapa kali sempat tampil pada acara masak-memasak di TV, dan dia telah menerbitkan beberapa buku memasak. Aku mendengar bahwa dia cukup terkenal pada acara memasak sebagai: 'ilmuwan kuliner yang cantik'.”

Aku memikirkan gambaran lain tentang ibunya.

"Sekarang, bayangkan wanita terhormat seperti itu menulis sesuatu yang begitu murahan. Aku benar-benar terkejut,”

dia mengangkat bahu sedikit, sembari mengekspresikan rasa takjubnya.

"Murahan, ya?" 

Aku mengulangi kata bermakna tertentu yang telah dia ucapkan.

"Tapi kau berpikir sama, bukan? Setelah membaca itu, aku serius ingin tahu apakah dia benar-benar bermaksud untuk membunuh seseorang dengan menggunakan metode seburuk itu. Metode membunuh seperti itu bahkan belum layak disebut rencana. Sekarang, aku berpikir bahwa dia mungkin telah memilih kata 'resep' karena dia menyadari itu terlalu buruk untuk disebut ‘rencana’.”

"Aah, aku paham."

Aku benar-benar memikirkan hal yang sama.

"Memang, sebagai rencana pembunuhan, itu sangatlah buruk dan tampaknya tidak lengkap. Kau boleh menganggap bahwa seseorang akan memerlukan kesempatan beratus-ratus kali untuk berhasil membunuh dengan menggunakan metode seperti itu.”

"Mm," 

mulanya dia setuju denganku, tetapi aku melanjutkan omonganku, dan itu membuat alisnya terangkat.

"Tapi aku berpikir bahwa.... justru karena resep itu cacat... resep itu jadi begitu ampuh.”

"Apa maksudmu?"

Aku melihat sisi lain Tsukimori yang terkesan amatir. Aku telah memikirkannya seperti itu sejak awal.

"Apakah ada orang yang membayangkan bahwa rencana pembunuhan berdasar keberuntungan semata, benar-benar eksis di dunia ini?”

Tsukimori kehilangan kata-kata. Tentu saja dia tak sanggup berbicara. Beberapa saat sebelumnya, ia menyatakan bahwa ia tidak pernah membayangkan ibunya menulis resep semacam itu.

"Jika rencana itu berjalan dengan lancar, bukankah pembunuhan tersebut akan terlihat seperti 'kecelakaan' murni?”

"Itu adalah cara yang menarik untuk berpikir mengenai hal tersebut," dia mengangguk dengan ekspresi terkesan.

Aku melanjutkan,”Aku tahu suatu insiden yang hampir membuktikan teoriku — "

" — kecelakaan ayahku, kan?" Jawabnya sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku.

"... Kau mengakuinya?"

Aku sedikit terkejut melihat reaksinya yang tak terduga.

"Apakah aku harus menyangkalnya? Adalah hal yang wajar jika seseorang meragukan ‘keaslian’ kecelakaan tersebut setelah membaca resep itu, walaupun hanya sekali."

Dia mengguncang lembaran kertas itu di samping kepalanya, dan menjepitnya dengan ujung jari.

Aku akhirnya menyadari apa yang mengganggu pikiranku selama ini, tentang dirinya.

"Sampai aku menemukan resep itu, aku tidak tahu bahwa ibuku memiliki sifat yang begitu keras. Aku kira, motifnya adalah kecemburuan — meskipun kedua orang tuaku tidak menjalin hubungan dengan baik, dan tidak saling peduli — tampaknya ibuku tahu bahwa ayah memiliki simpanan lain. Mungkin dia tidak bisa menerima kehadiran wanita selain dirinya. Dalam hal ini, perempuan secara umum lebih cemburu daripada laki-laki. Kau harus berhati-hati juga, Nonomiya-kun.”

Meskipun itu tentang ibunya, dan tentang keluarganya, aku merasakan semacam kesenjangan pada nada bicaranya yang tak acuh. Seolah-olah, dia tidak peduli. Seolah-olah, dia sedang berbicara tentang suatu rumor yang menyebar pada lingkungan di sekitar.

Keyakinanku semakin dalam.

"Aku hanya bisa melihatmu sebagai seorang anak yang membunuh orang tuanya," 

Aku berkata terus terang, sedudah Tsukimori mencemoohku.

"Meskipun aku tidak memiliki alasan?"

Dia memiringkan kepalanya sambil mempertahankan senyum.

"Bukannya aku tidak mempedulikan motifmu. Malahan, aku sangat tertarik. Tapi, jika aku hanya mempertimbangkan dari sudat pandang: mungkin atau tidak mungkin — sudah lama aku memikirkan bahwa kau sangat mungkin... dan sangat mampu melakukan pembunuhan tersebut.”

Tsukimori menyipitkan mata sampai berbentuk mirip bulan sabit untuk kedua kalinya.

"Kamu sudah mengakui bahwa apa yang tertulis dalam resep membunuh lebih mirip seperti kecelakaan lalu lintas. Sekarang, jika itu bukanlah suatu kecelakaan yang kebetulan, melainkan suatu insiden yang direncanakan oleh seseorang berakal sehat... maka si pelaku tidak mungkin orang yang tidak membaca resep itu, kan?”

Tsukimori menempatkan dagu di tangannya, dan mengamatiku dengan tatapannya.

"Atau, jika aku boleh mengatakan sebaliknya, itu hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah membaca resep tersebut, kan?”

Aku memejamkan mata dan menarik napas.

"Aku tahu persis tiga orang yang membaca resep itu sebelum kecelakaan ayahmu terjadi. Pertama, si penulis resep — yaitu ibumu. Kedua, orang yang memperoleh resep itu secara kebetulan — yaitu aku. Dan ketiga — "

Aku menunjuk pada selembar kertas yang dia pegang di tangan.

"Orang yang kehilangan resep — yaitu Youko Tsukimori. Yang tak lain adalah dirimu sendiri."

Tsukimori masih membisu.

"Aku yakin bahwa kau, Youko Tsukimori, bisa melaksanakan rencana tersebut, tidak peduli betapa murahan dan cacat isi rencana tersebut.”

Dia memecah keheningan dengan berbisik.

"... taukah kamu apa yang sedang kurasakan di dalam hatiku?"

"Jika aku bisa mengetahui isi hatimu dengan begitu mudah, maka aku tidak perlu repot-repot mengamatimu selama ini.”

"Aku benar-benar tersentuh. Aku merasa sangat mencintaimu karena kau begitu memahami diriku, meskipun kau mungkin akan mengatakan bahwa aku salah dengan nada bicaramu yang dingin, seperti biasa.”

"Kau salah."

Aku memenuhi permintaannya dengan membubuhi nada dingin ekstra.

Dia benar-benar tidak masuk akal bagiku. Meskipun aku telah menuduhnya sebagai seorang pembunuh, senyum sempurnanya masih saja tidak berubah, dia juga tidak memprovokasi atau cemas. Perilakunya yang tanpa perubahan membuatku berpikir bahwa mungkin saja dia tidak menyembunyikan suatu hal pun.

Apakah hanya rasa percaya diri yang mendasari ketenangannya saat ini? Apakah dia begitu percaya diri untuk menyangkal setiap tuduhan yang aku lemparkan padanya?

Ini tidak cukup. Jika aku tidak menyelidiki lebih dalam dan memecahkan pertahanannya, aku tidak akan pernah melihat apa yang aku cari.

"... Sesuatu telah mengganggu pikiranku sejak awal,” 

Aku memulai lagi 

"Mengapa kau begitu obyektif* terhadap orang tuamu sendiri? Kau begitu tenang saat membicarakan mereka, seakan-akan mereka hanyalah orang asing bagimu.”

[Ciu pertegas bahwa obyektif memiliki beberapa makna, dan di sini artinya adalah: tidak terpengaruh oleh perasaan atau opini pribadi. Kamus Oxford.]

Tsukimori menampilkan ekspresi sedikit ragu-ragu.

"Kau pikir begitu? Aku sudah berusia 17 tahun lho, jadi aku tidak lagi harus bergantung pada orang tua? Bukankah sudah menjadi hal umum jika para pemuda menjaga jarak terhadap kedua orang tuanya?”

Aku segera melayangkan keberatan

”Tidak, tidak."

Tsukimori menyegel mulutnya dan merengut padaku.

"Oh, ayolah, jelas-jelas ada sesuatu yang aneh. Maksudku, ibumu menyusun rencana untuk membunuh ayahmu! Jika kalian benar-benar suatu keluarga, kau harus mencoba untuk menghentikannya, bukan?”

Tsukimori melebarkan matanya untuk sesaat.

"Apakah kau tahu kenapa aku mempertanyakan tindakanmu setelah kau menemukan resep? Itu karena aku berharap bahwa kau akan mencegah ibuku melakukan hal tersebut. Tapi kau hanya mencurahkan pemikiranmu terhadap resepnya."

Dia membuka mulutnya sedikit, dia ingin mengatakan sesuatu.

" — apakah kau pernah sekali saja berpikir untuk menghentikan ibuku?"

Ekspresi tak berdaya yang Tsukimori tunjukkan pada saat itu, merupakan jawaban yang jelas tanpa harus diungkapkan dalam bentuk perkataan.

Dia meringkuk, dan memeluk kakinya yang ramping.

"Meskipun kau memiliki hubungan yang hampa dengan kedua orang tuamu, anehnya tidak ada tanda-tanda bahwa kau sedang berselisih dengan mereka.”

Mempertimbangkan kembali berbagai reaksi dan ekspresi yang Tsukimori tunjukkan padaku di masa lalu, aku meyakini bahwa ia tidak peduli tentang hilangnya "masyarakat", yang biasa dikenal sebagai keluarga. Setelah kehilangan kedua orang tua, dia tampak semakin rapuh dari waktu ke waktu. Aku yakin bahwa sebenarnya dia tidak ingin kehilangan orang tuanya. Anak mana yang bersedia kehilangan orang tuanya.

"Kau menganggapnya menarik, bukan?"

Itulah yang bisa aku simpulkan.

Jika aku dipaksa untuk berbicara tentang sesuatu hal yang tidak menarik, maka tentu saja aku akan berbicara dengan hampa.

"... Daripada mengatakan bahwa aku tidak tertarik, akan lebih cocok untuk mengatakan bahwa kami tidak memiliki keperluan untuk saling memahami satu sama lain,” gumamnya. 

”Aku tidak membenci orang tuaku, kau tahu? Jujur. Yang terjadi adalah, Keluarga Tsukimori dibangun atas dasar konsep individualisme. Ada suatu aturan tak tertulis yang menyatakan bahwa kami dilarang mencampuri urusan sesama keluarga. Bahkan, karena adanya aturan itulah, keluarga kami tetap sanggup menjalin keharmonisan.”

Seolah mengenang, Tsukimori menyipitkan matanya sedikit.

"Aku sudah bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri ketika aku masih kecil. Ibuku juga tidak mempunyai masalah jika kalau harus hidup tanpa adanya ayah. Dan ayahku, dia hanya melanjutkan perannya untuk memenuhi kebutuhan finansial rumah tangga, tapi dia tidak campur tangan dalam urusan rumah tangga itu sendiri. Terserah kau mau percaya atau tidak, ketika aku masih kecil, aku menganggap ayahku sebagai seorang paman baik hati yang memberi kami uang.”

Senyumnya melukiskan makna bahwa dia membantah apa yang sedang dia katakan.

"Kau perlu tahu bahwa aku tidak pernah berpikir untuk menghentikan tindakan ibuku.”

Dengan senyum tak berdaya, dia melemparkan tatapan matanya ke bawah.

"Aku bisa menerima resep membunuh itu tanpa masalah karena aku berpikir bahwa ibuku memiliki pertimbangan dan kehidupannya sendiri. Tapi, seharusnya aku menghentikannya, tepat seperti yang kamu katakan.”

Dia mengepalkan tangannya, aku bisa melihat jari putih Tsukimori terbenam ke dalam genggaman telapak tangannya.

"Andaikan saja aku dibesarkan dalam keluarga yang berbeda, mungkin aku akan bertindak berbeda pula.”

Tsukimori mengangkat wajahnya.

"Tapi kau tahu," 

katanya dengan suara hampa, 

”Itulah caraku dibesarkan sejak saat aku lahir.”

Tatapan matanya menyesakkan napas. Tidak ada penyesalan sebiji zarah pun pada raut wajahnya yang terkesan jujur dan penuh keagungan. Menurutku, Youko Tsukimori adalah seorang gadis yang kuat.

Tapi pada saat yang sama dia tampak begitu kesepian.

Pada saat keindahannya terpancar, dia tampak begitu cantik dan fana layaknya fatamorgana, sampai-sampai perutku bergejolak karenanya.

"Tidakkah kau kesepian?"

Dia segera menjawab pertanyaanku dengan menggelengkan kepala.”Tidak sama sekali," katanya sambil tersenyum.

Bagiku, hidup tanpa mengandalkan seorang pun tampak begitu kesepian. Namun, dia sendiri menyatakan bahwa dia tidak kesepian.

"Bahkan sampai sekarang?" Aku mengajukan pertanyaanku yang ditolak sekali lagi.”Apakah kau masih merasa tidak kesepian bahkan sampai sekarang, padahal kedua orang tuamu telah pergi?”

Aku mendapati bahwa dia menjalani suatu kehidupan yang begitu suram. Mungkin hanya asumsiku saja, tapi bagiku Tsukimori tampak kesepian sembari dia duduk di sana tanpa sepatah kata pun.

Sesaat berikutnya, dia menampilkan senyum sedikit canggung, dan menatap langit malam. Bulan yang tercermin pada mata Tsukimori menjadikannya bersinar dengan cahaya emas.

Ketika ia kembali menatap diriku, dia menyatakan,”Aku tidak kesepian — "

Sikap menggoda yang biasa dia tunjukkan padaku, kini tak kelihatan.

"—karena sekarang kau berada di sini untukku, Nonomiya-kun."

Aku melihat senyuman di mata dan bibirnya. Dia sepenuhnya serius.

Ini adalah saat yang mengesankan, di mana aku akhirnya berhasil membekukan senyumnya.

Menara jam hampir menunjukkan pukul dua belas.

Dia tidak punya motif kuat untuk membunuh orang tuanya. Setidaknya, aku belum bisa menemukan satu pun.

Selanjutnya, pandanganku terhadap Youko Tsukimori bukanlah seorang gadis yang melakukan sesuatu hal bodoh seperti pembunuhan, dan itu adalah fakta yang tak tergoyahkan bagiku.

Namun orang tuanya telah pergi.

Aku berbisik,”... Aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkan perasaan ini."

Apakah ada kata yang sesuai?

Aku pegangan pada pagar karena aku tidak bisa duduk diam, lantas aku berkeliling di taman sendirian. Aku meninggalkannya di belakang.

Sembari mengurutkan pikiranku, aku berjalan perlahan dan dengan berhati-hati merasakan bumi di bawah pijakan kakiku setiap langkah. Tanpa sadar, kakiku mengantar diriku pada tebing dengan pemandangan kota yang indah.

Akhirnya aku mencapai batas antara taman dan tebing.

Batas ditandai dengan pagar hijau Viridian yang berkarat, sedikit lebih tinggi dari pinggangku. Aku membungkuk dan melihat ke bawah. Aku pikir, tidak sulit bagiku untuk jatuh dari atas tebing, menuju ke lereng yang curam.

Aku mengistirahatkan lengan yang kusilangkan, dan aku meletakkan daguku pada pagar. Itu menyebabkan pagar yang berbatasan dengan taman menekuk sedikit ke depan. Aku pun menatap pemandangan kota.

Mataku dipenuhi pemandangan kota dengan semua lampu yang bersinar. Kota itu tidaklah mirip dengan hingar-bingar metropolis yang megah di malam hari, namun aku masihlah terharu ketika melihat kampung halamanku dalam keadaan bersinar seperti ini.

Meskipun ukurannya kecil, selalu ada sesuatu yang terjadi di sana. Malam ini juga, pasti ada mobil sport merah milik pria menyebalkan tertentu yang sedang melaju untuk mengurusi suatu kasus di suatu tempat. Apakah si pecandu cokelat itu belum tidur? Gadis kecil yang menyerupai marmoset kerdil itu pasti sudah terhanyut dalam alam mimpi.

Wajah berbagai orang yang kukenal terlintas dalam pikiran layaknya presentasi slideshow.

"Bukankah ini indah? Inilah yang ingin kutunjukkan padamu, Nonomiya-kun.”

Gadis yang berada di sampingku juga menyaksikan orang-orang di kota yang tampak seperti titik-titik cahaya dari kejauhan.

Embusan dingin mengacak-acak rambutnya. Dia memeluk dirinya sendiri karena kedinginan.

Adegan ini mengingatkanku pada hari hujan, ketika dia merasa kedinginan sembari mengenakan seragam basah.

Tidak mungkin aku lupa kejadian pada malam itu, karena dia menyatakan beberapa hal tentang orang yang saling bunuh. Tentu saja, aku juga tidak akan melupakan jawabannya.

Begitu aku teringat jawaban itu, tubuhku secara spontan mulai gemetar, diikuti oleh tawa yang lepas dari mulutku.

"... Pada akhirnya, aku menemukan jawaban. Aku akhirnya menyadari apa yang membuat kau membunuh orang tuamu!” bisikku.

Dia hanya berkomentar dengan tenang,

”Aku paham."

Dia berada di tepi tatapan mataku, dan aku berada di tepi tatapan matanya. Aku pun menyadari eksistensi dirinya.

"Karena kau merasa suka melakukannya."

Ketika aku tertawa sambil mengatakan itu, dia menjawab dengan senyuman mirip seorang gadis yang baru saja menerima beberapa butir permen.

”Kau hebat."

Saat ia mengatakannya kepadaku pada malam itu, 'merasa suka melakukannya’ adalah satu-satunya cara untuk menjelaskan tindakan tanpa alasan.

Aku tertawa karena itu adalah suatu jawaban yang konyol. Siapa yang akan percaya pada hal seperti itu?

Satu-satunya orang yang mampu memahaminya adalah aku dan — Youko Tsukimori.

Tiba-tiba, dia mendekat.

"... Jika semua yang kau katakan benar, maka aku adalah seorang wanita yang mengerikan," 

bisiknya lirih di telingaku

”Menewaskan orang tuaku, menipu semua orang, menipu dirimu dan masih hidup tanpa ada kekhawatiran sedikit pun.”

Kemudian, syalnya yang semi-transparan melayang ke tanah.

"Tapi tidak bisa dipungkiri: ada beberapa kasus jarang terjadi pada manusia, yang tidak terikat pada aturan apapun. Orang-orang yang tidak dibatasi oleh apapun, yaitu mereka yang begitu bebas — "

Aku terkejut. Dia melompat ke atas pagar tanpa ragu-ragu sedetik pun. Pagar itu perlahan-lahan membungkuk ke arah jurang bersama dengan dirinya.

" — Nonomiya-kun. Sekarang kau putuskan! Jika kau tidak menghukumku, yaitu Youko Tsukimori si wanita mengerikan, maka aku akan tetap bebas selamanya di dunia ini.”

Sembari duduk di pagar, dia benar-benar bersandar ke belakang, yaitu ke arah jurang. Rambutnya terurai ke arah kegelapan jurang. Dia menahan tubuhnya hanya dengan sepasang lengan putih ramping yang masih memegang pagar. Aku bisa melihat lekukan leher putihnya yang menyerupai seorang Putri Salju.

"Jika kau menilai bahwa aku tidak layak untuk hidup ... maka, kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?”

Sedikit dorongan pada dadanya sudah cukup untuk mengirimnya ke bawah tebing.

"... Apakah kau sudah tidak waras? Apakah kau mengerti apa yang kau katakan?”

Aku meragukan kewarasannya.

"Siapa tahu? Aku menganggap bahwa diriku sendiri masih waras. Yah, mungkin memang benar bahwa aku sedikit tidak waras karena menyukai seorang pria nyentrik seperti dirimu.”

Seolah-olah menikmati baluran sinar bulan, ia menutup matanya dengan ekspresi tenang.

"Sejak dahulu, aku sudah memutuskan untuk mengabdikan seluruh hidupku pada 'yang telah ditakdirkan'. Kau boleh percaya padaku.”

Sepetinya, dia telah menyerahkan "segala sesuatu" termasuk nyawanya.

"... Aku benar-benar gagal untuk memahami pemikiranmu saat ini. Apanya yang sudah ditakdirkan padamu?”

Jawabannya begitu singkat dan jelas.

"Pangeranku."

Kata-katanya disertai dengan senyum bahagia yang sukar dipahami. Sama sekali tidak ada rasa takut pada wajahnya, sehingga bisa disimpulkan bahwa dia sedang serius.

Tiba-tiba, bayangan akhir ibunya, yang Konan telah jelaskan kepadaku, melintas di benakku. Suatu hawa dingin merambat di tulang belakangku. Aku tanpa sengaja telah membayangkan suatu adegan yang sangat spesial.

Adegan yang begitu indah, di mana Youko Tsukimori mati dengan tubuh dikelilingi oleh Azalea mekar berwarna ungu yang tak terhitung jumlahnya. Pemandangan itu terlukis dengan begitu cantik pada imajinasiku.

Aku menelan ludah. Aku memerah sampai ke inti jiwaku. Sebelum aku menyadarinya, jariku telah terulur ke arah dadanya.

Ujung jariku menyentuh tonjolan dadanya. Suatu napas pendek terlepas dari mulut, dan dia meregangkan ujung sepatu putih miliknya.

Darahku mulai mendidih karena kegembiraan yang mengisi jiwaku. Oh, betapa manis godaan itu! Sentuhan satu jari punya hak untuk mencabut nyawa Youko Tsukimori.

Saat ini, gaunnya yang berwarna putih layaknya salju terlihat seperti kain kafan di mataku.

Tidak diragukan lagi, dia sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Kuduga, dia sudah menyiapkan skenario kematian yang berjudul: "gadis yang sedang patah mengikuti kedua orang tuanya ke akherat".

Dengan kata lain, tidak ada yang akan menghukumku jika aku mendorongnya sampai jatuh.

Dia memanggilku dengan sebutan pangeran. Jika aku benar-benar seorang pangeran, peran yang seharusnya aku emban adalah menyelamatkan sang putri yang sedang ditahan dalam kastil.

... Tsukimori. Aku minta maaf karena telah mengkhianati harapanmu, tetapi aku takut bahwa aku bukanlah pangeranmu. Aku hanyalah seorang rakyat jelata. Itu adalah peran yang terbaik bagiku.

Hatiku berdebar. Napas tak menentu menyembur dari mulutku. Setelah mengambil napas dalam-dalam dan dengan tegas menggertakkan gigiku, aku perlahan-lahan mengulurkan tangan pada gadis yang sudah mengenakan kain kafan — aku meluncurkan lenganku ke belakang punggungnya yang lembut, lantas menariknya ke arahku dengan segenap kekuatan yang kumiliki.

Momentum yang berlebihan menyebabkan aku jatuh ke belakang sembari mendekap si gadis di dalam pelukanku. Sementara aku masih mengerang karena rasa sakit di punggung, ia duduk mengangkang di atas tubuhku.

"... tolong jangan lupa," 

ia mulai berbicara lagi sembari meletakkan satu tangan pada dadanya, 

”bahwa ini adalah nyawa yang telah kau selamatkan."

Jika kau memungut seekor anak anjing dengan tatapan mata memelas di jalanan, maka tanggung jawabmu adalah merawatnya sendiri — aku mengingat pesan yang ibuku katakan tempo hari, dan semangatku pun mencapai titik dasar. Sejak kapan aku menjadi seorang pria yang baik?

"... apakah kau mengujiku?"

"Jangan khawatir, aku cukup yakin pada diriku sendiri. Kau pasti tidak akan menyesal karena telah menyelamatkanku.”

Dengan optimis, dia mengepalkan tangannya di depan. Itu adalah senyum indah menjengkelkan yang ditunjukkannya padaku, sehingga memberiku keyakinan bahwa ia telah meramalkan situasi ini sejak awal.

Aku mencibir.

"Aku sudah lama menyesal —"

—bahwa aku berjumpa denganmu.

"Maaf, tapi bisakah kau turun dariku?"

Dia dengan berani duduk di panggulku Untuk saat ini, aku ingin menyudahi pemandangan tak senonoh ini.

Sayangnya, ia tampaknya tidak berniat untuk turun. Dia berlutut, membungkuk di atas badanku, menempatkan tangan kiri dan kanan pada kepalaku, menatap mataku dengan tajam, dan mulai berbicara pada posisi seperti itu. ”Apakah yang akan kau lakukan? Apa yang ingin kamu lakukan? Apakah kau akan memberitahu polisi tentang resep itu, dan hal-hal yang telah aku katakan hanya padamu?”

Ketika bibirnya yang menawan melepaskan kata-kata, rambutku dibelai lembut oleh napasnya yang terasa geli.

"Aku tidak akan berhenti kau jika itu yang ingin kau lakukan!"

Rupanya, dia tidak secara khusus memprovokasiku; sementara ekspresinya tampak lembut seperti biasa, suaranya terdengar dengan nada sungguh-sungguh.

"Kau cukup berani, ya?"

Aku merengut padanya.

"Apakah karena kau yakin bahwa kau bisa mengelabui polisi? Atau karena kau meremehkan aku?”

"Dua-duanya salah!" Dia menggelengkan rambutnya yang halus.”Aku sendiri lah yang tahu betul bahwa aku tak bersalah.”

Dia terdiri.

"Mari kita lakukan tes kecil ... jika ada suatu insiden yang dengan jelas menyatakan siapakah si pembunuhnya, dan aku katakan itu hanyalah kecelakaan yang terjadi karena kebetulan, apakah kau masih percaya padaku?”

Rambut yang jatuh tepat dari atas bergoyang seiring hembusan malam angin, dan menggelitik ujung hidungku.

"...tentu saja tidak!"

Karena Tsukimori mempertahankan ketenangan yang sempurna, aku ragu-ragu sejenak.

"Iya, kan? Kau tidak percaya padaku, jadi aku membiarkanmu melakukan apapun yang kamu mau."

Saat berikutnya, dia memberikan senyum lembut, disertai dengan bulu yang menari dalam imajinasiku.

"Tapi tolong ingat bahwa hanya ada satu kebenaran bagiku."

Dapatkah seseorang yang tertawa begitu murni disebut pembohong?

Aku benar-benar tidak tahu.

"Karena kau adalah satu-satunya orang yang aku pilih. Maka seharusnya tidak ada yang aneh dengan pengambilan keputusanmu, walaupun hal itu berbeda dari jawaban yang aku harapkan.”

"Pilih?" Aku mengulanginya dengan curiga.

Kata itu terkesan berbeda dengan: "yang ditakdirkan", dan kali ini dia lebih memilih menggunakan kata: "pilih". Aku memperkirakan, makna kata tersebut adalah serupa dengan: "dipercayakan".

"Ada satu hal yang salah darimu, Nonomiya-kun.”

"Apa maksudmu?"

"Kau sama sekali tidak kebetulan ketika menemukan resep membunuh tersebut.”

"......... Eh?"

Nada suaraku meningkat karena terkejut.

"Mohon ingat hari ketika kau menemukan resep membunuh itu."

Itu masih segar dalam pikiranku. Itu terjadi setelah pulang sekolah. Aku menemukan resep membunuh di notebook-nya, yang terjatuh di lantai.

Dia tiba-tiba tertawa.

"Jika aku boleh memuji diriku sendiri, aku boleh mengatakan bahwa aku adalah orang yang sangat cakap, kan? Apakah kau berpikir bahwa seseorang seperti aku—"

Kali ini, wajah yang dia tunjukkan padaku adalah ekspresi yang akan melekat jelas pada ingatanku untuk waktu lama. Wajahnya tampak begitu kejam, namun sangatlah indah.

"—kehilangan sesuatu yang sepenting resep membunuh?"

Tidak mungkin. Kesalahan seperti itu tidak mungkin terjadi bagi orang sekelas Tsukimori, karena setahuku ia adalah gadis paling sempurna di muka bumi ini.

Pada hari itu, aku pernah berpartisipasi pada pertemuan reguler petugas kelas. Petugas laki-laki kelas kami adalah diriku. Jadi, siapakah si petugas perempuan?

Dia adalah orang yang tepat berada di depan mataku.

Sekarang, aku baru sadar, ia bergegas kembali ke kelas tepat setelah pertemuan selesai. Aku pikir, dia melakukan itu untuk menunda waktu, sehingga dia bisa pastikan bahwa resep membunuh tersebut telah jatuh ke tanganku secara "kebetulan".

Bagaimana bisa aku mengabaikan hal yang begitu mendasar? Dia telah mencari resep itu esok pagi, kemungkinan besar tindakannya itu hanyalah sandiwara untuk membuat aku percaya bahwa dia kehilangan benda itu secara "kebetulan".

Seolah-olah aku menari-nari pada irama yang sudah diatur oleh Tsukimori sebelumnya. Fakta memalukan itu membuat tubuhku mati rasa, dan memberikan teror padaku. Namun, aku bahkan tidak bisa mengerang sedikit pun walaupun sangat syok.

Tsukimori menghukumku dengan tertawa cekikikan.

"Tidak ada satu hal pun yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan. Tidak ada satu hal pun yang tidak bisa aku peroleh, asalkan aku menginginkannya. Keinginanku menetapkan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.”

Biasanya, pernyataan tersebut adalah omong kosong belaka dari orang yang begitu angkuh, tetapi itu terdengar seperti fakta logis ketika terucap dari mulut seorang Youko Tsukimori.

"Tapi, tidakkah kau berpikir bahwa hidup seperti itu sangatlah membosankan dan tanpa gairah? Apakah penting menjalani kehidupan semacam itu?”

Dia berjalan menuju syalnya yang jatuh di tanah.

"Kau tidak akan penasaran isi sebuah kado jika kau sudah tahu apa yang ada di dalamnya,” dia membungkukan bahunya sedikit.”Meskipun demikian, aku tidak pernah menolak menjadi seorang Youko Tsukimori yang semua orang idam-idamkan, karena memainkan peran sebagai siswi populer bukanlah suatu hal yang buruk, dan aku tak pernah kesulitan memenuhi harapan mereka.”

Setelah mengambilnya, ia membungkus pundaknya dengan syal sekali lagi. Dia melewatiku dengan langkah ringan layaknya seorang balerina, dan berhenti tepat di samping kepalaku. Kemudian, bayangannya yang tebal menutupi pandanganku seluruhnya, sehingga aku sempat berpikir bahwa rembulan sedang ditutupi oleh awan gelap. Bahkan, ia membungkuk tepat di atasku sambil meletakkan tangan di pinggul.

"Apakah lau ingin tahu mengapa aku mempercayakan resep tersebut padamu, Nonomiya-kun?”

Aku terganggu dengan ekspresi licik yang terpampang di raut wajahnya, jawabannya pasti bukanlah suatu hal yang baik.

"Karena kau tampak bosan dengan kehidupanmu sehari-hari, melebihi orang lain yang pernah aku temui!” katanya, seolah-olah telah menemukan sesuatu yang dia sayangi.

Aku mengalihkan pandangan aku.

Itu benar sekali.

Seperti yang dia katakan, aku selalu meratapi betapa membosankan dunia tempatku tinggal. Imajinasi adalah satu-satunya surga yang aku miliki untuk menyembuhkan diri dari kebosanan kehidupan sehari-hari.

Aku mengambil resep membunuh dan berdiri.

"Kau melebihi dugaanku sebelumnya. Berbicara denganmu selalu membuatku tertarik, Nonomiya-kun. Setiap harinya, aku mengalami saat-saat yang mendebarkan setelah kau hadir di dalam hidupku. Hatiku berdegup kencang ketika kau ada di sisiku, dan itu tidak berlaku ketika orang lain bersamaku. Aku menyadari secara langsung bahwa kau adalah 'yang ditakdirkan' untukku. Dengan demikian, begitu mudah bagiku untuk tergila-gila padamu."

Semuanya berjalan sesuai dengan rencananya dan aku, yaitu si pria bodoh, dengan mudahnya memakan umpan yang terlihat menarik, yang tidak lain adalah resep membunuh.

Dengan langkah berat aku berjalan kembali ke pagar, seakan-akan ditarik. Terdengar suara langkah kaki di belakangku, dan aku pun menyadari bahwa dia sedang bergegas lari ke arahku.

"... Ah!"

Pagarnya berderit. Dia mencengkeram itu dengan erat, bersandar, dan menatap ke bawah, yaitu pada jurang gelap gulita di sampingku. Dia segera menyadari bahwa tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan, lantas dia berdiri tegak sekali lagi dan memalingkan tatapannya padaku.

"... tidakkah kau menyesalinya?"

Aku menjulurkan lengan kanan pada pagar.

Suatu pesawat kertas putih terbang melengkung dan menggambar lingkaran di udara, sembari perlahan turun ke dalam jurang yang gelap. Pesawat itu mungkin akan terselip pada suatu tempat di tebing. Setelah mengalami perubahan cuaca selama berbulan-bulan, pesawat kertas itu hanya akan berubah menjadi lumatan debu.

"Okelah. Aku tidak membutuhkan itu lagi.”

Aku juga. Aku juga tidak mencari kebenaran di balik resep membunuh karena adanya rasa keadilan.

"Ah, pada akhirnya, akankah aku mempercayai bahwa aku tak bersalah?"

Aku memalingkan tatapanku ke wajahnya yang tersenyum, dan menyatakan sesuatu dengan nada dingin,”Apakah telingamu kemasukan serbuk gergaji? Tentu saja aku masih meragukan dirimu!”

Dia menyipitkan mata dalam keraguan.

"Kau tidak masuk akal. Lantas, mengapa kau buang resep membunuh itu?”

"Siapa yang akan peduli cerita tidak masuk akal seperti itu? Maksudku, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan dari polisi jika mereka memintaku untuk menjelaskan alasan mengapa kau membunuh orang tuamu? Apakah kau pikir aku bisa melewati pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban: 'Oh, sepertinya dia merasa menyukainya'?”

Tanpa mengetahui dia dengan baik, memahami motif Tsukimori akan sangat sulit. Setelah melihat sifat asli Youko Tsukimori, aku adalah satu-satunya orang yang bisa mengangguk dalam menghadapi tuntutan seperti itu.

"Tapi apakah kau punya pilihan lain? Bagaimanapun juga, ini adalah jawaban yang telah kau pilih. Terlepas apakah mereka percaya padamu ataukah tidak,” katanya dengan nada main-main.

"Betapa bodoh. Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri,” jawabku sembari menggeleng.

“Sihir” resep membunuh itu, yaitu kartu as-ku, telah hilang di hadapannya, dan sebelum mengungkapkan isinya.

Aku telah menyadari bahwa, pada akhirnya, resep membunuh itu tidak lebih dari "hanya secarik kertas".

Dia telah mengajarkan padaku bahwa bukanlah resep itu sendiri yang bernilai, meskipun aku telah mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya. Satu-satunya yang berharga adalah itu merupakan resep membunuh milik "Youko Tsukimori".

Pada saat itu, setelah pulih dari syok karena telah dikendalikan oleh Tsukimori sepanjang waktu, suatu emosi yang berbeda merasuki jiwaku.

Walaupun emosi ini berbeda dengan karakterku, aku bisa mendefinisikan emosi ini sebagai naluri pelindung.

Dengan pengakuan sendiri, ia mempercayakan resep tersebut padaku karena aku terlihat seperti orang yang memiliki kehidupan paling membosankan di dunia. Dia sudah memperkirakan bahwa aku pasti akan tertarik oleh “getaran” yang muncul dari resep membunuh itu.

Aku tidak ingin mengakuinya, tapi tidak bisa disangkal bahwa aku telah memberikan suatu hiburan yang berarti pada Tsukimori.

Singkatnya, dia juga mencari “hiburan” serupa denganku karena.... kehidupan sehari-hari Tsukimori juga membosankan. Dalam hal ini, tanpa aku sadari, kami saling berbagi ketertarikan.

Namun, sebenarnya aku memikirkan suatu tafsiran lain.

— Aku kebetulan memikirkan bahwa mungkin saja dia juga ketakutan pada resep membunuh itu.

Dia terguncang. Penemuan resep membunuh, dan sisi lain ibunya yang sungguh berbeda dengan bayangannya selama ini.... kedua hal tersebut pasti sangat mengganggu kondisi mentalnya. Tanpa sadar, dia terus mencari solusi untuk memecahkan peliknya masalah itu, sampai akhirnya dia datang dan mempercayakan resepnya padaku. Dengan kata lain, sepertinya aku adalah orang yang sudah dia tunggu kedatangannya sejak lama.

“Sinyal” itu tidak cukup kuat untuk disebut SOS. Mungkin, dia hanya ingin berbagi informasi. Mungkin dia hanya ingin agar seseorang tahu akan masalah yang tengah membebani pikirannya.

Beban itu memang terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Mungkin aku hanya bisa menganalisis dan terus menganalisis resep itu, tanpa bisa melakukan apa-apa, karena memang seperti itulah kesan yang kudapatkan. Kejengkelanku terhadap dirinya sirna hanya dalam hitungan detik.

Aku pernah memikirkan bahwa Youko Tsukimori adalah satu-satunya orang yang bisa membanggakan diri sebagai gadis sempurna, namun sekarang pemikiran itu terguncang, dan yang ada di depan mataku hanyalah seorang gadis tak berdaya yang cuma bisa mengandalkan diriku. Itu menyebabkan jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Bukannya elok, tapi mendebarkan.

Tatapanku terpaku pada angka yang ditunjukkan oleh jam menara di belakangnya.

"Sudah lewat tengah malam?"

Ketika aku berbisik begitu, dia mengibaskan bagian gaunnya yang mirip rok dengan ayunan yang begitu kuat. Beberapa saat telah berlalu semenjak tengah malam tiba.

"Aku terkejut. Bagaimana bisa aku salah mengatur waktu pada suatu acara yang begitu penting?”

Sesuatu yang langka terjadi: kini ia sedang berkecil hati.

"Sebenarnya, hari ini adalah ulang tahunku! Oh apa yang terjadi dengan rencanaku untuk memohon berbagai macam hal ketika waktunya lewat tengah malam...”

"Selamat," Aku mengatakan itu sebelum dia mengocehkan hal-hal yang menyebalkan.

Setelah ia mengatur wajah, rambut dan gaunnya, dia berbalik ke arahku dengan senyum yang mengisi seluruh wajahnya.”Nonomiya-kun, kau tahu, tanggal telah berubah, jadi hari ulang tahunku..."

"Aku baru saja mengucapkan kata selamat untukmu. Tidakkah kau mendengarkan?”

"Aku sungguh mendengarkannya, jadi aku akan memberikanmu ungkapan terimakasih yang sedikit terlambat. Tapi kau tahu, secara pribadi aku lebih suka jika itu bukan hanya kata-kata, tapi — "

"Tidak."

"Aku kan belum selesai, Nonomiya-kun. Kau harus mendengar apa yang orang lain katakan sampai tuntas.”

"Ingatlah satu hal, Tsukimori. Aku bukanlah orang yang berbaik hati bersedia mendengarkan sesuatu yang menurutku tidak ada gunanya.”

"Jangan khawatir! Aku tidak akan memohon suatu hadiah yang mahal. Yahh, aku memang ingin hadiah, tapi itu lebih mirip seperti suatu memori atau kenang-kenangan,” katanya, lantas dia mengambil ponsel dari gaunnya, kemudian mendorongnya di depan hidungku. ”Aku ingin foto kita berdua.”

"... kau meminta itu, padahal kau tahu bahwa aku tidak suka difoto?”

"Jadi kau tidak suka difoto?"

Dia pura-pura bodoh. Di kafe, Usami pernah sekali meminta fotoku. Tidak mungkin Tsukimori tidak tahu itu.

"Tolonglah. Aku tidak akan meminta apa pun jika kau menturuti satu-satunya permintaanku ini. Hari ini hanyalah sekali dalam setahun, jadi tolonglah!”

Berbeda dengan nada memohon pada suaranya, dia menahanku di tempat dengan meraih pergelangan tanganku menggunakan kedua tangannya. Dia lebih tampak seperti memaksaku.

"...Oke! Tapi hanya satu kali ini saja, kau dengar apa kataku?”

Aku menyerah dengan cepat, karena aku sudah paham betul bahwa upaya untuk melunakkan kepalanya yang keras tidak akan beguna sama sekali.

"Terima kasih banyak!" Ia bertepuk tangan dengan girang.

"Mari kita berpose di depan menara jam!" Katanya dan segera berjalan, sembari menarik lenganku bersamanya.

Ukuran menara itu tiga kali lebih besar daripada ukuran kami, dan dilapisi oleh cat putih yang tebal.

"Mh, tempat mana ya yang paling cocok ...?" Dia tidak bisa memutuskan di mana ia harus mengambil foto. Ketika aku mengatakan bahwa di mana saja boleh, dia malah menegurku, dan mengatakan dia hanya punya satu kesempatan.

Dia memilih-milih tempat yang dirasanya paling sesuai, namun aku tidak peduli. Yang aku lakukan hanyalah menutup mulutku, bersandar pada dinding, dan aku tidak punya pilihan selain menunggu sampai dia memutuskan titik mana yang paling dia sukai.

Aku sama sekali tidak bisa membedakan titik mana yang cocok, namun dia dengan puas mengaku,”Ya, ini dia. Sepertinya ini adalah tempat terbaik untuk mengambil foto.”

"Kemarilah," dia melambaikan tangannya padaku. Dia memposisikan diriku di sebelahnya.

Kemudian dia menarik diriku sedekat mungkin, aku tidak pernah berada pada jarak sedekat itu dengannya. Bahan pembuat gaunnya begitu tipis, namun aku merasakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan gaun itu.

"Jika aku tidak melakukan ini, kita berdua tidak akan muat pada bingkainya," dia mengatakan itu sembari menjulurkan lengannya yang sedang menggenggam ponsel, aku pun hanya menurutinya tanpa sanggup menolak. Aku berpikir bahwa seharusnya aku lah yang mengambil foto karena lenganku lebih panjang daripada miliknya. Aku menyambar ponselnya. Ketika aku memperingatkan bahwa tombolnya akan segera kutekan, dia mengatakan kepadaku untuk menunggu sebentar, lantas dia mengambil syal dari bahunya.

Aku menatapnya dengan lengan terentang, bertanya pada diri sendiri apa yang sedang dia lakukan. Kemudian, dia mengikatnya di atas kepala, dan menjepitnya dengan menggunakan bunga putih yang telah ia gunakan sebagai hiasan rambut.

"Aku siap," katanya. Mungkin karena dia melihat tanda tanya besar di mukaku, dia pun menambahkan,”Bukankah aku tampak manis bagaikan seorang putri?”

Memang, itu begitu cocok padanya, sampai-sampai aku lupa protes.

Aku menekan tombol sesuai dengan aba-abanya, kemudian suara jepretan mekanis terdengar dari poselnya. Karena tidak sabaran, dia pun menyambar kembali ponsel itu dariku untuk melihat fotonya dengan segera.

Saat melihat gambar dengan ekspresi puas, dia mengangguk sedikit,”Ya, persis seperti yang telah aku bayangkan."

Dia terus tertawa cekikikan. Untunglah dia menyukai hadiah sederhana ini.

"Terima kasih karena telah mengijinkan aku mengambil gambarmu. Aku akan menyimpannya dengan baik.”

"Ya, simpan sebaik mungkin sehingga tak ada seorang pun yang tahu, dan aku bisa menjaga kedamaian pikiranku.”

Aku bahkan tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi pada teman-teman di sekolah jika mereka tahu tentang foto ini, dan aku benar-benar muak karena wajah Kamogawa lah yang pertama muncul di pikiranku.

"Sayang sekali. Aku sudah berencana menggunakan foto berharga ini untuk membual di depan Mirai-san dan Chizuru ...”

Terima kasih Tuhan, aku sudah melarang dia untuk melakukan itu.

"... Oh, ya sudah, kalau begitu aku akan menikmatinya sendirian. Aku akan melihatnya sebagai wallpaper pada ponselku selama kelas berlangsung sembari tersenyum lebar. Aku akan memberikan ciuman selamat malam pada foto ini sebelum tidur.”

"Haruskah aku menghapus gambar itu sekarang?"

"Aku bercanda, sungguh," ia tertawa nakal.

Seperti itulah rasanya jika ada seseorang yang melebihi dirimu.

"Apakah kau ingin melihatnya juga?"

"Dengan senang hati."

Itu adalah foto yang akan terus disimpannya mulai dari saat ini, jadi aku merasa berkewajiban untuk memeriksa bagaimana penampilanku pada foto tersebut.

Aku mendekatkan wajahku ke layar ponsel, yang dia pegang di depan dadanya, sambil menekuk lututku sedikit. Kata-katanya menembus telingaku ketika bibirnya terletak pada jarak yang cukup dekat.

Setelah menunggu aku melihat gambar tersebut, ia pun berbisik,

"Apakah kamu paham? Kita berdua terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang menjalani upacara pernikahan di depan gereja, kan?"



Aku menatap layar. Di sana tampak seorang pria berpakaian hitam dan seorang wanita berpakaian putih, yang saling bersandar dengan bahagia.

Dengan hanya sedikit imajinasi, syal di kepalanya tampak seperti cadar yang biasa dikenakan oleh mempelai wanita pada upacara penikahan. Dan anehnya, segera setelah aku melihat penampilan si wanita, pria itu juga tampak seolah-olah sedang mengenakan gaun pengantin laki-laki.

Efek foto adalah suatu fenomena yang benar-benar mengerikan: aku melihat bahwa menara jam itu tampak seperti bagian dari gereja. Jika mempelai wanita memegang suatu karangan bunga, tak peduli bagaimana caramu melihat gambar tersebut, itu sangat mirip seperti upacara pernikahan.

Aku secara refleks mengulurkan tangan untuk mencurinya dari tangan Tsukimori, tapi dia menghindar, sembari berbalik layaknya kelopak bunga yang bergulir.

Comments