Manuscript Screening Boy and Manuscript Submitting Girl Bab 3

Bab 3 - Kesendirian Hiu Kitefin

Hari Minggu, cuaca pada pagi hari terasa sangat nyaman.

Apa tidak apa-apa bagiku untuk mengajak seorang gadis begitu saja? Kami berdua pergi keluar di hari yang bukan hari sekolah, rasanya kayak kencan… Tidak, kupikir melihat hiu kitefin berenang secara langsung akan jadi referensi yang bagus untuk Hinomiya-san…

Tidak seharusnya aku punya motif tersembunyi…

Ao berpikir dengan pipi berubah merah. Ao datang ke stasiun di mana mereka akan bertemu, dan menemukan Hiyuki yang mengenakan pakaian kasual menunggunya di sana.

Bulan Juni akan segera tiba, dan semua orang memakai pakaian berlengan pendek. Hiyuki juga mengenakan sebuah gaun berlengan pendek warna biru terang. Desainnya mungkin saja simpel, namun warnanya yang menyegarkan dan elegan cocok pada Hiyuki. Rambut cokelat terangnya yang panjang menutupi sebagian gaunnya sangat indah, Ao jadi terkejut.

Orang-orang yang lewat terbelalak.

“Selebriti?”

“Cantik.”

Mereka berbisik-bisik sendiri.

Akan sangat sembrono jika menanyai gadis secantik itu, Ao berpikir dengan degup jantung yang semakin cepat.

“Maaf, Hinomiya-san, menunggu lama?”

Ao memanggilnya dengan sedikit gugup. Hiyuki menjawab dengan ekspresi dingin:

“Tidak.”

Kemudian memalingkan matanya.

Ara … Kenapa dia marah?

Ketika mereka bertemu di kafe dan Hiyuki tiba terlebih dahulu, Ao yang datang terlambat akan berkata: “Maaf.” Bibir Hiyuki yang di sebelahnya ada tahi lalat akan tersenyum, dan dia akan menjawab: “Aku baru… sampai juga, kok.”

Apa aku setelat itu?

Ao mengintip jam yang ada di stasiun, masih ada waktu dua menit sebelum waktu yang ditentukan. Ao bertanya-tanya apa dia salah melihat jam begitu mereka berdua melewati meja penjualan tiket dan menaiki kereta.

Di dalam kereta, Hiyuki memeluk tas yang ditaruh di atas lututnya dengan erat dan
menundukkan kepalanya.

“Baguslah, cuaca sedang cerah.”

“….”

“Ini pertama kalinya aku melihat hiu kitefin.”

“….”

“Kudengar ada pertunjukan lumba-lumba.”

“….”

Ao terus mencoba mencari topik pembicaraan, tetapi Hiyuki hanya mengangguk kaku dan menggumamkan sesuatu yang hampir tidak tedengar. Mereka sama sekali tidak bisa melanjutkan percakapan mereka.

Apa dia benar-benar marah?

Ao tidak tahu apa alasannya.

Di kafe, Hiyuki berbicara dengan sedikit kaku, tapi mereka bisa melanjutkan pembicaraan mereka. Melihat Hiyuki menundukkan wajah dengan dingin begini membuat Ao bingung.

Mengajaknya ke akuarium memang kesannya terlalu ikut campur. Apa yang dia bilang ke neneknya tentang pergi di hari libur? Atau dia tidak suka pergi bersamaku…?

Ao benar-benar khawatir.

Mengingat sifat Hiyuki, dia mungkin tidak bisa menolak seseorang walaupun dia tidak ingin pergi.

“Hinomiya-san, kamu kelihatan agak lesu, kamu tidak enak badan?”

Ao kuatir dan bertanya. Hiyuki menggelengkan kepala.

“Tidak…”

Dia menjawab pelan dengan nada kaku dan jari-jemarinya bertautan semakin erat begitu dia terdiam.

“…”

Di tengah-tengah suasana yang berat itu, mereka berdua sampai di akuarium dan memasuki pintu masuk. Ini hari Minggu, jadi ada banyak orang tua yang menggandeng tangan anak-anak mereka berlalu-lalang.

Pencahayaan di akuarium berwarna biru gelap, membuatnya tampak seperti labirin biru. Di sisi lain dari kaca ada ikan-ikan pari melebarkan tubuh pipih mereka seperti sebuah jubah, sekelompok ikan tuna dengan sisik keperakan yang berkilau, angelfish dengan garis-garis berwarna terang, Indian vagabond butterfly fish dan emperor angel fish berenang dengan santai.

Ao sering mendengar kalau akuarium adalah sebuah tempat keramat bagi kencan pertama.

Di sana tidak akan terganggu dengan cuaca, menunggu tidak lama, dan seseorang bisa membicarakan soal ikan-ikan, jadi mereka tidak perlu khawatir tidak punya apa-apa untuk dibicarakan. Walaupun mereka tetap diam, mereka bisa melihat ikan-ikan, jadi tidak akan jadi canggung.

Ini bukan kencan dengan Hinomiya-san… Aku tidak bisa membuat percakapan walaupun kami bicara soal ikan, dan canggung rasanya diam-diaman begini… Hinomiya-san tampaknya canggung juga.

Ao menengok sejenak ke sebelahnya, dan Hiyuki menatap tangki air dengan mulut terkatup rapat. Di bawah pancaran cahaya biru, raut wajahnya yang pucat tampak lebih tegang dan kaku dari biasanya, dia pastinya tidak menikmati pemandangan ikan-ikan itu.

Di sebelah Ao, sepasang anak SMA sedang bercumbu satu sama lain.

“Yoshi-kun, garis-garis di zebra angelfish[4] itu imut banget.”

“Kupikir Saya lebih imut.”

“Yoshi-kun, bisa saja. Ah, lihat, dua ikan itu lagi ciuman.”

“Ciuman juga yuk.”

“Yeah.”

Tunggu! Kami masih ada di samping kalian! Dan ikan yang lagi ciuman itu sebenarnya jantan yang bertarung untuk memperebutkan wilayah, ada penjelasannya lho di sini— Ao cemas.

Si gadis memejamkan matanya seolah sedang menunggu ciumannya. Si laki-laki bersandar dan bibir keduanya semakin mendekat.

Uwah—

Aku harus apa? Menjauh dari mereka? Bagaimana caranya memberitahu Hinomiya-san?

Pasangan di samping kita lagi ciuman, pergi ke tempat lain yuk—aku enggak bisa bilang begitu!

Hiyuki tampaknya menyadari pasangan itu juga. Mendekap tasnya erat-erat ke dadanya, dia menundukkan kepalanya dengan malu.

Hinomiya-san kayaknya mendengar itu.

Saat Ao sedang panik, wajah dua orang pasangan itu berangsur-angsung semakin dekat.

Ketika ikan merah muda yang berciuman itu saling bersentuhan, wajah pasangan itu saling tumpang-tindih.

“chu~~~”

“…”

Hiyuki menghempaskan kedua bahunya dan bergeming. Pasangan itu hanya berciuman selama beberapa detik, namun Ao merasa mereka berciuman lama sekali, Hiyuki mungkin juga merasa demikian.

“Habis ini pergi ke sana ya.”

“Aku mau makan sunfish bun.”

Pasangan tersebut pergi dengan penuh cinta.

“…”

“…”

Ao dan Hiyuki berdiri di depan tangki ikan dengan wajah merah.

Sementara kedua ikan tadi masih asik berciuman di dalam akuarium.

“Ki… Kira-kira hiu kitefin di mana ya?”

Ao mengatakan ini seolah-olah dia sedang kesulitan bernapas.

“… Ku-kurasa, mereka ada di sana?”

Hiyuki tetap menundukkan kepalanya, dan berkata dengan volume yang hampir tidak terdengar.

Itu adalah arah ke mana pasangan tadi menuju, jadi akan berbahaya jika pergi ke arah sana sekarang.

“Ma-mari di sini dulu untuk beberapa waktu.”

“Ya… Ya.”

Hiyuki mengangguk kaku. Dan demikian, keduanya sekali lagi terdiam… Pada saat ini, Hiyuki tiba-tiba berkata:

“A-aku minta maaf… Kazetani-kun.”

Ao menoleh dengan terkejut, dan Hiyuki menundukkan kepalanya dengan ekspresi hampir menangis, dengan tahi lalat di dekat bibirnya juga gemetar. Hal ini lebih membuat Ao terkejut.

“Kenapa minta maaf, Hinomiya-san? Kamu tahu pasangan tadi?”

Ao bertanya sesuatu yang benar-benar tidak berkaitan tanpa sengaja, yang mana membuat Hiyuki mengerutkan alisnya lebih dalam, dan dia menggenggam tasnya lebih erat.

“Bukan… Bukan begitu, ini… ini pertama kalinya aku pergi dengan teman sekelas… Aku senang dan sangat menantikannya… tapi gugup… Wajahku kaku… Aku tidak bisa ngomong sama sekali…”

Ao merasa seolah-olah telah ditinju seseorang di muka.

Begitu, wajah Hinomiya tegang karena dia gugup, bukan karena dia marah.

Dia mungkin merasa bersalah, air mata menggenang di kedua mata Hiyuki.

“Kazetani-kun tetap bicara denganku waktu di kereta juga, aku tidak bisa menjawabnya juga… Kazetani-kun pasti merasa… merasa tidak nyaman… Kupikir aku bisa merasa lebih baik di akuarium, tapi aku masih tidak bisa bicara dengan baik, jadi aku diam saja…”

Teman-teman sekelas mereka memanggilnya ‘si Gadis Es’ dan melihatnya dari kejauhan.

Semua orang berpikir ekspresi Hiyuki seperti es dan kedua matanya dingin. Bibir dengan tahi lalat di sampingnya tidak pernah terbuka, jadi mereka berpikir bahwa Hiyuki tidak ingin terlibat dengan murid-murid normal.

Karena Hinomiya Hiyuki adalah seorang yang angkuh.

Tapi Hinomiya-san yang asli sebenarnya seorang yang konservatif dan pemalu yang ingin berteman baik dengan semua orang.

Ao adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa Hiyuki adalah gadis yang seperti itu.

Hiyuki meminta maaf karena bertingkah seperti ini, itulah mengapa wajahnya berubah kaku dan dia tidak bisa berbicara dengan baik. Ao menyesal karena tidak menyadari hal ini.

Ao membungkuk kepada Hiyuki.

“Aku yang seharusnya minta maaf!”

“Kenapa Kazetani minta maaf? Y-yang salah, kan, aku.”

Hiyuki merespons bingung.

“Tidak! Aku juga salah, ini pertama kali aku pergi sendiri bersama seorang gadis, jadi aku tidak tahu apa-apa.”

“Tidak mungkin, bukannya Kazetani-kun sangat populer?”

“Huhh?”

“Di kelas, kamu selalu… mengobrol dengan gadis-gadis, dan berteman baik dengan mereka.”

Hiyuki menundukkan pandangannya lagi dengan ekspresi sedih, membuat Ao panik.

“Itu cuma obrolan biasa kok.”

“Tapi, waktu Kazetani masuk ke kelas pagi-pagi, gadis-gadis akan berkata selamat pagi padamu… Bukan hanya gadis-gadis, para laki-laki akan… berkumpul di sekitar Kazetani-kun… Semuanya menyukai Kazetani-kun…”

Suara Hiyuki perlahan berubah menjadi murung.

Hiyuki selalu masuk ke kelas sebelum pelajaran dimulai untuk pembelajaran mandiri di pagi hari dan istirahat makan siang.

Para murid akan berkumpul dengan teman-teman mereka dan mengobrol dengan berisik.

Hiyuki tidak bicara dengan siapapun, tidak ada yang menyapanya juga. Dia selalu membiarkan punggungnya tetap tegak ketika berjalan dengan dingin ke dalam kelas dan duduk di bangkunya.

Ao tidak berpikir bahwa orang-orang berkumpul disekitarnya karena dia populer. Namun di mata Hiyuki, dia sangat iri karena Ao dapat mengobrol dengan para gadis, dan merasa sedih karenanya.

Hiyuki berdiri di depan tangki akuarium dengan kepala menunduk dan meletakkan tangannya di kaca. Ikan-ikan tropis warna-warni menari di sekitar jari-jemarinya.

“Teman-teman sekelas kita menyapaku di pagi hari karena aku berkata selamat pagi pada mereka terlebih dulu. Hinomiya-san, cobalah menyapa orang-orang juga. Teman-teman sekelas kita akan mengatakan selamat pagi padamu juga.”

Hiyuki menunjukkan ekspresi tak percaya.

“Mu-mustahil… Aku cuma akan mengganggu mood orang-orang.”

Ao menjawab dengan senyum ceria.

“Tidak kok. Ahh, kenapa tidak menyapaku saja dulu. Kalau kamu melakukannya, aku akan mengatakan selamat pagi dengan keras padamu!”

Hiyuki masih menatap Ao dengan tatapan tak nyaman.

“Kalau… Kalau aku mengatakan selamat pagi sebelum semua orang di kelas, Kazetani akan berkata selamat pagi padaku juga kan…?”

“Tentu saja.”

Ao menegaskan dengan gembira. Air mata tampak menggenang di mata Hiyuki begitu dia menundukkan pandangannya.

Kalau dia jadi dekat denganku di depan semua orang, orang lain akan menyadari kalau dia menulis light novel, apa dia khawatir soal itu?

Biasanya, Hiyuki tidak pernah bicara pada Ao, atau bertemu pandang dengan Ao.

Ao berpikir Hiyuki merasa waspada dan pemalu, tapi mungkin tidak sesederhana itu.

“Kalau Hinomiya-san mau, kamu bisa bicara denganku  kapan saja. Juga, aku akan mulai menyapa Hinomiya-san dari besok.”

Bahu Hiyuki gemetar, dan dia menatap Ao.

“Kita bertemu sepulang sekolah setiap hari, dan bahkan mengunjungi akuarium pada hari Minggu. Bukankah aneh kalau kita saling mengabaikan satu sama lain di kelas?”

Ao berkata malu-malu. Hiyuki menatapnya dengan mata merah, namun ekspresinya berbeda dari sebelumnya.

“Yah, itupun kalau Hinomiya-san tidak membenci hal itu.”

Hiyuki menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak keberatan.”

Dia kemudian melanjutkan dengan suara pelan:

“Itu … membuatku senang.”

Hiyuki menundukkan matanya yang merah, bibir yang mempunyai tahi lalat yang imut di sebelahnya tersenyum, dan jantung Ao seperti melompat.

Bagus, akhirnya dia tersenyum juga.

Ao merasa senang juga. Di saat yang sama, ekspresi Hiyuki terlalu imut, membuat wajah Ao memanas dan dadanya berdegup keras.

“Kita harus segera menemukan hiu-hiu kitefin itu.”

Ao menyarankan dengan sedikit malu-malu, Hiyuki mengangguk dan menjawab malu-malu:

“…Ya.”

Pasangan yang tadi tidak ada di tangki hiu kitefin.

Ao berdiri berdampingan dengan Hiyuki, melihat air laut yang biru melalui kaca yang transparan.

“Jadi itu ya hiu kitefin, uwah, besar sekali, dan terlihat kuat.”

Punggungnya ditutupi kulit kelabu yang tampak seperti baju besi yang kasar, ujung dari sirip punggungnya berkilau oleh cahaya putih. Ketika mereka menggerakkan tubuhnya perlahan, hiu kitefin yang angkuh itu berenang maju di dalam air tampak mirip dengan hiasan di pensil mekanik Hiyuki, memutar mata birunya yang besar.

Kedua mata itu tampak kosong dan tanpa cahaya, namun memancarkan aura yang kuat.

Matanya yang sama dengan laut yang tanpa dasar tidak melihat ke arah Ao dan Hiyuki ketika dia berenang di antara anemone dan koral-koral. Cara ikan besar itu berenang di bawah air tampak santai dan anggun.

Hiyuki menatap hiu kitefin itu dengan matanya yang juga tembus cahaya. Dia mungkin berpikir tentang bagaimana caranya menulis tentang hiu-hiu itu, menunjukkan ekspresi serius dan sulit untuk didekati.

Hinomiya-san itu seperti hiu kitefin…

Kalau Ao mengatakan bahwa gadis itu seperti hiu, pasti akan membangkitkan amarahnya, jadi Ao tidak mengatakannya keras-keras. Namun aura yang angkuh dan anggun, kedua mata dingin yang tampak dalam jika dipandang sekilas—arti kehadiran yang luar biasa dan penampilan yang cantik tampak tumpang-tindih dengan Hiyuki yang berdiri di dekatnya.

“Hinomiya-san, kapan kamu mulai menyukai hiu kitefin?”

Ao bertanya, dan bahu Hiyuki gemetar.

“Ah, maaf, aku mengganggu observasimu ya?”

“…Tidak.”

Hiyuki menggeleng kaku. Dan berkata dengan takut-takut:

“Hiu-hiu kitefin… adalah ikan yang… ada hubungannya dengan ibuku…”

“Ada hubungannya dengan ibumu?”

“… Waktu umurku tiga tahun… Ibuku meninggal karena sakit… Sebelum dia masuk rumah sakit, dia membawaku ke akuarium… untuk melihat hiu kitefin. Ibuku membelikanku pensil mekanik dengan hiasan hiu kitefin saat itu.”

Kenangan tentang ibunya… Begitu ya. Ibunya Hinomiya-san meninggal ketika dia masih kecil…

Hiyuki bergumam dengan penuh rasa kesepian. Ao mendengarkan dengan penuh perhatian dan dadanya terasa sesak.

Hiyuki membalik istilah Yoroizame (hiu kitefin) menjadi Sameyoroi, dan menggunakannya sebagai nama pena. Dia juga menulis tentang hiu kitefin dalam karya-karyanya, bukan karena dia menyukainya, tetapi karena ikan-ikan itu mengingatkannya pada ibunya.

Bagaimana dengan ayah Hinomiya-san? Tinggal di tempat lain? Atau dia meninggal juga?

Ao merasa prihatin dengan keadaan keluarga Hiyuki, namun dia tidak bisa menanyakannya keras-keras.

Ketika dia membicarakan ibunya, kedua mata Hiyuki tampak dingin dan penuh dengan kesedihan, membuatnya terlihat lebih kesepian. Sembari menonton si hiu cantik dengan mata yang dingin itu berenang seorang diri, Hiyuki bergumam dengan suara pelan:

“Hiu kitefin… adalah sebuah organisme yang hidup di laut dalam, dan tidak mau mendekati perairan yang dangkal… Dan mereka tidak berpindah secara berkelompok… selalu bergerak sendirian…”

Mata si hiu yang bulat besar tidak pernah melihat kemari. Ikan-ikan kecil yang berenang berkelompok, anemone-anemone dan koral-koral tumbuh bersama, namun hiu-hiu kitefin selalu berenang sendirian.

“Makanya… cerita yang kutulis… itu semua palsu…”

Dalam cerita Hiyuki, dunia tempat si tokoh utama Subaru tiba adalah sekelompok pulau di laut, sebuah negeri dongeng di mana para penduduknya berteman dengan hiu-hiu kitefin.

Hiu-hiu kitefin menyukai makanan-makanan pencuci mulut yang manis dan jika mereka bisa membuat hubungan mental dengan seorang manusia, maka mungkin bagi mereka untuk berkomunikasi dengan telepati.

Dan juga, orang-orang di negeri itu mempunyai hiu kitefin-nya sendiri-sendiri.

Bukan sebagai hewan peliharaan atau hewan ternak, melainkan sebagai teman yang berharga. Pada awalnya, Subaru tidak mempunyai hiu kitefin sendiri. Namun dia bertemu dengan hiu kitefin penyendiri Heinrich, yang awalnya mengabaikan Subaru, tetapi seiring waktu menjadi dekat dengannya.

Dan begitulah, Subaru berangsur-angsur menciptakan hubungan mental dengan Heinrich dan berhasil mendengar suaranya, menjadi pasangan yang unik.

Dalam karya Hinomiya-san, semua hiu kitefin baik, sering muncul di perairan dangkal. Hiu-hiu Itu menikah dan mendirikan keluarga, dan berhubungan ramah dengan para manusia…

Tapi semua itu adalah bohong.

Hiu kitefin asli tidak seperti itu, mata sedih Hiyuki tampak berkata seperti itu.

Dada Ao terasa sakit seolah sesuatu tengah meremasnya—namun Ao berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaannya—Dia berkata dengan suara lantang dan ceria:

“Kalau begitu, hiu-hiu kitefin di karya Hinomiya-san adalah hiu-hiu kitefin yang spesial.”

“Huh?”

“Mereka itu hiu-hiu kitefin yang berenang di perairan dangkal, berteman dengan manusia, dan membantu manusia. Mereka adalah hiu kitefin jenis terbaik.”

Hiyuki menatap Ao dengan terkejut.

Aura dingin di sekeliling Hiyuki menghilang, dan dia berekspresi polos seperti seorang gadis SMA. Ao tersenyum, berpikir bahwa Hiyuki tampak sangat imut jika seperti itu.

“Light novel itu sangat bebas, kamu bisa menulis tentang apa saja, bukan? Jadi tidak masalah kalau ada dunia dengan hiu kitefin yang seperti itu, dan secara pribadi, menurutku itu menyenangkan. Menjaga level nyata dalam sebuah cerita memang penting, tapi aku suka mencampur sedikit fiksi ke bagian-bagian yang nyata.”

“…”

Hiyuki menatap Ao dengan ekspresi polos lagi. Pada saat ini, sebuah keluarga dengan seorang anak dalam gandengan berjalan mendekat.

“Ah, ada hiu, keren!”

“Itu hiu kitefin.”

“Ibu, aku mau hiu kitefin.”

“Kita enggak bisa melakukannya, enggak cukup kalau ditaruh di bak mandi kita.”

Mereka berbicara dengan santai.

Mata Hiyuki memerah dan dia tersedu.

Dia kemudian memalingkan kepalanya dengan gelisah, tersedu beberapa kali sebelum berbalik menghadap Ao.

“Itu benar… pasti ada hiu kitefin yang seperti itu.”

Dia tersipu ketika dia bicara dengan pelan, dan tersenyum.

Melihat bibir dengan tahi lalat di sebelahnya itu membentuk senyum, Ao ikut tersenyum.

Setelah itu, mereka mengelilingi akuarium dalam satu putaran, dan makan siang di restoran bawah air. Semua dinding di akuarium dibuat dari kaca, dan mereka mengobrol dan makan dengan gembira ditemani makhluk-makhluk laut.

“Makanan anak-anak ini… lucu sekali.”

Di atas piring berbentuk ikan ada potongan-potongan kecil sosis yang dibentuk seperti gurita, nasi omelet dengan gambar ikan dari saus tomat di atasnya. Hiyuki bergumam sendiri sembari menatap gambar makanan anak-anak itu.

“Mau pesan?”

Ao berkata dengan nada jail.

“Hmmm, ta-tapi…”

Hiyuki panik.

“Aku akan pesan juga, coba yuk.”

“Ka-Kazetani-kun.”

“Hai, saya mau pesan dua set makanan anak-anak.”

Ao berkata pada seorang pelayan dengan suara keras.

“Maaf, hanya murid di bawah SD saja yang bisa memesannya.”

Si pelayan menolak dengan sopan.

“Ah, begitu ya? Maaf, ehh—Tunggu sebentar!”

“Tentu saja, silakan melihat-lihat menunya.”

Setelah si pelayan pergi, Ao menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Uwah, malu-maluin. Mukaku jadi panas.”

Dia mendengar suara tertawa yang imut. Ao menyingkirkan tangannya dan melihat Hiyuki tertawa.

“Ah, maaf, tapi… kamu imut banget.”

Imut!

Seorang gadis memanggilnya imut.

Itu tadi sebuah pukulan telak untuk bagi para lelaki, namun tatapan Hiyuki sudah cukup manis untuk membuat seseorang meleleh. Senyuman di bibirnya yang memiliki tahi lalat di sampingnya membuat Ao lagi-lagi merasa resah.

Yang tadi itu mungkin memang memalukan… Tapi aku bisa melihat ekspresi seimut itu dari Hinomiya-san, jadi ini cukup pantas.

“Ini rahasia antara aku dan Hinomiya-san saja ya.”

Setelah mendengar Ao mengatakan itu, Hiyuki mengangguk dengan gembira:

“… Ya.”

Ao merasakan wajahnya terbakar, dan jantungnya berdegup semakin cepat.

“Ah, kita harus pesan apa?”

Ao melihat menu.

Ao memilih tiram panggang dan seafood soba, Hiyuki memilih kepiting panggang, dan pasangan itu mendiskusikan naskah yang belum selesai selagi mereka makan.

“Apa hiu kitefin tadi referensi yang bagus?”

“Ya, mereka sangat membantu.”

“Akan kuberi satu saran lagi. Gaya deskriptif yang akan meninggalkan kesan mendalam punya satu poin penting.”

“Poin apa itu?”

“Menunjukkan keadaan mental orang yang melihat adegan ini.”

“…Keadaan mental?”

Hiyuki menatap Ao dengan matanya yang transparan.

“Ya. Saat kamu sedih, pemandangan yang kamu lihat mempunyai warna kesedihan, saat kamu bahagia, semuanya terlihat terang dan berkilauan ‘kan? Jadi, bagaimana si karakter melihat adegan yang dirasakannya saat itu? Kalau kamu menulisnya dengan pemikiran ini dalam benakmu, adegan dan emosi dari si karakter akan sejalan, dan para pembaca akan merasakan hal yang sama. Di novel percintaan, jika kamu mendeskripsikan pesona gadis-gadis dari sudut pandang laki-laki  yang mencintainya, gadis itu akan menjadi yang paling mempesona. Orang yang kamu sukai pasti akan jadi orang yang paling mempesona di dunia, bukan?”

Hiyuki mmembungkukkan tubuhnya sedikit dan memalingkan pandangannya sejenak, lalu menatap Ao dengan gerak-gerik tak wajar dan bertanya:

“… Mencintai seseorang bukan karena dia menarik… Tapi menganggapnya menarik karena kamu jatuh cinta padanya?”

“Keduanya bisa saja terjadi.”

Ao menyatakan secara langsung, dan Hiyuki menghempaskan badannya lagi. Ao melanjutkan:

“Kamu juga bisa berpikir begini: Ketika kamu pikir si orang ini mempesona, itulah saat di mana kamu jatuh cinta padanya.”

“Be-begitukah…?”

Hiyuki tampak panik untuk beberapa alasan.

“Akan sempurna kalau ini seperti sebuah light novel di mana ‘semuanya tampak berkilauan’.”

Hiyuki menghempaskan bahunya dengan wajah merah, dan mulai memakan kepiting panggangnya dengan rakus.

“Sa-sausnya kental dan enak, lezat sekali.”

“Begitukah? Bagus.”

“Hmm hmm.”

Hiyuki tetap menganggukkan kepalanya sambil memakan kepiting panggangnya dengan tersipu. Ada pertunjukan lumba-lumba di samping kolam sore ini, Ao dan Hiyuki pergi melihatnya bersama. Para lumba-lumba membuat percikan biru yang indah begitu melompat keluar dari kolam. Ao dan anak-anak bersorak, sementara Hiyuki terpikat dan tampak senang.

Si pelatih memegang umpan tinggi-tinggi, dan lumba-lumba itu membungkuk sopan. Pada saat itu, Hiyuki mendesah dengan manisnya.

“Imut sekali…”

Ketika Hiyuki menggumamkan itu, Ao ingat Hiyuki memanggilnya imut tadi. Matanya yang dapat melelehkan siapapun tampak lagi di depannya, membuat jantung Ao berdegup.

— Dia… imut banget

Uwah.

Si lumba-lumba berenang ke dalam kolam.

“Semuanya, mari sorakkan nama si lumba-lumba! Yang pertama adalah Yamato.”

Si pelatih berkata pada penonton.

“Bersedia, siap…”

Dia kemudian memberi aba-aba untuk bersiap-siap.

“Ikut bersorak yuk.”

“Hmm?”

“Nah, bersorak bareng-bareng yuk.”

Hiyuki membelalakkan matanya terkejut.

Ao bersorak bersama anak-anak:

“Ya—Mato!”

Terpengaruh dengan Ao, Hiyuki bersorak bersama, terlamabat satu irama:

“… Mato!”

Suaranya lembut dan malu-malu, tetapi Ao dapat mendengarnya dengan jelas.

Percikan air meledak dari permukaan air, dan si lumba-lumba melompat lebih tinggi dari mereka. Anak-anak berteriak gembira dan Hiyuki tersenyum.

“Selanjutnya adalah Yukari. Siap—yak.”

“Yu——Kari!”

“…Kari!”

Hiyuki bersorak, lebih keras kali ini.

Dan dengan lumba-lumba berikutnya, ekspresi Hiyuki menjadi lebih ceria seraya menyorakkan nama si lumba-lumba, membuat hati Ao berdegup.

Ketika pertunjukan usai, wajah Hiyuki merah karena gembira.

“Tadi itu seru!”

Katanya dengan nada ceria.

Kemudian, keduanya berbelanja di toko suvenir, melihat-lihat mainan-mainan ikan dan kartu-kartu pos. Ao membeli pensil mekanik dengan corak lumba-lumba untuk si kembar di rumah, satu merah muda dan satu biru muda. Pensil mekanik berhias hiu kitefin yang dibelikan ibu Hiyuki untuk Hiyuki juga dijual.
Ketika dia melihatnya—

“Mereka masih menjualnya.”

Hiyuki tersenyum senang.

Dia membeli sebuah album tentang ikan-ikan untuk dijadikan referensi.

“Apa kamu ada jam malam di hari libur juga? Kita harus segera pulang.”

“Ya… Tapi, satu hal lagi… Aku mau melihat hiu kitefin lagi, apa boleh?”

Hiyuki bertanya malu-malu.

“Baiklah, yuk.”

Kerumunannya lebih sedikit kali ini. Tidak ada seorang pun di tangki hiu kitefin.

Ao dan Hiyuki berdiri bersebelahan di koridor yang diterangi cahaya biru selagi melihat hiu kitefin. Di sekitar mereka sangat sepi. Mereka bisa mendengar langkah kaki dari kejauhan dan suara anak-anak, namun itulah yang menonjolkan betapa tenteramnya tempat ini.

Sosok Hiyuki yang pucat menoleh pada Ao sementara matanya yang transparan melihat hiu-hiu Kitefin berenang perlahan.



Sirip belakang yang berkilau cahaya putih membelah air dalam diam, begitu si hiu dengan anggunnya menggerakkan tubuhnya yang panjang dan kelabu. Apa yang dilihat mata besar si hiu kitefin yang kuat dan angkuh itu?

Si raja lautan penyendiri yang tidak mau muncul di perairan dangkal atau bergerak dalam kelompok—

“Kita… seperti di bawah laut.”

Hiyuki bergumam.

Di bawah sinar cahaya berkilauan, Ao dan Hiyuki diwarnai dalam warna lautan.

“… Itu benar.”

Mungkin terasa sangat sepi dan tenang karena mereka ada di bawah laut.

Rasanya Ao seperti sendirian di sebuah tempat lain bersama dengan Hiyuki. Hiyuki mungkin merasakan hal yang sama.

“Aku… tidak ingin pulang…”

Ao pikir dia salah dengar.

“Aku mau… di sini saja seperti ini.”

Bisikan yang seperti mimpi itu terdengar dari sisi Ao lagi.

Ao menoleh ke arah Hiyuki, Hiyuki yang pucat berselimut cahaya biru, tampak menundukkan kepalanya dengan sedih. Tatapannya yang ditundukkan tampak ragu, bibir dengan tahi lalat di sampingnya itu tampak pucat, jari-jemarinya yang lentik menggenggam erat-erat gaun biru mudanya… Seolah-olah dia akan meleleh dalam cahaya biru…

“… Hinomiya-san.”

Ao memanggilnya ragu-ragu.

Hiyuki mengangkat kepalanya seolah dia baru saja dikagetkan.

“Maafkan aku.”

Pipi Hiyuki sedikit memerah, dia melanjutkan dengan takut-takut:

“Bu-bukan itu yang kukatakan, aku sedang memikirkan Subaru… adegan seusai kencannya dengan Cyan, waktu mereka bersiap-siap pulang, mungkin itu yang dia rasakan…”

“Oh, jadi begitu ya. Kamu bikin aku takut.”

Ao menghela napas lega.

“Aku sangat minta maaf.”

Ketika Hiyuki membungkuk, rambut cokelatnya yang berkilau jatuh dari bahunya.

“Tidak usah. Kupikir kencan di dekat laut akan jadi adegan yang hebat.”

Ao berucap sambil tersenyum, dan Hiyuki menunjukkan ekspresi linglung. Beberapa saat kemudian, bibir yang memiliki tahi lalat di sampingnya itu membentuk senyuman.

“Ya.”

Jawabnya.

“Ayo pulang.”

“Ya.”

Hiyuki tetap tersenyum bahkan setelah meninggalkan akuarium.

Di kereta saat perjalanan pulang, pemandangan di luar jendela dengan pekatnya diwarnai merah. Mereka berdua duduk di tempat duduk yang bersebelahan dengan bahu hampir bersentuhan, degup jantung mereka semakin cepat ketika mereka bercakap-cakap perlahan.

“… Kazetani-kun, kamu bisa menemukan kesenangan di karya apa saja yang kamu baca… Apa ada karya yang tidak bagus menurutmu?”

“Ada, contohnya novel-novel yang dicetak pada kertas ukuran A4 dalam format naskah yang membuatnya jadi berdesak-desakan, karya-karya yang dicetak langsung pada kertas ukuran A3 dalam format buklet, atau karya-karya yang bagus tapi tulisan tangannya sulit dibaca. Yang versi cetak masih bisa dibaca, tapi akan jadi masalah kalau aku tidak bisa membaca naskah-naskah yang ditulis tangan. Aku akan menandai kata-katanya dengan tanda tanya, mencoba membaca sinopsisnya, tapi masih ada banyak bagian yang tidak kumengerti… Kalau aku benar-benar tidak ada kemajuan, aku akan meninggalkan catatan yang berbunyi ‘Maaf, saya tidak bisa membaca susunan kalimat di cerita ini’, lalu mengembalikannya pada penerbit bersama dengan karya-karya yang tidak berhasil melalui seleksi. Dari semua naskah yang kusaring, hanya itu satu-satunya yang kutolak tanpa membacanya… Bahkan sekarang, aku bertanya-tanya apa itu sebuah mahakarya abadi, seandainya bisa kumengerti…”

Namun, staf di departemen editorial mungkin tidak dapat membacanya juga.

Hiyuki membelalak kaget, lalu bergumam setelah Ao selesai.

“Itu… agak berbeda … dari karya yang tidak kamu sukai.”

Setelah itu, dia bertanya:

“Kalau begitu, cerita seperti apa… yang paling kamu suka?”

“Dibandingkan literatur kontemporer dan klasik, aku lebih suka light novel.”

“Dalam light novel, tipe seperti apa yang kamu suka?”

Hiyuki bertanya dengan penuh semangat.

“Umm … Mungkin cerita-cerita dengan foreshadowing.”

“Foreshadowing …?”

“Ya, ada banyak genre dalam light novel, kalau aku menemukannya setelah membaca bagian-bagian terakhir dan ‘ah, jadi begini ya foreshadowing itu’, aku akan merasa bersemangat, senang dan tergerak pada saat itu. Sama seperti karya-karya yang dikirimkan, karya-karya yang menggunakan foreshadowing dengan baik adalah yang paling menyenangkan. Aku akan merasa ‘ahh, jadi itu terjadi untuk mempermudah bagian ini’.”

“Foreshadowing … itu artinya sebuah plot akan disebutkan lebih awal untuk perkembangan ke depannya, memberi para pembaca petunjuk tentang apa yang akan terjadi nanti—benar?”

“Benar, contohnya, seorang bawahan setia dari si raja iblis mengkhianatinya pada klimaks cerita dan menjadi pahlawan. Para pembacaakan terkejut, namun mereka akan merasa tidak terima ‘kan? Kalau ada penjelasan dimasukkan pada bagian ini tentang si bawahan raja iblis ini hanya berpura-pura menjadi pelayan si raja iblis karena orangtuanya telah dibunuh oleh siraja iblis, dan tengah menunggu waktu untuk mengalahkan si raja iblis, rasanya terlalu maksa. Tapi kalau tulisan-tulisan sebelumnya mendukung, contohnya, kelakuan si bawahan kelihatan aneh atau sebuah ramalan tentang si pahlawan yang memiliki rekan lain, ketika pengkhianatan terjadi, para pembaca akan bersemangat dan berpikir: ‘ah, jadi dia itu ksatria terakhirnya!’

“… Seperti Leonardo dalam cerita ‘BraveChro’…?”

“Betul, Leonardo yang awalnya seorang musuh menjadi rekan dari si tokoh utama ketika dia dalam bahaya besar, benar-benar memutar balik keadaan pertarungan. Itu bikin aku merinding. Alur foreshadowing itu terencana dengan mahir, aku tidak menyangka mereka akan menyudahinya dengan cara begitu, aku benar-benar tertipu.”

“… Aku juga.”

“Foreshadowing adalah pedang bermata dua, bila terlalu jelas, para pembaca akan menemukan perkembangan yang akan datang, jadi harus benar-benar cerdik. Tapi kalau para pembaca tidak mengingat foreshadowing sama sekali, maka efeknya akan hilang. Jadi harus ditunjukkan secara blak-blakan pada para pembaca, tapi jangan biarkan mereka tahu kalau itu foreshadowing.”

Hiyuki bergumam:

“Itu susah.”

“Yup, itulah kenapa aku merasa tergerak waktu melihat foreshadowing yang dipecahkan secara baik. Aku suka banget cerita-cerita yang seperti itu.”

Ao mengutarakan kata-katanya betul-betul. Hiyuki yang rambut dan bulu matanya diwarnai cahaya mentari yang oranye terang menatap Ao malu-malu.

Ketika kereta sampai pada pemberhentiannya, Ao dan Hiyuki turun bersamaan. Di luar pun diselimuti cahaya redup.

“Kazetani-kun, apa kamu naik sepeda ke sekolah…?”

“Ya, kuparkir di sekolah.”

“Kalau begitu kita bisa berjalan bersama ke sekolah…”

Hiyuki kelihatan bahagia hingga dia berjalan sedikit lebih jauh dari Ao, bibirnya yang memiliki tahi lalat tersenyum tipis, dan jantung Ao berdebar.

Di bawah cahaya matahari terbenam, Hiyuki terlihat lebih cantik dari biasanya. Rambutnya yang halus, bulu matanya, pergelangan tangannya yang ramping, wajahnya yang sempurna berkilauan…

Hmm? Berkilauan?

—Akan jadi sempurna kalau ‘semuanya tampak berkilauan’.

Ao teringat dengan apa yang dikatakannya di akuarium.

Tunggu, ini seperti foreshadowing.

Ketika Ao merasa gelisah dan debar jantungnya bertambah cepat.

“Kazetani-kun.”

Hiyuki yang berjalan di sampingnya memanggil dengan suara yang mantap.

Suaranya terdengar lebih manis dari biasanya—

“Aku akan berjuang… dan membuat sebuah cerita dengan foreshadowing yang sempurna.”

Kenapa Hiyuki tampak sangat terang?

Kenapa Ao sangat peduli tentang Hiyuki?

Bibir Hiyuki yang memiliki sebuah tahi lalat yang mempesona terbuka sedikit. Dia agak menundukkan pandangannya, dan berkata dengan suara lembut seolah-olah sedang mengungkapkan sesuatu yang penting:

“Kuharap… Kazetani-kun… akan menyukainya.”

Jantung Ao berdetak keras.

Seperti—Dia tidak bermaksud bilang menyukai Hinomiya-san, tapi novel yang ditulisnya ‘kan? Tunggu, kenapa aku panik?

Wajah Ao panas seperti sebuah ketel dan pikirannya kacau.

Hiyuki yang diselimuti cahaya terang berdiri di sampingnya malu-malu—

“Hinomiya-san …”

Saat Ao baru saja akan bicara.

“Ao-kun!”

Sebuah suara yang manis dan jelas menggema.

Sebuah suara yang akan memberi kesan mendalam, kau tidak akan lupa setelah mendengarnya sekali. Pemilik suara tersebut tampak sama mempesonanya dan terlihat lebih tua dari Ao, seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluhan.

Dia mengenakan sebuah T-shirt dengan gambar kelinci hitam. Dadanya besar dan dia memakai jaket bertudung dan rok mini hitam dengan renda motif lotus yang biasa dipakai anak-anak SMA. Pakaian seperti ini cocok dengannya, memberi kesan ‘dia mungkin orang dewasa, tapi dia tetap imut’. Bulu matanya yang melengkung diberi maskara tebal, memberi tampilan mewah.

“Huh, Aeka …?”

Wanita itu tiba-tiba memeluk Ao.

“Ao-kun, keterlaluan, keterlaluan, Ao-kun.”

Payudaranya yang besar menempel pada tubuh Ao sementara tangan lembutnya memeluk leher Ao. Aroma wanita itu manis sembari meneriakkan keterlaluan.

“Aeka-san, tenanglah.”

“Erm … Aku…”

Kontras dengan wanita yang sedang memeluk Ao, Hiyuki berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Oh iya! Hinomiya-san ada di samping kami!

Hiyuki mengerutkan alisnya dan pipinya memerah.

“Ma-maaf …”

Hiyuki berkata sebelum Ao, lewat tepat di sebelah Ao dan berlari di jalan sementara sore berubah menjadi malam.

“Ah, Hinomiya-san!”

Ao memanggil, tetapi Hiyuki tidak menoleh.

Comments