Manuscript Screening Boy and Manuscript Submitting Girl Bab 5

Bab 5 - Seseorang yang Memperlakukanku dengan Lembut Hari Itu


Pov Hiyuki
Berkat Kazetani-kun … Aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman sekelasku, ini seperti mimpi…

Sudah terkumpul tujuh cap kafe, butuh tiga lagi untuk mendapatkan kuenya, semangat. 

Yosh.

Setelah mengobrol dengan Ao dan berpamitan dengannya, langkah Hiyuki terasa ringan, seolah dia sedang berjalan di awan.

Dia terus memikirkan ekspresi serius Ao ketika mengatakan bahwa dia tidak ingin Hinomiya-san salah paham. Kapanpun dia memikirkan kejadian itu, dadanya akan berdebar kencang dan dia akan merasa sangat senang.

Kazetani-kun waktu itu sangat berbeda, dia mungkin menakutkan … namun itu benar-benar membuatku terharu dan senang.

Ketika Ao berkata dengan ekspresi dan suara yang riang bahwa tidaklah aneh bagi Cyan untuk menyukai Subaru, hatinya benar-benar tersentuh, dan dia berpikir segala hal akan seperti yang Ao katakan.

Sejak Kazetani-kun mulai bicara padaku, aku menemui banyak hal yang sangat hebat dan luar biasa. Kazetani-kun seperti seorang pesulap. Kupikir jika Kazetani-kun berada di sisiku, aku pun bisa berubah.

Atau lebih tepatnya, dia sudah berubah.

Masih ada sedikit waktu sebelum petang. Jalan-jalan ditutupi kabut yang halus, toko dry cleaning yang familiar, tembok-tembok rumah, atap-atap, pot-pot bunga lucu berwarna kuning dan oranye di pintu masuk, bahkan aroma hangat dari makan malam yang sedang dimasak di rumah-rumah terasa begitu lembut dan menenangkan.

Ketika Subaru dan Cyan melihat matahari terbenam ke dalam lautan, dan ketika mereka berciuman untuk pertama kalinya, seluruh dunia mungkin terlihat seperti ini.

Hiyuki ingat bahwa Ao mengatakan pemandangan yang terpantul di mata si karakter akan berubah menurut keadaan pikiran mereka.

Itu benar sekali, Kazetani-kun.

Hiyuki bergumam di pikirannya begitu dia melewati gerbang rumahnya yang sangat besar dengan hati berbunga-bunga, berjalan di jalan setapak yang ditutupi batu menuju pintu masuk dan membuka pintu gesernya—

“!”

Bulu romanya menegak karena ketakutan, dan dia terpaku di tempat.

Di pintu masuk ada seorang wanita tua dengan wajah pucat yang dihiasi kerutan.

Punggungnya tegak, alisnya berkerut, kedua matanya tajam dan bibirnya terkatup rapat, duduk dengan rapi layaknya iblis.

Pemandangan yang indah tadi seketika buyar, dan kegelapan pekat terbayang di benak Hiyuki.

Dunia berubah menjadi sebuah jurang dalam yang tidak dapat digapai cahaya, dan
penunggunya, suatu makhluk yang kuat dan mengerikan menatap Hiyuki yang terkejut.

Neneknya berdiri secara tiba-tiba, tangannya yang kurus terulur pada Hiyuki dan menarik kasar Hiyuki yang masih mengenakan sepatu.

“Ayo sini!”

Terasa berbeda dari Ao yang menarik tangannya. Ketakutan dan kesadaran akan bahaya yang berasal dari nalurinya dirasakan Hiyuki. Ditarik dengan kekuatan yang tampaknya lebih kuat dari yang bisa dikerahkan oleh seorang wanita tua berusia tujuh puluhan, Hiyuki gemetar karena kesakitan dan ketakutan.

Melepas sepatunya dengan cara berdiri yang tidak wajar, Hiyuki tidak punya waktu untuk menempatkan sepatunya dengan baik ketika neneknya menggeretnya di sepanjang koridor dan ke dalam kamar Hiyuki.

Kenapa nenek begitu marah? Aku pulang sebelum jam malam, melakukan tugas-tugas dan membersihkan halaman sebelum berangkat ke sekolah …

Apa yang disaksikan oleh kedua matanya setelah itu seperti melempar Hiyuki ke lembah kesedihan.

Buku-buku dengan sampul warna-warni berserakan di atas tatami. Ilustrasi-ilustrasinya adalah gadis-gadis dengan pakaian terbuka dan berdada besar, gadis-gadis sekolah dasar dengan telinga kucing, dan gadis-gadis mengenakan baju besi yang tampak seperti pakaian dalam berpose seksual. Halaman-halaman berwarnanya bahkan memuat gambar gadis-gadis bugil yang memandikan punggung si tokoh utama pria di kamar mandi, semua ini diletakkan
di sana.

Hiyuki merasakan darahnya membeku.

Neneknya membenci manga dan anime. Dia bahkan menyuruh Hiyuki untuk membuang buku catatan dengan seorang karakter anime yang didapatnya di sebuah pertemuan olahraga.

Tidak mungkin dia mengizinkan Hiyuki membaca light novel.

Dia tahu bahwa neneknya akan sangat marah jika dia melihat sampul buku-buku ini, jadi Hiyuki dengan hati-hati menyembunyikan koleksi light novel yang dia beli ke bagian terdalam lemarinya.

Dia tidak tahu kapan neneknya akan memasuki kamarnya, jadi dia tidak akan pernah membaca light novel di rumah. Tidak hanya light novel yang berserakan di lantai. Bahkan naskah-naskah yang ditulis Hiyuki dilempar ke tumpukan.

Light novel-ku—

Dia merasa seolah seseorang menghancurkan dadanya. Neneknya bergetar marah, dan berkata dengan nada tajam:

“Apa maksudnya ini? Hiyuki!”

Hiyuki mengulaikan tubuhnya dan menundukkan kepalanya. Neneknya menyentak tangan Hiyuki dengan keras, seolah mengatakan: “Lihat aku saat kaubicara!”

“Ughhh.”

Sebuah erangan keluar dari bibir Hiyuki.

“Kau membaca semua hal rendahan, tidak tahu malu dan beracun ini di belakangku?”

Neneknya mengguncang tangan Hiyuki dengan keras, dan menginterogasi Hiyuki sembari menatap wajahnya dengan tatapan marah.

“Dan apa ini? Kau yang menulis ini? Hiyuki?”

Dia kemudian menariknya ke tumpukan kertas naskah dan berseru.

Hiyuki terhuyung ke depan dan jatuh di sebelah tumpukan naskah. Neneknya menatap rendah Hiyuki seolah dia tengah menatap seorang kriminal dengan tubuh bergetar.

“Apa tulisan berantakan yang rendahan, kekanakan, dan tidak menyenangkan ini ditulis oleh cucuku? Sungguh mengerikan.”

Kata-kata tajam neneknya menusuk telinga Hiyuki. Suaranya yang meremehkan mirip
dengan kritik kejam di lembar komentar.

‘Cerita ini berantakan, menggunakan kata-kata murahan, vulgar’, ‘tokoh utamanya tidak
menyenangkan, ‘sesuatu yang menyedihkan untuk diteruskan sampai selesai oleh pembaca’,
‘isinya lancang dan kekanak-kanakan’.

Komentar-komentar yang menyebar di otak Hiyuki menyiksanya.

Hentikan, jangan katakan itu lagi.

Hiyuki ingin menutupi telinganya.

Novelku kekanakan, tidak menyenangkan, dan lancang, jadi itu tidak pernah melewati
seleksi dan semua orang di sekolah menjauhiku …

Ketika dia merasa seperti akan digeret ke perairan gelap.

— Dah, Hinomiya-san.

Dia tiba-tiba mendengar sebuah suara ceria.

Benar, aku … disapa oleh orang-orang di sekolah hari ini.

— D-dadah …

Pipi Hiyuki bersemu karena gembira, dan dia menjawab dengan senyum di bibirnya; Ao
memerhatikan dari sisinya dengan matanya yang cerah dan lembut.

— Novel Hinomiya-san menarik.

“Buang semua hal kotor yang ada di sini sekarang juga!”

“… Tidak.”

Hiyuki roboh di lantai dengan kepala ditundukkan, dan berkata dengan pelan dalam posisi
ini.

“Apa? Aku tidak bisa mendengarmu!”

Suara keras neneknya terdengar.
Kali ini, Hiyuki menjawab dengan nada yang agak lebih kuat:

“Semua hal ini tidak rendahan, memalukan, dan beracun. Semua itu tidak murahan atau
kekanakan.”

— Hal yang bagus tentang light novel adalah karena semua hal bisa terjadi, dan gaya
penulisannya sangat bebas, bukan?

Tidak masalah walau hanya seorang, Hiyuki hanya membutuhkan seseorang yang
mendengar dan menerima semua perkataannya.

Hanya seorang untuk mengatakan bahwa tulisannya bagus.

Seorang untuk membaca cerita kikuk yang dia tulis. Seorang seperti Ao yang akan
mendorongnya dengan ceria.

— Lakukan apa saja yang kau inginkan, tulis apa pun yang kau inginkan!

Hiyuki mengangkat kepalanya dan berteriak.

“Novelku tidak akan membuat orang tidak senang!”

***

“Ao-kun, selamat!”

“Ao akhirnya menjadi seorang laki-laki.”

“Wah, apa?!”

Saat dia melangkah masuk ke tempat Sakutarou, Ao mendengar suara plop saat konfeti menghujani kepalanya.

Setelah berpisah dengan Hiyuki di kafe.

Ao kembali ke rumah, dan membawa makanan ke kondominium Sakutarou sesuai perintah ibunya.

“Aeka-san, jangan tarik benda itu sambil mengarahkannya pada orang lain! Paman Saku juga, kenapa nyengir-nyengir begitu?!”

“Ara, aku cuma agak kepanasan.”

“Ya, kamu benar-benar bilang ‘membagi rahasia ini adalah sebuah pengalaman yang menggetarkan hati dan terasa sangat spesial, jadi tidak aneh bagiku untuk jatuh cinta padamu.’ Ao-kun, kamu keren banget!”

Aeka berkata dengan suara laki-laki. Seorang aktris pengisi suara profesional memang hebat, walaupun suaranya manis dan imut, pertunjukannya terdengar seperti seorang anak laki-laki yang ceria di masa remajanya.

Bukan, bukan itu masalahnya.

“Kok … Kok kalian bisa tahu?!”

“Ara, kenapa ya?”

Aeka tertawa dengan riang.

Ao cemas.

 “Itu yang diucapkan dari karakter dalam cerita. Dan yang kukatakan itu tidak aneh bagi Cyan untuk jatuh cinta pada Subaru.”

“Ao, kamu bilang kata-kata semanis itu dengan lancarnya pada seorang cewek dengan memakai karyanya sebagai alasan, sip. Akan kupakai trik ini di game selanjutnya.”

“Yup, Onee-san juga terharu banget waktu mendengarnya.”

“Kalian dengar? Di mana kalian dengar itu?!”

Apa mereka berdua ada di sana juga? Kapan? Di mana mereka?
Wajah Ao terasa panas.

“Paman Saku dan Aeka juga, kalian mengganggu privasi orang!”

“Ara, jangan marah begitu dong. Wawa dan aku merasa bertanggung jawab dengan
percekcokan antara kamu dan pacarmu, itulah kenapa kami khawatir.”

“Itu benar, sudah pasti bukan karena Saku enggak bisa memikirkan sebuah jalan cerita, dan berpikir dia bisa memakai kalian berdua sebagai referensi, sudah pasti bukan itu.”

“Aeka-san, kamu buka rahasia!”

Ao refleks menimpali.

Dua orang dewasa ini benar-benar …

Rasa malu dan marah membuat tinju Ao bergetar. Sakutarou menawarinya tiket pada keadaan genting ini.

“Ini tiket untuk nonton film yang sedang tayang minggu ini, pergilah dengannya. Ini film bertema fantasi yang populer di kalangan cewek-cewek, dan cocok untuk kencan.”

 “Ao-kun cepat telepon dia.”

“Huhh?!”

“Itu benar, telepon dia sekarang juga, wajib.”

“Paman Saku, memangnya naskahmu sedang stuck separah itu?!”

Dua orang dewasa yang amat tidak menyenangkan itu menyemangati Ao dengan heboh ‘Telepon dia!’ ‘Telepon dia!’ ‘Telepon dia sekarang!’ ‘gunakan kesempatan dengan baik’.

Bagaimana bisa dia mengajak Hiyuki ke bioskop di depan dua orang ini?
Tetapi seperti apa yang Sakutarou katakan, Hiyuki mungkin akan menyukai film ini. Kalau Ao mengajaknya, dia mungkin akan sangat bahagia. Ao membayangkan bibir Hiyuki yang memiliki tahi lalat di sampingnya itu tersenyum lembut.

Ya, demi Hinomiya-san.

Ao membuka ponselnya untuk mencari nomor Hiyuki, dan memencet tombol call.

Ini pertama kalinya aku menelepon Hinomiya-san. Hinomiya-san jam segini sedang apa ya? Apa dia sudah makan malam … atau belum?

Sakutarou dan Aeka juga mendekat maju.

“Luar biasa, Ao-kun! Go — Go —!”

“Aku mengandalkanmu untuk perkataan super memalukan yang akan membuat hati para pemain gatal-gatal.”

“Diamlah! Dasar!”

Ketika Ao mengeluh, panggilannya masuk.

 “Ah, H-Hinomiya-san? Maaf tiba-tiba menelepon.”

Ao mengusir Sakutarou dan Aeka dengan tangannya, dan memutuskan untuk langsung bicara pada intinya.

Suara isakan datang dari ujung telepon.

Hmm?

“….”

Ini merupakan suara tangisan dan suaranya pecah karena menangis.
Hinomiya-san menangis …?

“Apa yang terjadi?! Hinomiya-san, ada apa?”

Ao tiba-tiba berseru dengan ekspresi serius, yang membuat mata Sakutarou dan Aeka terbuka lebar.

Hiyuki tampaknya tidak bisa mengucapkan perkataannya dengan jelas, suara isakan dan kendaraan lewat bisa terdengar dari ujung telepon.

“Hinomiya-san, kamu di mana sekarang?”

Ao berseru putus asa, dan akhirnya terdengar jawaban.

“… Kazetani-kun.”

Dia bisa mendengar suara lemah menyapu telinganya.

“Aku, aku … Nenek … Rumah …”

Suara mobil-mobil bercampur dengan hujan.

Melihat keluar jendela, Ao melihat hujan mulai turun.

 “Hinomiya-san, katakan di mana kamu sekarang! Aku akan menjemputmu!”

Setelah menyuruh Hiyuki untuk berteduh di suatu tempat, Ao meninggalkan kodominium Sakutarou dan pergi mencarinya. Hujan semakin deras dan udara menjadi sangat dingin.

Ao mengenakan sepatu olahraga dan memercikkan air ke mana-mana saat dia berlari, menuju ke supermarket dekat sekolah mereka di mana Hiyuki telah menunggu.

Ao memintanya untuk menunggu di dalam, tetapi Hiyuki berdiri di pintu masuk toko dengan kepala tertunduk, tas sekolah di pundaknya dan sebuah tas jinjing didekap di depan dada. Dia mengenakan seragamnya dan blusnya basah kuyup dan menempel pada kulitnya, dia tampak
sangat kedinginan.

“Hinomiya-san!”

Ao memanggilnya dan Hiyuki mendongak, matanya merah dan basah oleh air mata.

“K-Kazetani-kun, aku … lari dari rumah, aku, tidak bisa balik lagi …”

Ao membawa Hiyuki yang terisak kembali ke kondominium Sakutarou, dan membiarkannya mengganti pakaiannya dengan yang sudah Aeka siapkan. Dia belum makan malam, jadi Ao mengambil makanan yang dia kirimkan pada Sakutarou, berupa ubi rebus dan bistik tofu.

“Nah, makan sesuatu untuk menenangkan dirimu.”

Hiyuki mengenakan blus merah muda tanpa lengan dengan tutul hitam, dan celana panjang ketat dengan garis-garis merah muda dan putih, yang membuat Ao bertanya-tanya apa di sini ada pakaian normal. Tetapi ini adalah pakaian nyaman yang Aeka kenakan bila dia menginap di tempat Sakutarou, jadi mau bagaimana lagi. Ini jauh lebih baik dari pakaian Sakutarou.

Dia bersyukur mereka menyediakan tempat mengungsi untuk Hiyuki.

Jika Ao dan Hiyuki yang merupakan siswa SMA meninggalkan rumah terlalu lama, mereka mungkin akan dibawa ke bimbingan konseling oleh guru-guru yang berpatroli. Jika Ao membawa Hiyuki ke rumah, ibunya mungkin akan menginterogasinya soal ini. Dia punya dua adik kembar di rumah, jadi Hiyuki akan susah untuk menenangkan diri.

Hiyuki menundukkan kepalanya, memotong tahu dengan sumpit sekali pakainya dan menyuapkannya ke dalam mulut.

“… Enak, lezat.”

Dia bergumam lembut, dan memakan ubi nan lembut setelahnya.

“Enak.”

Katanya lagi.

“Aku punya adik di rumah, jadi bumbunya terasa lebih manis. Anak-anak mungkin suka. Bagus kalau Hinomiya-san menyukainya. Ah, Hinomiya-san!”

Hiyuki menutupi wajahnya dengan satu tangan dan mulai terisak, membuat Ao panik.

“Ao-kun, saat-saat kayak begini, kamu harus mendekapnya erat dan menghiburnya.”

“Cium dia juga enggak apa-apa kok, Ao.”

Sementara dua orang dewasa itu menyindir, ini bukan waktunya untuk melakukan itu.

Ao mengambil beberapa tisu dari kotak dan menyodorkannya pada Hiyuki, yang mengusap hidungnya dan berkata:

“A-aku minta maaf. Tapi ini enak … sekali … ternyata bistik tofu bisa seenak ini … ubi rebusnya juga, makanan rebus macam apa yang selama ini kumakan …?”

“Kalau kamu suka, makan saja lagi.”

“Y-ya.”

Hiyuki menangis selagi makan, menggumamkan lezat, lezat selagi memakan bistik tofu dan ubi rebus. Setelah dia berhenti terisak, Ao bertanya apa yang terjadi padanya, dia duduk dilantai dan menempelkan kedua lutut ke wajahnya.

“… Nenek menemukan light novel dan naskah-naskah yang kusembunyikan.”

Hiyuki menceritakan semuanya pada Ao dengan suara serak.

Bukannya nenek Hinomiya-san orangnya sangat keras?

Dia tidak memerbolehkan anak-anak membaca manga dan anime, jadi Hiyuki harus menulis light novel-nya di sekolah.

Jam malam Hiyuki sangatlah ketat, Ao tahu bahwa Hiyuki sangat takut pada neneknya.

Hiyuki bergumam sedih: ‘Nenek membenciku …”

“Mu-mungkin karena tingkahku yang … aneh akhir-akhir ini, jadi nenekku mencari tahu di kamarku. Nenek akan melakukan hal itu … Aku sudah tahu, kalau saja kusembunyikan dengan baik …”

Hiyuki menggenggam erat tangan di atas lutut selagi bahunya gemetar.

“Nenek bilang light novel itu benda rendahan, merusak dan tidak menyenangkan, dan menyuruhku membuang semuanya … Aku selalu takut dengan nenekku dan tidak berani membantahnya … Tapi aku tidak bisa mundur soal ini, dan aku membalas perkataannya untuk pertama kalinya.”

Untuk Hiyuki yang penurut, ini adalah masalah besar.

Hiyuki berkata pada neneknya bahwa baginya, membaca dan menulis light novel adalah hal yang penting, dan dia tidak bisa meninggalkannya.

— Jika kau mau membuang semua light novel itu, aku akan meninggalkan rumah ini bersama light novelku!

Hiyuki menyimpan light novel dan naskah-naskahnya di dalam sebuah tas jinjing dengan segera dan lari dari rumah, meninggalkan neneknya yang berseru ‘tunggu!’

Dia pasti sudah menahan semua perasaan ini selama ini, itulah kenapa dia meledak seperti ini. Hiyuki lanjut berbicara tentang perasaannya sambil terisak.

“Aku, aku … benar-benar tidak mau pulang. Aku mau kerja, dan menyewa sebuah tempat untuk tinggal. Nenek mungkin … berpikir kalau itu lebih baik. Karena nenek membenciku, dia pikir ibuku menyerahkanku padanya setelah dia meninggal itu menyusahkan.”

“Tunggu, apa itu yang dikatakan nenekmu?”

Aeka memajukan tubuhnya, seolah tidak bisa membiarkan masalah ini. Hiyuki mengangguk dengan air mata di pipinya.

“Sebelum ibu masuk rumah sakit—Ketika kedua orang tuaku bercerai dan kami baru saja sampai di rumah nenek untuk tinggal, aku mendengar … Nenek bicara dengan ibuku. ‘Apa, bagaimana denganku? Makanya aku menolak, orangnya sendiri mungkin tidak mempermasalahkannya, tapi orang yang harus memikul beban itu akan disusahkan. Benar-benar terlalu dingin, sangat dingin sampai membuat menggigil …’ A-aku masih muda saat itu, jadi aku tidak begitu paham. Tapi saat nenek mengomeli ibuku, ibuku berkata sambil menangis ‘Saat aku menikah, aku tidak tahu aku akan bercerai.’

— Itulah kenapa aku menolak!

— Orang yang harus memikul beban itu yang akan disusahkan!

Suara neneknya keras, dan ekspresinya menegang seperti iblis.

— Benar-benar terlalu dingin.

Ibu Hiyuki masuk rumah sakit tidak lama setelah pulang, lalu meninggal dunia.

Nenek Hiyuki percaya bahwa putrinya memiliki kondisi tubuh yang lemah. Ketika ayah Hiyuki mempunyai selingkuhan, hal itu menambah beban psikologis pada putrinya, jadi dia membenci ayah Hiyuki dan Hiyuki mirip dengan ayahnya, Hiyuki menjelaskan.

“Aku … tidak mirip dengan ibuku … Ibuku lembut dan baik hati … Setelah ibuku menikah dan meninggalkan rumah, nenek tetap sangat menyayangi ibuku dan menyemangatinya … Dulu, seorang kenalan nenek bilang … cucumu tidak tampak seperti putrimu, dan sama seperti ayahnya … Ekspresi nenek tampak jijik … Dia memakai suara yang tak bahagia dan menakutkan dan memintaku untuk pergi ke tempat lain …”

Hiyuki menunjukkan foto ibunya yang dia bawa saat kabur dari rumah, dan menunjukkannya pada semuanya.

“Tidak banyak… yang tersisa. Foto-foto yang kuambil dengan ayahku sudah dibuang nenekku …”

Beberapa foto yang dia punya telah diambil setelah dia pindah dengan neneknya. Wanita muda yang tersenyum di ranjang rumah sakit memiliki wajah yang mungil dan imut.

Kalau saja tidak sepucat itu, dia akan tampak lebih imut dan lebih bahagia. Walaupun dia tersenyum, ada isyarat kesedihan di sekelilingnya. Pada pohon-pohon di luar jendela terdapat bunga-bunga begonia merah muda. Senyuman di wajah ibu Hiyuki tampak seperti bunga-bunga yang indah.

Hiyuki yang berumur tiga tahun di pelukannya mungkin sangat gembira bersama dengan ibunya, dan tersenyum. Di samping mereka berdiri seorang wanita dengan ekspresi kaku dan aura elegan. Dia mengenakan kimono dengan kedua tangan bertindihan dengan anggun di depannya, berdiri dengan punggung tegap. Ini pasti nenek Hiyuki.

Dia memang tampak seperti seorang yang keras …

“Nenek ini seperti putri dari sebuah klan bangsawan yang lahir di era Taisho, wanita yang bertahan seorang diri di tengah perang yang berkecamuk. Itu yang dia rasakan.”

Aeka mengerutkan alisnya.

“Enggak, enggak mungkin dia lahir di era Taisho.”

Sakutarou menjawab ketus.

“Hmm …? Ini waktu kamu berkunjung ke akuarium?”

Pandangan Ao jatuh pada Hiyuki kecil yang berdiri dengan gugup di depan sebuah tangka akuarium. Seorang wanita memakai rok panjang dan sarung tangan putih memegang tangan mungil Hiyuki.

Hiyuki mengenakan blus renda berlengan pendek yang imut, rok merah muda dengan tas berbentuk bunga di punggungnya.

“Apa orang yang memakai sarung tangan ini ibumu?”

“Ibu … punya alergi, saat cahaya ultra violetnya kuat, dia memakai sarung tangan …”

Sebuah sirip belakang berwarna putih dan mengkilap dapat terlihat di pojok foto tersebut.

“Ini sudah dipotong, tapi … ini … hiu kitefin.”

Hiyuki bergumam dengan nada berat:

“Aku sangat takut pada hiu kitefin, ibu bilang hiu kitefin adalah makhluk kuat yang bergerak sendiri dan tidak mau membuat kelompok, dan aku harus kat seperti hiu kitefin …”

“Kata-kata si ibu memang luar biasa.”

Aeka bergumam.

Memang, terlalu ambisius untuk berkata pada seorang anak perempuan tiga tahun untuk menjadi seperti hiu kitefin.

Hiyuki berucap sambil terisak:

“Ini semua karena nenek. Dia tetap menyalahkan ibu karena terlalu lemah, terlalu lemah. Ibu tahu soal itu, itulah kenapa dia memintaku untuk jadi kuat. Nenek juga bilang padaku … Ibumu itu orang yang sangat rapuh … Kamu tidak boleh seperti ibumu. Dia akan mengerutkan dahi dan mendesah sambil berkata begitu …”

Dari perspektif Hiyuki, ibunya tidak meninggal karena penyakit, tetapi karena dibunuh oleh tuduhan-tuduhan neneknya.

Aeka merasa kasihan pada Hiyuki.

“Jangan kembali ke tempat nenekmu. Kalau mau mencari tempat untuk tinggal sendiri, kami akan membantu. Kami akan membantumu mencari pekerjaan juga, dengan penampilanmu, ada banyak kesempatan kerja.”

Aeka sudah siap untuk menelepon direktor agensinya kapan saja.

“Hey Ao-kun, kamu juga pikir begitu ‘kan?”

Aeka menoleh pada Ao.

Ao meletakkan foto itu di lantai dan menimpali dengan pelan:

“… Menurutku Hinomiya-san harus pulang ke rumah dan bicara baik-baik dengan
neneknya.”

Mata Hiyuki terbelalak lebar dan bahunya bergetar ketakutan. Aeka tidak percaya dan berteriak:

“Kamu bicara apa, Ao-kun! Dia tidak tahan dan justru kabur karena neneknya tidak mau mendengar. Apa gunanya kembali?”

Kata-kata Ao tampaknya sangat mengejutkan Hiyuki. Dia menatap Ao dengan mata berkaca-kaca Dan bergumam dengan bibirnya yang gemetaran:

“Ne-nenek … tidak akan mendengarkanku … Ti-tidak ada yang perlu kukatakan padanya … Ja-jadi … Boleh aku … tidak pulang?”

Ao mengerti betapa depresi dan tidak berdayanya perasaan Hiyuki. Dia menatap lurus pada Hiyuki dan berkata dengan tegas:

“Kalau nenek Hinomiya-san membencimu seperti yang kamu katakan, akan lebih baik kalau hidup terpisah. Kalau itu benar, aku akan berada di pihakmu, dan pasti akan membantumu. Tapi sebelum itu, ada beberapa hal yang ingin kupastikan.”

“… Memastikan … beberapa hal?”

Bibir dengan sebuah tahi lalat di sampingnya itu mengucapkan kalimat ini dengan takuttakut, Kedua matanya yang jernih menunjukkan tanda-tanda kebingungan.

Aeka yang menggembungkan pipi dengan marah di samping Hiyuki dan Sakutarou yang masih terdiam di sebelahnya mendengarkan secara saksama pada apa yang dikatakan Ao.
Aeka merasa tidak puas, sementara Sakutarou tersenyum.

Ao mengangguk kuat.

“Saat kau menulis sebuah novel, pemandangan yang kau lihat akan berbeda kalau diubah ke sudut pandang karakter lain, dan akan menunjukkan foreshadowing yang sebelumnya tidak kelihatan. Setelah mendengar kata-kata Hinomiya-san, ada beberapa hal yang membuatku penasaran, jadi mari kita pergi untuk memastikannya.”

Setelah mengeringkan seragamnya dengan pengering, Hiyuki mengenakannya lagi dan meninggalkan kondominium bersama Ao. Menantang hujan yang dingin, mereka tiba di rumah Hiyuki, yang merupakan sebuah mansion luas bergaya Jepang seperti yang Ao dengar dari teman-teman sekelasnya. Halamannya yang benar-benar lebih besar daripada kediaman di sekelilingnya ditutupi pagar tinggi berwarna kopi. Pada gerbang yang tampak mewah terdapat papan nama terukir dengan ‘Hinomiya’ yang tampak formal.

Sebelum datang ke sini, Aeka menelepon nenek Hiyuki, berkata bahwa mereka menjaga Hiyuki sekarang. Mengikuti instruksi Ao, suara Aeka terdengar: 27 tahun, pustakawan, elegan dan mantap, suara seorang kakak perempuan dewasa yang lembut dan dapat dipercaya. Jawaban di ujung telepon adalah:

“Akan kujemput cucuku segera! Tolong katakan alamatnya!”

Suaranya terdengar keras.

“A-aku tidak bisa bicara dengan … nenek sekarang.”

Dengan Hiyuki di sampingnya, Ao mengambil telepon itu dari Aeka.

“Anda tidak perlu menjemput Hinomiya-san secara pribadi, Nyonya. Nama saya Kazetani, teman sekelasnya. Saya akan mengantar Hinomiya-san pulang.”

Ucap Ao.

Keduanya duduk di kursi belakang taksi dan Ao menggenggam tangan Hiyuki sepanjang perjalanan. Hiyuki menggenggam tangan Ao dengan gelisah dan berkata dengan suara yang nyaris tidak terdengar terus-menerus: ‘Nenek tidak akan memaafkanku.’ ‘Dia masih tidak bisa memaafkan pernikahan ayah dan ibuku dan melahirkanku.’ ‘Apa pun yang kukatakan, tidak ada gunanya.’

Si supir taksi tampak khawatir dan terus mengintip ke arah mereka, bertanya-tanya apakah mereka anak SMA yang merupakan sepasang kekasih yang kawin lari. Mungkin mereka akan pergi untuk bunuh diri?

Hiyuki menyandarkan tubuhnya pada gerbang, dan Ao berkata padanya dengan lembut:

“Masuk yuk.”

Mereka melewati gerbang tersebut.

Setelah dengan hati-hati berjalan dengan jalan berlapis batu licin yang basah karena hujan, mereka tiba di pintu dan menekan bel. Pintu geser itu terbuka seketika.

Sebuah tangan yang keriput dan kurus terulur pada Ao dan Hiyuki, dan membuat Hiyuki menahan napas.

Dia mungkin menunggu dengan cemas di pintu masuk.

Dengan ekspresi yang jauh lebih keras dibandingkan ekspresinya di foto, wanita tua berpakaian kimono itu menatap Hiyuki dengan tatapan keras. Dia kemudian menarik lengan Hiyuki dan menyeretnya ke rumah.

“Tidak!”

Hiyuki melepaskan tangan neneknya, membuat neneknya bertambah marah. Dia mengerutkan alisnya dan berteriak:

“Apa yang kamu lakukan!? Kamu tidak boleh meninggalkan rumah ini!”

Dia kemudian memandang Ao dengan mata yang penuh ancaman dan menusuk.

“Tolong pergi, ini masalah keluarga. Jangan pernah bicara lagi padaku atau pada cucuku.”

Ao melangkah maju seolah tengah melindungi Hiyuki di belakangnya, dan bergumam dalam hati: Tenanglah.

Dia lalu menjawab dengan sangat tenang dan jujur:

“Saya tidak bisa.”


Tatapan nenek Hiyuki memiliki emosi kuat bernama kebencian. Matanya membuat punggung Ao terasa dingin, namun dia melanjutkan.

Ao sudah berkeringat di balik pakaiannya, dan Ao berhati-hati untuk tidak membiarkannya tahu. Dia tidak dapat membiarkan nenek Hiyuki berpikir bahwa ini hanyalah kalimat main-main dari seorang bocah SMA dan menatapnya tegas.

“Saya di sini untuk membantu nenek Hinomiya-san. Untuk membuat Hinomiya-san mengerti kalau neneknya membesarkannya dengan kasih sayang dan perhatian.”

Nenek Hiyuki dan Hiyuki yang terduduk lesu di dekat Ao tampak terkejut, yang kemudian berubah menjadi keraguan.

Nenek Hiyuki mendelik pada Ao, lalu berkata dengan suara tegas:

“Bodoh, aku membesarkan anak ini karena merupakan kewajibanku. Karena ibu dari anak ini terlalu lemah, dan meninggal dalam keadaan patah hati setelah suaminya meninggalkannya, jadi tidak ada satu orang pun yang mau mengurusya.”

Wajah Hiyuki mengaduh kesakitan dan berkata:

“Ka-kamu harus tahu, Kazetani-kun … Nenek membenciku … Dia bilang pada ibu kalau aku cuma beban dan sangat dingin sampai yang lain merinding …”

Ekspresi nenek Hiyuki berubah kaku, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan dingin:

“Kamu dengar itu, Hiyuki?”

“Ya, ibu bilang sambil menangis kalau dia tidak menyangka akan bercerai, dan nenek memarahinya karena itulah mengapa kau selalu tidak mau menurut—Ibu tidak meninggal karena ayah, ini semua karena nenek … Karena nenek selalu menyalahkan ibu karena menikahi ayahku dan melahirkanku.”

Nenek Hiyuki tidak menyangkal ini. Wajahnya yang kurus dan tegas berubah kaku. Dengan bibirnya terkatup rapat, dia melihat ke arah cucunya yang menuduhnya dengan tatapan nyaris beku.

Ao berkata:

“Itu salah, Hinomiya-san. Nenek mungkin saja berkata begitu, tapi maksudnya berbeda dari apa yang Hinomiya-san pikirkan. Sama dengan hal-hal lainnya—Benar kan, nek?”

“…”

Nenek Hiyuki terdiam. Alis, pipi, dan bibirnya tetap bergeming. Menaruh satu tangan di atas tangan kurusnya yang lain, dia berdiri di sana dengan postur sopan.

Orang ini selalu memakai topeng sedingin es, tidak mau menunjukkan emosinya yang sebenarnya. Ao merasakan sakit di dadanya.

— Akan kujemput cucuku segera! Tolong katakan alamatnya!

Jika nenek Hiyuki benar-benar membenci Hiyuki, dia tidak akan menjemput Hiyuki secara pribadi.

Selain itu, Ao menyadari beberapa detail setelah mendengarkan kata-kata Hiyuki.

Ao merasa mungkin nenek Hiyuki bukanlah tipe orang yang seperti dipikirkan Hiyuki. Ao akan menyingkap foreshadowing yang dia sadari satu per satu!
Pertama, Ao berbalik ke arah Hiyuki, yang menunjukkan ekspresi tidak mengerti terhadap apa yang dikatakan Ao. Ao menatapnya, bertanya padanya dengan lembut:

“Hinomiya-san bilang terakhir kali kamu pergi ke akuarium bersama ibumu, dia bilang agar kamu bisa sekuat si hiu kitefin, iya ‘kan?”

Hiyuki menjawab dengan mimik wajah kaku:

“Ya … Itu benar. Karena nenek selalu menyalahkan ibu karena terlalu lemah, terlalu rapuh
…”

“Itu bukan ibu Hinomiya-san, tapi kata nenekmu.”

“Huh?”

Bibir Hiyuki yang terdapat sebuah tahi lalat di sampingnya terbuka sedikit.

“Tapi, aku pergi ke akuarium dengan ibuku …”

“Ya, Hinomiya-san memang berkata kalau akuarium ini penuh kenangan, kalau ibumu mengajakmu ke sana sebelum dia dirawat di rumah sakit.”

Ao menekan kata ‘sebelum dia dirawat di rumah sakit’.

“Tapi ibu Hinomiya-san sudah masuk rumah sakit saat itu, dan tidak bisa pergi ke akuarium bersama Hinomiya-san.”

“Apa … maksudnya?”

Ao menjelaskan dengan perlahan pada Hiyuki yang kebingungan.

 “Dari foto-foto Hinomiya-san bersama ibumu, ada beberapa yang diambil di kamar rumah sakit dengan bunga begonia bermekaran di luar jendela. Tetangga sebelah rumahku menanam pohon ini juga, dan bunganya mekar di bulan April. Terlalu awal untuk memakai baju lengan pendek. Tapi di foto di akuarium, Hinomiya-san memakai blus lengan pendek.”

“!”

Hiyuki menahan napasnya.

“Kalau itu bukan ibumu, yang mengajakmu ke akuarium pastilah nenekmu. Bukannya itu wajar?”

Itulah yang Ao sadari di awal.

Saat Hiyuki mengunjungi akuarium, ibu Hiyuki sudah dirawat di rumah sakit. Jika iya, siapa yang mengajak Hiyuki ke akuarium?

Hiyuki menoleh pada neneknya.

Hiyuki menunjukkan ekspresi kebingungan, keraguan, dan keterkejutan. Dia menatap neneknya untuk memastikan ini benar. Nenek Hiyuki tidak sedikit pun menggerakkan keningnya, dan menatap balik Hiyuki dengan dingin.

Hiyuki berkata dengan nada tidak percaya:

“Jadi… yang menggandeng tanganku di foto bukan ibuku, tapi nenek …?”

“Ya, betul.”

“Nenek selalu memakai kimono. Dan sarung tangan ini adalah benda yang selalu dipakai ibu kalau pergi keluar …”

“Benar, karena dia memakai sarung tangan, itulah kenapa Hinomiya-san mengira yang mengajakmu ke akuarium adalah ibumu. Tapi jika kamu berpikir tentang masa kecilmu lagi, yang kamu pikirkan pertama adalah sarung tangan putih.”

“Bagaimana mungkin, aku …”

Hiyuki tiba-tiba menunjukkan wajah tidak nyaman. Dia mungkin teringat sesuatu di masa kecilnya.

Kali ini, Ao mengalihkan pandangannya pada nenek Hiyuki.

“Nenek khusus memakai sarung tangan dan pakaian ala barat demi menenangkan Hinomiya-san Yang dekat dengan ibunya, betul? Nek?”

“…”

Nenek Hiyuki terdiam.

Kedua tangannya yang salah satunya diletakkan di atas tangan lainnya juga tidak bergerak. Hiyuki berkata tangan kurus dengan kerutan itu menakutkan. Sejak kecil, dia pasti berpikiran tangan neneknya berbeda dari ibunya, dan terasa tidak familiar dan menyeramkan.

Hal ini wajar bagi anak-anak. Untuk si kembar di rumah Ao, si adik perempuan menangis sewaktu melihat kakeknya melepas gigi palsunya. Setelah itu, dia akan berlari kapanpun kakeknya datang mendekat, membuat kakeknya menghela napas.

Bagaimana jika Hiyuki juga demikian? Apa mungkin neneknya mengenakan gaun untuk menyemangati cucunya yang menjadi depresi karena ibunya masuk rumah sakit? Dan bahkan mengenakan sepasang sarung tangan halus milik ibu Hiyuki untuk menutupi tangan kurusnya demi Hiyuki?

Dari apa yang Hiyuki katakan dan foto yang dia tunjukkan pada Ao, Ao mengatakan kesimpulan yang dia tarik kepada nenek Hiyuki yang terdiam:

“Jadi, yang menyebutkan soal hiu kitefin pada Hinomiya-san, adalah Anda.”

— Hiu kitefin adalah makhluk-makhluk kuat yang bergerak sendiri dan tidak membentuk kelompok.

— Kamu harus sekuat hiu kitefin.

Itu bukan sesuatu yang akan dikatakan seorang ibu kepada putrinya yang akan dia
tinggalkan, namun kata-kata yang seorang nenek ucapkan pada cucunya yang akan
kehilangan kedua orang tuanya di masa depan nanti.

Kamu mungkin sendirian, tapi kamu tidak boleh kalah.

Jangan lemah seperti ibumu.

Kamu harus kuat dan tetap hidup.

Itu adalah harapan suram yang dia miliki …

Nenek Hiyuki terus melihat pada kejauhan dengan tatapan dingin. Wajahnya yang kaku dan kedua tangannya yang saling bertindihan masih bergeming.

Namun—

— Nenek membenciku.

Menggunakan keyakinan Hiyuki sebagai premis, dan mengubahnya menjadi ‘nenek Hiyuki khawatir padanya, dan membesarkannya dengan kasih sayang’, garis pemikiran lain akan terlihat—Pemandangan lain.

Sebagai contoh, Ao menyadari hal lain.

“Hinomiya-san, apa kamu ingat namamu sebelum orang tuamu bercerai?”

Hiyuki yang bergeming mengedutkan bibirnya yang memiliki sebuah tahi lalat di
sampingnya dan menjawab:

“… Hanai.”

 “Hanai Hiyuki … sebuah nama yang lembut dan imut. Memberikan gambaran sebuah bunga kecil penuh semangat yang mekar pada salju. Orang tuamu pasti kesulitan untuk memilih nama yang cocok. Dan, kamu lahir di bulan apa?”

“… Maret.”

“Kalau begitu musim semi, tapi orang tuamu memilih sebuah nama yang berkaitan dengan musim dingin. Ibumu pasti ingin memberimu nama yang mengingatkanmu pada marga ibumu. Siapa nama ibumu?”

“… Aika, dengan kanji cinta dan musim panas, karena ibuku lahir bulan Juli.”

“Ibumu juga punya nama yang indah. Dia mungkin merasa cocok pada nama Hinomiya Aika, karena itulah Hinomiya-san, sebagai putrinya dinamai Hiyuki. Tapi bukankah nenekmu keberatan dengan nama itu?”

“…”

“Suatu alasan memberimu nama yang berkaitan dengan musim dingin walaupun kamu lahir di musim semi. Mungkin nenekmu juga memikirkan masalah kalau orang tuamu bercerai dan putrinya mengambil marganya. Dengan dua kanji ‘es’ pada nama ‘Hinomiya Hiyuki’ kedengarannya terlalu dingin, mungkin itu yang dipikirkan nenekmu?”

Hiyuki tercerahkan dan kemudian tenggelam dalam pikiran dengan wajah menegang. Dia mungkin tengah memikirkan percakapan antara ibunya dan neneknya.

— Kudengar … Nenek bicara dengan ibuku.

— Bagaimana, bagaimana denganku? Makanya aku menolak!

— Orangnya sendiri mungkin tidak mempermasalahkannya, tapi orang yang harus memikul beban itu akan disusahkan. Benar-benar terlalu dingin, sangat dingin sampai membuat menggigil …

“Nenek tidak bilang kalau Hinomiya-san terlalu dingin, tapi khwatir tentang cucunya yang harus mengganti namanya setelah kedua orang tuanya bercerai. Orang-orang yang memberi nama untuk cucunya mungkin saja tidak keberatan, tapi kasihan sekali anak yang harus memikul beban itu. Makanya nenekmu menuduh ibumu, tapi ibumu bilang kalau dia tidak tahu kalau akan bercerai dan mengambil kembali marganya ketika menikah.”

Ekspresi intens dan kebingungan bercampur aduk di mata Hiyuki.

Memori-memori masa kecil yang terus-menerus terulang di benaknya dan mengisi dadanya dengan rasa sakit sebenarnya memiliki beberapa makna lain, yang membuatnya sulit untuk mempercayainya.

Dan juga, neneknya tetap menutup mulutnya rapat-rapat dan meluruskan punggung, terdiam dengan punggung lurus.

“Ta-tapi … Nenek itu keras sekali, dan menentang apa pun yang kuperbuat. Waktu aku pilek, dia bilang itu adalah tanggung jawabku dan aku harus merawat diriku sendiri … Dadan, kapanpun dia menyebut soal ibu, dia akan menjelek-jelekkannya, katanya ibuku terlalu lemah.”

“Beliau tidak menjelek-jelekkannya, nenek hanya memperingatkan dirinya sendiri. Ibu Hinomiya-san, jatuh sakit karena trauma emosional akibat perceraian, jadi beliau memutuskan untuk membesarkan Hinomiya-san sebagai anak yang kuat.”

— Nenek terus menyalahkan ibu katanya kamu terlalu lemah, terlalu lemah.

— Nenek juga bilang padaku … Ibumu adalah orang yang sangat rapuh … Kamu tidak boleh jadi seperti ibumu. Dia akan merengut dan menghela napas waktu mengatakannya … Ao mengalihkan pandangannya pada nenek Hiyuki lagi.

 “Saya dengar sebelum ibu Hinomiya-san menikah, nenek banyak menyemangati dan memanjakannya. Saya bisa menarik kesimpulan dari usahanya memilih nama Aika. Nenek membesarkan ibu Hiyuki-san, anak perempuannya satu-satunya dengan penuh cinta dan perhatian. Tapi bukan kah dia menyesali ini? Kalau beliau membesarkannya untuk menjadi anak yang lebih kuat, putrinya mungkin tidak akan meninggal.”

Karena dia begitu memanjakan putrinya, dia tidak bisa menahan kesedihan dan menjadi seseorang yang rapuh yang kehilangan nyawanya karena hal tersebut. Apakah nenek Hiyuki, menyesali ini setelah putrinya meninggal?

Ibu meninggal karena Nenek, sewaktu dia mendengar Hiyuki menyerukan itu, nenek tetap membiarkan bibirnya tertutup rapat dengan dingin dan tidak menyangkalnya. Mungkin ini yang dipikirkannya.

Kalau saja aku lebih keras lagi sewaktu membesarkannya.

Sehingga dia tidak akan meninggal.

Itulah kenapa nenek memperlakukan cucunya Hiyuki dengan sikap yang keras, meskipun Hiyuki menaruh dendam padanya. Semua ini demi membesarkan Hiyuki menjadi seseorang yang tidak akan menyerah dalam situasi-situasi sulit, seseorang dengan semangat yang kuat—

“Di balik kata-kata dan tindakan keras nenek ada harapan untuk menebusnya demi putri dan cintanya pada cucunya. Saya di sini untuk mengungkap hal ini. Karena ini penting untuk Hinomiya-san sekarang.”

Nenek Hiyuki tidak membuka bibirnya yang terkatup rapat, ekspresinya masih sedingin es.

Namun tangannya yang saling bertindihan sedikit menegang—Dia meremas tangan kirinya dengan tangan kanannya yang kurus dan dengan tulang yang menonjol— Hiyuki terlihat kebingungan, dan tertarik pada sepasang tangan yang selama ini ditakutinya, kemudian memanatapnya.

 “Ini … mau bagaimana lagi.”

Di suasana yang hening, sebuah suara yang gemetar tiba-tiba menggema.

Hiyuki mengangkat kepalanya karena terkejut.

Dengan alis terangkat dan sebuah tatapan dingin dari matanya, nenek Hiyuki menatap ke arah ruang kosong dengan tatapan itu, bibir tipisnya masih terlihat layu dengan punggung tegak—Dia bergumam dengan suara tidak ramah—namun sedih:

“… Aku melahirkan Aika saat sudah hampir empat puluh tahu, aku sudah sangat tua sekarang … Aku tidak tahu kapan aku akan meninggalkan Hiyuki … di akhir hidupku. Aku tidak punya saudara yang bisa kuandalkan, jika aku mati … Hiyuki akan tinggal sendirian … Apa yang bisa kulakukan untuk Hiyuki adalah mengajarinya untuk tidak bergantung pada orang lain, gigih untuk menjalani hidup sendiiran, dan tidak membuatnya terlalu sedih kalau aku mati … Itu saja yang bisa kuajarkan padanya.”

Dengan ekspresi dingin, nenek Hiyuki memandang ke sebuah arah tanpa seorang pun di sana dan berkata dengan nada tegas, menyuarakan pikiran-pikirannya yang tersembunyi di balik baju zirah esnya.

Dia mendidik Hiyuki dengan ketat agar Hiyuki mampu hidup seorang diri.
Tidak mengatakan kata-kata lembut dan selalu meninggalkannya sendirian karena dia tidak mau Hiyuki merasakan sakit akibat kehilangan keluarganya lagi setelah dia meninggal. Tidak masalah jika Hiyuki membencinya.

Setetes air mata transparan jatuh dari matanya yang terbuka lebar. Apa dia sadar akan hal itu?

Hiyuki mengedip-ngedipkan bulu matanya, air mata juga keluar dari kedua matanya ketika dia mendengar apa yang dikatakan neneknya.

Kemudian, Hiyuki berbicara.

— Aku paham saat kulihat nenek menangis, bahwa orang yang menceritakan padaku tentang hiu kitefin dan membelikan pensil hiu kitefin itu untukku adalah nenek.

— Orang yang berkata padaku untuk menjadi orang yang kuat memiliki suara yang tegas, dan aku merasa ketakutan sama seperti saat aku melihat hiu kitefin. Tapi ketika aku mendongak, setetes air mata yang seindah mutiara jatuh dari wajah orang itu … Aku selalu berpikir kalau itu ibuku.

Namun, ketika dia melihat air mata mengalir di wajah neneknya, itu bertumpang tindih dengan wajah yang mencucurkan air mata yang seperti mutiara di ingatannya.

— Itu mengingatkanku pada banyak hal. Alasan kenapa nenek tidak ada di foto adalah karena dia bilang pada orang yang mengambil foto kami: ‘tolong foto cucuku saja, seorang wanita tua tidak akan terlihat bagus di foto.’

Orang yang membantu mengambil foto kebingungan.

Neneknya lalu bergumam setelah itu terjadi: ‘Bagaimana bisa aku membiarkan orang lain melihat penampilanku yang tidak karuan? Orang-orang akan menganggapku gila.’ Ketika dia memakan roti kukus buatan neneknya, Hiyuki muda akan mengeluh: ‘Ini enggak manis … Aku enggak mau makan ini.’ Neneknya akan berkata: ‘Ibumu makan terlalu banyak panganan manis waktu masih kecil, dan giginya berlubang parah. Dia suka pilih-pilih makanan sewaktu tumbuh besar dan punya banyak alergi …’ Sebelum Hiyuki menghabiskan
makanannya, neneknya akan mengawasinya dengan saksama. Setelah dia selesai dan mengatakan ‘Terima kasih atas makanannya’, neneknya akan memasang wajah keras dengan sudut mulutnya memberengut, menepuk kepalanya dan mengucapkan: ‘Gadis pintar.’

— Nenek akan selalu mengatakan kata-kata lembut padaku sebelum ibuku meninggal … Dia sebenarnya adalah orang yang ceroboh.

Menjaga jarak dengan cucunya, tidak menunjukkan kepeduliannya pada Hiyuki, namun akan tetap membuat kudapan-kudapan untuk dimakan olehnya, dan akan menepuk kepalanya dengan gerakan-gerakan yang aneh.

Dia membawa Hiyuki yang murung ke akuarium, dan membelikan sebuah pensil mekanik berhias hiu kitefin untuknya.

— Berkat Kazetani-kun, aku ingat kalau nenek sebenarnya adalah orang yang baik.
Bibirnya yang memiliki sebuah tahi lalat di sampingnya membentuk sebuah senyuman saat Hiyuki mengatakannya.

Dan sekarang—

Sang nenek dan si cucu disaksikan oleh Ao mengungkapkan perasaan mereka masing-masing untuk pertama kalinya.

“A-aku tahu nenek sangat benci anime dan manga, tapi aku enggak akan menyerah untuk membaca dan menulis light novel.” Hiyuki melakukan yang terbaik untuk menyampaikan perasaannya, dan neneknya memandangnya dengan tatapan galak dan berkata:

“Aika menggambar banyak manga yang begitu juga, dan bergabung di klub video game online di mana dia bertemu dengan ayahmu. Dia masih mahasiswi, tapi dia benar-benar jatuh cinta dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya, dan ingin menikahinya apa pun yang terjadi. Tapi pria itu punya hubungan dengan wanita lain di klub yang sama dan memiliki anak, jadi dia menceraikan Aika dan pergi untuk tinggal bersama wanita itu. Memangnya apa yang kurang dari Aika? Dia mungkin saja mudah tersinggung, kurang ulet, dan buruk dalam pekerjaan rumah, tapi dia imut, jujur, dan lemah lembut. Meninggalkannya setelah menikahinya, pria-pria di klub anime pasti begitu semua.”

“A-aku tidak bergabung dalam klub apa pun, dan tidak semua penggemar anime atau light novel seperti itu.”

Hinomiya-san akhirnya bicara dengan neneknya dan mengekspresikan dirinya.
Ao melihat Hiyuki yang wajahnya memerah menghadapi neneknya dengan berani.
Tidak akan ada masalah lagi sekarang …

“Mereka semua sama saja. Awalnya, Aika hanya mengurung diri di kamar untuk bermain video game. Lambat laun, dia bergabung dengan sebuah pertemuan yang diadakan klub itu dan bermain sampai pagi sebelum pulang ke rumah.”

“Aku bukan ibuku, aku, aku enggak akan … pulang ke rumah pagi-pagi.”

“Tapi bukannya kamu melarikan diri dari rumah?”

“Itu karena …”

“Dan kamu membawa seorang laki-laki ke rumah.”

Ao terkejut saat topiknya berubah menjadi tentang dirinya. Nenek Hiyuki berjalan
mendekatinya dengan secara terus-terang.

“Tolong jangan memperdaya cucuku. Jika anak ini menjadi seperti ibunya juga, aku akan—”

“Nenek!”

Hiyuki menghentikannya wajah pucat.

“Keluarga kami selalu diganggu oleh pria-pria tidak berguna, menuntun pada ketidakbahagiaan. Putriku, ibuku, nenekku semuanya sangat menderita karena pria. Ketika aku mengandung Aika, suamiku saat itu melakukan tindakan kriminal yang bertentangan dengan moral publik dan dibawa ke kantor polisi, jadi kami bercerai. Pria itu berkata di SKCK-nya kalau dia melakukannya karena dia mengalami stres berat setelah menikah dengan keluarga ini, dasar memalukan. Walaupun kami baru menikah setelah sebuah wawancara pernikahan, dia cukup jantan ketika kami pertama mengikat janji. Tak lama setelah perceraian kami, dia menikah dengan seorang wanita yang lebih muda lima belas tahun darinya.”

Beliau membanding-bandingkan aku dengan orang-orang semacam itu …
Ao mundur sedikit.

“Bu-bukan hanya ibu, bahkan nenek, ibunya nenek, dan neneknya nenek juga …?”

Ao melihat Hiyuki yang kebingungan.

“Itulah kenapa aku tidak mencari anak laki-laki untuk menikah dengan keluarga ini, tapi aku membiarkan Aika menikah. Meskipun garis keluarga Hinomiya berakhir, asalkan Aika bahagia, walaupun itu orang yang dia temui di klub video game, lebih tua delapan tahun darinya, tampak tidak dapat dipercaya, seorang pria berambut merah kelahiran Perancis juga tidak masalah. Tapi pria itu meninggalkan Aika dan Hiyuki, dan lari bersama wanita lain—”

Suara nenek Hiyuki tercekat, seolah dia tengah mencoba untuk menelan sesuatu yang sudah menggenang.

Melihat neneknya memalingkan kepalanya dalam sekejap, Hiyuki mengerutkan kening. Dada Ao terasa agak sakit.

Ibu Hinomiya-san mungkin memilihkan nama Hiyuki untuk mengingat marga lamanya karena rasa syukurnya terhadap perasaan ibunya …

Nenek Hiyuki sangat memanjakan putri semata wayangnya.

Tetapi setelah semua keinginan putrinya terpenuhi, dia kehilangan putrinya yang sangat berharga. Rasa sakit itu pastilah sangat menyiksa.

Untuk menghindari kesalahan yang sama, dia mendidik Hiyuki dengan keras, tidak
memperbolehkannya menyentuh hal-hal apa saja yang berkaitan dengan anime atau manga. Ao berempati dengan apa yang dirasakan Hiyuki, dan merasa bahwa menyalahkannya terlalu keterlaluan.

Hiyuki menatap neneknya seakan-akan hampir menangis.

Nenek Hiyuki tetap memalingkan kepalanya, tidak melihat Ao sembari berkata dengan suara yang kaku dan terisak:

“Ibuku meninggal pada umur 77. Umurku 75 sekarang, aku hanya punya sisa dua tahun. Bahkan kalau Hiyuki ditinggal oleh seorang pria dan kembali kemari, aku tidak akan bisa menerimanya di sini … Itulah kenapa aku berharap Hiyuki dapat memilih kehidupan tanpa bergantung pada seorang pria atau siapa pun. Apa itu salah?”

Nenek Hiyuki tiba-tiba membalikkan kepalanya, dan Ao refleks menegakkan tubuhnya. Wajah yang menatap Ao terlihat tegang, menunjukkan bahwa beliau akan melindungi cucunya apa pun yang terjadi.

Ahh … Nenek Hinomiya-san, benar-benar khawatir soal Hinomiya-san …
Dadanya menghangat, Ao mempertahankan posturnya dan berkata dengan tenang:

“Apa Hinomiya-san senang kalau seperti ini?”

Nenek Hiyuki tidak bisa berkata-kata.

“Hinomiya-san tidak hidup sendiri seperti yang Nenek harapkan. Sebelum saya mulai bicara pada Hinomiya-san tentang light novel, saya belum pernah melihat Hinomiya-san tersenyum sebelumnya. Tapi akhir-akhir ini, Hinomiya-san jadi lebih mudah didekati dan akan tersenyum hangat.”

Ao tidak mencela nenek Hiyuki atas caranya memperlakukan sesuatu, ataupun bermaksud untuk membuktikan bahwa beliau salah. Dia mengatakannya dengan terus terang apa yang telah diamatinya dengan tenang dan jujur.

Nenek Hiyuki menggenggam tangannya erat ketika Hiyuki mentap Ao dengan kedua mata berkaca-kaca.

“Sebagai teman Hinomiya-san, saya berharap dia bisa selalu tersenyum.”

 “Aku … Aku juga …”

Nenek Hiyuki ragu untuk bicara. Tenggorokannya bergetar sewaktu dia mengedipkan matanya. Dia pasti berniat untuk mengatakan: ‘Aku juga berharap begitu’.

“Rata-rata masa hidup seorang wanita adalah 85 tahun, dan tren ini sedang berada di puncaknya. Nenek pasti akan hidup lebih dari dua tahun … Dan Anda masih tampak penuh semangat dan muda sekarang.”

Ao berujar dengan senyum. Alis nenek Hiyuki yang tadinya tenang kembali mengerut.

“Tidak mungkin, semua wanita di keluarga kami meninggal sebelum 80 tahun, tidak ada seorang pun di daftar keluarga kami yang hidup melebihi 80!”

Nenek menyangkal.

“Dihitung-hitung, aku enam puluh tahun lebih tua dari Hiyuki.”

Tepat di sini, Hiyuki angkat bicara.

“Nenek, aku … light novel adalah sesuatu yang sangat penting dan menakjubkan bagiku, aku ingin bicara dengan nenek setiap hari… tentang bagaimana aku menjadi kuat setelah mengetahui tentang light novel ini dan Kazetani-kun, cukup berani untuk bicara dengan nenek, dan aku juga akan jadi lebih kuat di masa yang akan datang … Di dunia light novel, ada hiu-hiu kitefin yang tidak menyendiri … Aku ingin … menghabiskan waktuku dan memberitahumu tentang hal-hal ini sedikit demi sedikit …”

Nenek Hiyuki tetap memalingkan kepalanya, seolah dia tengah menekan emosinya yang meluap-luap, mendengarkan Hiyuki dengan wajah tanpa eskpresi. Tangannya yang kurus dan bertulang agak pucat karena menggenggam terlalu erat—Bagaimana dia terlihat tampak tumpang tindih dengan Hiyuki yang punya banyak hal untuk dikatakan, namun tetap menundukkan kepala dan tatapannya—Keduanya memang sangat mirip, pikir Ao.

Bukan hanya penampilan mereka, sifat mereka juga mirip.

Sisi serius mereka, sisi kikuk mereka.

Keduanya memiliki kehalusan dan kebaikan untuk memikirkan orang lain.

Hinomiya-san tidak seperti ibunya, dia mirip seperti neneknya.

Hiyuki mengumpulkan seluruh keberaniannya dan memegang tangan neneknya dengan takut-takut.

Kedua tangan yang kurus bertulang yang dipenuhi dengan keriput—Tangan yang memegang tangan Hiyuki saat dia masih belia. Hiyuki menutup tangannya yang pucat dan lembut di sekeliling sepasang tangan itu.

“Dua tahun tidak akan cukup untuk mengatakan semuanya. Sepuluh, dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun tidak akan pernah cukup … Jadi, tolong tetaplah hidup …”

Bahu nenek Hiyuki bergetar dan suaranya tersedu. Wajah, bibir, dan keningnya yang kaku nyaris goyah—

Semua foreshadowing itu telah terungkap.

Hubungan antara Hiyuki dan neneknya perlahan akan berubah di masa yang akan datang.

Rumah tua ini akan menjadi sebuah tempat yang nyaman dan hangat untuk Hiyuki tinggali.

Nenek Hiyuki melepas tangan cucunya dengan dingin.

“Jangan mengobrol di pintu masuk, ayo masuk … Kau juga.”

Nenek melirik Ao dengan tatapan tajam, menegakkan punggungnya, dan berjalan masuk ke rumah itu.



Comments